Tobong Arts Performance merupakan salah satu bagian yang kritikal dari keseluruhan rangkaian acara Kelud Festival. Pertunjukan yang memasuki tahun ketiga dalam perhelatan besar “mengelu-elukan” Kelud ini mencoba mencari celah dialog terus-menerus hubungan pertunjukan tradisi dan kreasi kekinian. Sehabis “Gugur Gunung” di mana Kelud menggugurkan seluruh apinya pada 2014, tibalah musim “Gugah Gunung” saat Kelud kembali subur dan hijau. “Gugah Kelud”, bukan hanya menjadi tema, pada akhirnya sebuah titik pencarian membangunkan kreativitas setelah recovery usai.
Saya hadir selama tiga hari di tiga desa di lereng Kelud (28-30 September 2017) untuk melihat dari dekat bagaimana Tobong Arts Performance (TAP) dipertunjukkan. Di tiga desa yang hidup di antara perkebunan nanas mahaluas di kaki-kaki jati, kopi, dan cengkeh yang tumbuh subur itulah tari kerakyatan jaranan, wayang jemblung, dan ketoprak tobong berjumpa dengan budaya lain yang lebih aktual dari Bandung, Bali, Kupang, Jakarta, hingga Bangkok, Sabah, dan Kuala Lumpur.
Gilisuci, Tridatu, dan Gugah Kelud
Dalam lakon pertunjukan rakyat seperti ketoprak dan wayang, lazim naskah-lakon yang ditampilkan adalah cerita panji. Dan, Kediri adalah leluluhur lahirnya prosa panjang Panji Semirang. Di Desa Babadan dan Sugihwaras, naskah lakon ini ditampilkan secara highlight atau dalam istilah pertunjukan gerak, drama satu babak.
Meringkas pertunjukan rakyat yang biasanya berlangsung hingga semalam suntuk sesungguhnya belum berumur panjang. Memangkas pertunjukan hanya pada bagian pokok saja merupakan salah satu warisan para penggerak kebudayaan di era Sukarno. Mereka berpendapat, pertunjukan mestilah ringkas untuk memberi kesempatan kepada petani untuk bekerja keesokan harinya. Petani bukan priyayi yang tetap kenyang bila tidur seharian karena pasokan makanan bukan akibat langsung dari kerja fisik mereka yang menjadi kelompok dilayani.
Meringkas pertunjukan ini menjadi pertemuan pertama dengan penari kontemporer berbagai daerah. Dalam tari kontemporer yang menjadi pendamping pertunjukan tradisional di Tobong Arts Performance, koreografi atau tata gerak dengan waktu ringkas menjadi kata kunci untuk memberi pesan tertentu.
Penari asal Kediri Okky Yudistari Subijanti menafsir secara radikal sosok Dewi Gilisuci dalam Kilisuci on Dance Ethnicology. Tokoh perempuan cantik dalam legenda Lembu Sora yang pada siang harinya secara simbolik diarak menuju kawah Kelud dalam “Larung Sesaji”, di mata Oki, bukan perempuan pasif dan diam.
Oki yang merepresentasikan Gilisuci dalam legenda Lembu Suro itu memasuki gelanggang dengan kostum merah dan putih dan membawa tujuh dupa merah. Matanya yang awas dan geraknya yang berubah dari lambat ke cepat merefleksikan perempuan Jawa Gilisuci yang gemulai, elok, tapi memendam gejolak. Oki memberi tendens pada Gilisuci sebagai perempuan korban sayembara yang penurut, namun juga bisa mengekspresikan kemarahannya sedemikian rupa.
Memungkasi gerak dengan memecahkan air berwarna merah dalam kendi di kepalanya, penari yang pernah tampil dalam Konferensi Asia-Afrika di Bandung ini sebetulnya memasukkan tenaga baru atas lakon Gilisuci yang barangkali oleh warga sekitar Kelud sudah hapal di luar kepala ceritanya. Oki memberitahu satu hal, walau tak jadi monumen penjaga Kelud, sebagaimana Lembu Sora, Gilisuci tetap hidup dalam imaji api Kelud sebagai perempuan kuat pemangku Kelud.
Cynthia Tanjung Kambuno dari Kupang dalam Mamose Adora Nai membawa proses ritual mengelilingi misbah khas suku di Nusa Tenggara Timur ke dalam kosmos Kelud. Dalam zirah hitam dan putih, ia membuka tarinya dengan gerak tanpa iringan musik. Dan, gerak itu bertenaga tatkala muncul tetabuhan dan nyanyian dengan suara bersahut-sahutan. Bergoyang, Cynthia. Berputar, Cyntia. Anda tahu, Cynthia tak sedang berperang. Cynthia sedang memasukkan dalam dirinya segala kekuatan moyang dan leluhur dalam kesatuan gerak cepat untuk mendapatkan magisia, trens dalam tradisi penari jaranan.
Ida Ayu Gede Sasrani Widyastuti (Foto: Bangsal Je)
Senapas dengan Okky yang menafsir lakon legenda yang mengitari Kelud dan Cynthia dalam ritus trens, Ida Ayu Gede Sasrani Widyastuti dari Bali yang membawakan tari Giri Natha merefleksikan gejolak dari rahim gunung. Ayu menandai gunung dengan simbol sabut yang disusun dan terbakar. Di antara rentang tali temali putih yang berpilin, dentang gamelan dan terompet, hembusan angin dan gemerincing lonceng, tubuh Ayu yang dibaluti kain putih dan cahaya kemerah-merahan meliuk dan bergerak.
Ayu tahu, gunung adalah raksasa darat diam dengan pedalaman yang terus memasak api yang berkobar-kobar. Ia membawa koraban api Gunung Agung ke dalam diam Kelud dalam gerak ritmis dan perlahan menjadi cepat. Dalam tari Giri Natha ini, ia melepaskan tari Bali tradisi. Namun, semangatnya tetap menyala. Di pertengahan, Ida Ayu seperti mengalami kesurupan sebagaimana saya lihat dalam pertunjukan jaranan Manggala di Sumur Banteng, Desa Sempu, Kecamatan Ngancar, sehari sebelumnya. Tapi, gerak Ida Ayu di alam kosmos yang bergolak-golak itu adalah chaos yang terukur.
Pada babak akhir setelah api yang bergolak-golak, suara sungai terdengar lagi. Cericit burung terdengar lagi di antara bunga-bunga pagi. Begitulah, setiap letusan membawa kehancuran sekaligus kehidupan baru. Ida Ayu merefleksikan hijau kembalinya Kelud dari permulaan pergolakan Gunung Agung. Lahir, hidup, mati, berpadu dalam kosmos. Selalu begitu. Selalu berulang. Umat Hindu menyebutnya Tridatu.
Okky, Cynthia, dan Ida Ayu adalah simbol tridatu itu. Ketiganya adalah kosmos, ketiganya adalah pertiwi yang memangku dan sekaligus menyanggah gerak hidup yang terus berdetak. Air dalam hukum alam punya tugas memadamkan setiap api.
Seni Jaranan dan Politik Lingkungan
Yang menarik dari pertunjukan seni Jaranan Kridho 1246 Manggolo di sore bermendung, justru proses dialog dengan sekitar di luar panggung utama. Saat tetabuhan gamelan dengan irama yang statis, saat para penari mengalami trens, di sisi petirtaan Sumur Banteng berlangsung pemakaman jaranan. Jaranan yang dimaksud adalah seluruh perlengkapan pertunjukan yang sudah rusak dikubur lewat ritus dialog dengan leluhur. Mereka menganggap semua wadak dalam seni jaranan sebagai organisme yang melewati kala mangsa dalam konsepsi tridatu.
Salah satu penggawa jaranan mula-mula menyerahkan tubuhnya sebagai wadag bagi “penunggu” Sumur Banteng.Dari tubuh yang terus meliuk dengan mata merah membetot tajam di hadapan patung banteng dan “penggembala” yang duduk itu, keluar kata-kata ini (dalam bahasa Jawa) yang diulang secara terus-menerus: “Saya minta jaga dan bersihkan (Sumur Banteng). Jangan hanya airnya, tapi bangunannya. Harus rindang!”
Saya menyebut, ritus di sumber mata air yang dipercaya keramat itu, sebagai politik lingkungan. Kesadaran menjaga dan melestarikan sumber air adalah pasal pertama penyelamatan kehidupan. Tanpa air, hidup tak berlangsung, kebudayaan dan peradaban tak lahir.
Lewat ritus pertunjukan jaranan, politik lingkungan dihadirkan dengan cara sangat natural. Terutama perlindungan atas sumber mata air yang menurut buku Kelud: Ekspedisi Anugerah Tuhan di Kediri yang disusun tim Radar Kediri, berjumlah sepuluh sumber. Selain Sumber Banteng, mata air Kelud yang diakses warga sekitar adalah Sumber Kolak, Sumber Panghuripan, Sumber Ubalan, Sumber Kalitempur, Sumber Kurung, Sumber Clangap, Sumber Dulrohman, Sumber Pancoragung, dan Sumber Jodo.
Naque Ariffin (Foto: Bangsal Je)
Oleh penari dan aktor panggung dari Sabah dan Kuala Lumpur, Rithaudin Abdul Kadir dan Naque Ariffin merespons politik lingkungan itu dengan memainkan tarian bumi, Tika Bumiku Menari. Kritik atas relasi kekuasaan dengan lingkungan juga tampak dalam tari keduanya yang dimainkan di malam pamungkas Tobong Arts Performance.
Lewat tubuhnya, Din Kadir dalam Alai-Alaianku, menampakkan diri menjadi seorang lelaki tani berjari cahaya, bercaping, dengan sekujur tubuh berkulit emas. Musik yang dinamik dan gerak bertenaga menunjukkan semangat agrarisme dengan bunyi yang diramu dari angin, bambu, dan kendang. Din Kadir menunjukkan, bukan di Sabah, bukan di Kelud, petani adalah “manusia emas”. Demikianlah posisinya dalam sejarah manusia Asia, khususnya Melayu. Din Kadir, si petani emas itu bergerak, tapi sesungguhnya merintih. Jari-jari emasnya terus bergerak, bekerja, tak pernah padam, walaupun selalu kalah.
Apa yang mengalahkan petani? “Kursi kekuasaan,” kata Naque Ariffin yang membawakan lakon Goboh, sebuah gerak politik banal. Merah yang membeliti wajahnya adalah simbol kekuasaan. Ia begitu marah, pada kain merah, pada kursi-kursi merah. Geraknya yang canggung dan takut adalah pergulatan dan tarik-menarik dalam pusaran politik despotik yang kawin-mawin dengan pedagang. Naque merefleksikan politik di Malaysia dengan kekangan kebebasan.
Tidak, aktor terbaik Festival Theater Negeri Sembilan tahun 2016 di Malaysia ini merefleksikan jenis kekuasaan di mana pun. Kebudayaan kritis yang terus-menerus berbicara dengan kursi-kursi merah. “Selalu dalam perang hingga akhir,” begitu kira-kira Kelvin Atmadibrata dan Aziz Amri dari Jakarta menggambarkan politik adu-lembu dalam The Heaven, The Battle.
Dengan musik rancak sebagaimana Anda jumpai di bar, Kelvin dan Aziz yang mengenakan caping dan tanduk putih mengetengahkan jiwa-jiwa yang mabuk kuasa dan menjadikan kekerasan sebagai bahasa sehari-hari. Seperti lembu—mungkin banteng atau kambing—mereka beradu dan diadu dalam gelanggang untuk kepuasan jiwa-jiwa kuasa yang gelap. Dalam kekuasaan, kau bebas atau terkurung, terbalut dan terhisap habis di dalamnya. Merahnya merah, suara gemuruh, dan tubuh-tubuh yang menari itu terjatuh kalah.
Tobong Kediri dan The Last Mohican
Saat Bhumin Dhanaketpisarn dari Thailand memainkan likay, opera folk khas Thailand, saat itulah kita membicarakan Tobong yang menjadi penampil pamungkas di Tobong Arts Performance.
Saya sebetulnya masygul di malam 1 Oktober 2017 itu. Ketoprak Tobong Suryo Bedoyo yang dipimpin Sukardi itu bukan hanya sebagai ketoprak terakhir di Kediri, the last mohican, tapi juga sejarah penghancuran Tobong–sebagaimana terjadi pada Tobong di Yogyakarta–juga akibat politik yang dimulai dari 1 Oktober, setengah abad lebih dua tahun silam. Sejak malam 1 Oktober itu, Tobong selalu dicurigai membawa hantu-hantu jahat masa lalu.
Sukardi atau nama panggung Koyek (anagram dari keyok, lantaran kerap memainkan tokoh yang kalahan) membawa ketopraknya dari Desa Bendo, Pagu, Kediri, berada dalam sekuensi waktu dengan para penari kontemporer. Tobong yang kerap memainkan lakon Panji khas Kediri ini, malam itu, hanya memainkan sebabak, yakni pre-text jelang Perang Paregreg yang legendaris di Kali Brantas.
Deasylina Da Ary (Foto: Bangsal Je)
Mula-mula kita disuguhi tari Mimpi yang dimainkan dengan romantik dan mengibakan jiwa oleh Deasylina Da Ary dan Agung Gunawan. Koreo suami-istri asal Pacitan itu seperti jelmaan cerita api asmara Raden Inu Kertapati dan Galuh Cendra Kirana; sebuah kisah cinta Romeo dan Juliet sumbangan Kediri dari masa silam yang jauh.
Gerak keduanya memang membangkitkan rindu, konflik antarbatih, juga pelukan akhir yang romantis, namun mengiriskan kenyataan bahwa mimpi tentang kejayaan Ketoprak Tobong tidak saja menjauh, melainkan menuju waktu-waktu musnahnya.
Pak Koyek yang membuka narasi tobong bersama penari muda yang biasa memainkan tari Panji, Ratungga Ayu, nyata mulai kehabisan pemain. Yang muda pergi merantau. Dan, yang kini tampil hanya tenaga-tenaga tua yang juga sedang menuju peraduan.
Festival Kelud ini, saya kira, upaya terakhir untuk melihat Tobong ini menuju titik moksanya di kabupaten yang oleh Bagian Pariwisata dibekukan dalam sebaris hestek, # Kediri Bumi Panji.
Jika pun masih ada, nasibnya seperti dalam pertunjukan kecapi dari Sunda yang disuguhkan Deden Tresnawan dan Kang Dodik, hanyalah bayang-bayang; bersembunyi dalam imaji yang dihalangi tabir gelap yang pada akhirnya turut pergi bersama denting kecapi zaman yang bergerak ke depan dan emoh berpaling.
* Ini adalah catatan saya menyaksikan dari dekat pergelaran Tobong Arts Performance, 28, 29, 30 September 2017 di lereng Gunung Kelud, Kediri.