BWCF 2017: Semangat Borobudur dan Pergulatan Agama Lokal

Satria Borobudur yang terpahat di relief Gandwyuha itu bernama Sudhana. Ia, seperti halnya para pemuda dalam cerita di serat-serat Nusantara seperti Centhini, La Galigo, Sutasoma, Pararaton, dan Demak, merupakan santri lelana pemburu kebenaran yang haus rupa dan bentuk. Ia adalah sang samana yang memburu spiritualitas tertinggi (kebudhaan, dharma) dengan cara melakukan perjalanan. Ia kunjungi 110 kota dan belajar kepada 110 kalyanamitra.

Kalyanamitra bisa berarti guru. Atau, dalam pengertian harafiahnya adalah mitra handal. Dalam semangat Borobudur, semua orang memiliki kualitas sebagai guru dari mana kita belajar tentang proses kehidupan untuk merengkuh kebenaran. Kalyanamitra itu datang dari beragam kelas sosial masyarakat, seperti biksu, biksuni, ibu rumah tangga, pedagang, raja, anak-anak, pertapa, guru agama, pelaut, pelacur, penyepuh emas, hingga para bodhisatwa.

Semangat Borobudur yang terpatri dalam semangat Sudhana di 460 relief menganggap kebenaran terserak di mana-mana. Dengan demikian, untuk mencapai potensi tertinggi, diperlukan semangat belajar sepanjang hayat; kepada siapa pun, di mana pun. Ke-460 relief Gandwyuha yang menjadi “serat inti” Borobudur mengaktualkan pencarian untuk mendapatkan sati, mindfullness, hening, wicaksana, mawas dengan memberikan penghormatan sebesar-besarnya kepada kehidupan yang aktual.

Borobudur adalah monumen dari peta pencerahan manusia; dari kehidupan bawah yang banal yang dilambari perbuatan buruk hingga pencapaian kesadaran tertinggi Buddha. Bodhisatwa yang dipetik Sudhana ke dalam adalah keheningan jiwa, sementara yang tampak ke luar adalah berbuat baik tanpa pamrih kepada sesama.

Semangat Borobudur seperti inilah yang kemudian diaktualkan, diperdalam, direngkuh dalam sebuah kolakium yang serius dan intim bertajuk Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) yang berlangsung di Yogyakarta dan Magelang di pekan terakhir November 2017. Pergelaran yang sudah memasuki tahun keenam ini konsens dengan penggalian mestika bangsa yang lindap dalam kehidupan harian yang keras dan dangkal. Mestika bangsa itu hadir di mana-mana; dari gunung hingga laut; dari serat hingga silat; dari ratu adil hingga monumen Borobudur.

Menghadirkan Gandawyuha Borobudur tidak bisa dipandang sebagai pengkajian soal Buddha semata. Sebagai mestika, Borobudur telah menjadi warisana agung bangsa dan dunia. BWCF tidak melihat monumen yang dibagi arkeolog utama Noerhadi Magetsari menjadi phala dan marga, semata sebagai monumen turisme, namun jauh dari itu sebagai mestika spiritualitas Nusantara yang aktual dengan kehidupan sosial terkini.

Tentu saja, koinsidensi terpenting dan aktual dari semangat Borobdur di BWCF adalah keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberi tempat di kolom lembar KTP kepada para penghayat agama-agama lokal Nusantara di pekan awal November 2017. Artinya, jutaan umat di luar agama-agama yang lebih dahulu menikmati hak konstisusi mendapatkan hak dasar yang sama untuk hidup dalam pangkuan “NKRI Harga Mati”.

Borobudur Memayungi Keragaman Kehidupan

BWCF 2017 menghadirkan lebih kurang 14 pembicara—dari ilmuwan dan penulis hingga para pelaku spiritual Nusantara. Untuk membaca semangat Borobudur di medan seni (pertunjukan), BWCF melibatkan dua penyair, empat kelompok musik, sembilan kelompok tari, dan sepuluh pelapak buku indiependen Jogja. Baik di medan kolakium maupun pertunjukan, agama-agama rupa melebur bentuk dalam spiritualitas Gandwyuha; detak pencarian tanpa akhir.

“Dalam Gandawyuha Borobudur, perbedaan itu tidak relevan. Dharma dan perbuatan baik kepada orang lain itu satu,” simpul arkeolog yang sekaligus penerima Sang Hyang Kamahanikan Award dari BWCF 2017, Noerhadi Magetsari. Nama ini tidak asing dalam Borobudur. Buku Noerhadi yang berjudul Candi Borobudur: Rekonstruksi Agama dan Filsafatnya mungkin satu-satunya buku yang ditulis arkeolog Indonesia yang membaca secara intim latar belakang pemikiran keagamaan di balik monumen Borobudur. Lewat studi ekstensif, Noerhadi yang juga guru besar arkeologi di UI itu melihat Borobudur sebagai corpus terbuka di arena filsafat (agama) dan seni (hidup).

Sebagai medan filsafat, studi arkeologi berikutnya yang dilakukan Agus Widyatmoko, menemukan benang merah antara Muarajambi dan Borobudur. Muarajambi—mengikuti universitas filsafat tertua bernama Nalanda di India—merupakan situs yang bergerak di ranah akademik. Salah satu mata kuliah khusus yang diambil para bikhu di Muarajambi adalah debat. Perdebatan terbuka dan sehat merupakan sarana membuka pikiran dan sekaligus mencari kebenaran dalam percakapan yang benar dengan pihak yang benar dan kukuh dalam ide.

Nilai-nilai Nalanda dan Muarajambi itu kemudian dikonkretkan menjadi Borobudur di Magelang sebagai sarana pembelajaran dan refleksi pencarian kebenaran lewat pengembaraan (samana). Sebagai monumen pendidikan, Borobudur sebagai pusat dikelilingi asrama-asrama para siswa (wihara). Borobudur adalah kanvas besar di mana ajaran Buddhadarma ditampilkan dalam salah satu medium seni rupa tertua, yakni relief dan patung.

Salim Lee, seorang pengusaha yang tinggal di Perth dan pengkaji intesif serat Borobudur dan Muarajambi, menjadi pemandu utama mengenali sepetak demi sepetak makna kanvas seni dan spiritualitas pencarian kebenaran Sudhana di relief Gandwyuha. Kuliah umum Salim Lee mendekatkan semangat Borobudur dengan kehidupan harian kita; dari sisi teknologi, sosial, pendidikan, spiritualitas, hingga amal. Fungsi stupa, kata Lee, bukan untuk disembah, namun representasi atau media jalan pencerahan. Stupa mengingatkan potensi-potensi kebajikan yang mesti diraih oleh setiap manusia samana.

BWCF tak hanya mendekati Borobudur dari sisi wacana, lalu-lintas gagasan, tapi juga dari kerajinan/ekonomi kreatif, gerak tubuh dan bunyi, dan keheningan. Penyair cum penulis cum jurnalis Eka Budianta bersama Salim Lee memberi materi lokakarya untuk para pelaku ekonomi kreatif yang hidup dari (seni) Borobudur. Kepada para pelaku kerajinan itu, pemberian wawasan pluralitas dan spiritualitas aktual (dharma, amal baik), diharapkan memberi warna lebih atas nilai-nilai Borobudur.

Pertunjukan Rampak Rebana dari Forum Lintas Iman Gunungkidul dan pertujukan tari Alif adalah dua dari pandangan kepercayaan lain yang membaca kekayaan Borobudur sebagai sebuah—pinjam istilah Romo Mudji Sutrsino—monumen toleransi dan pluralisme.

Dan, keheningan. Bikkhu Santacitto, Romo Sudrijanta, dan Yudi Widyawantoro, mengawali subuh peserta BWCF dengan meditasi. Jika Anda terbiasa mengunjungi Borobudur dalam keriuhan serupa pasar dalam kultur turisme, meditasi adalah jalan hulu yang hening mendekati Borobudur. Baik sitting meditation, peace walk, maupun sunrise yoga merupakan syariat/jalan batin menuju arsi-Nya yang terimplementasikan dalam kehidupan harian: beramal baik untuk sesama.

Pergulatan Agama Lokal: Dari Eksklusi ke Inklusi Sosial

Semangat Borobudur yang memberi penghormatan kepada ‘yang asal’ bisa menjadi monumen dari mana kita berdiri melihat keragaman keyakinan di Nusantara. Kita tak bisa memungkiri, segregasi sosial yang kerap berujung pada kaotik, kerap dipicu oleh perlombaan mendapatkan ‘legitimasi Ilahi’ dengan memenggal secara bengis kepercayaan orang lain yang berbeda Tuhan dalam nama. Dalam agama lokal, penyebutan Tuhan beragam. Dalam kepercayaan Malim di Sumatera Utara, Tuhan disebut Mulajadi na Bolon. Atau, La Hupu Ina-La Hupu Ama (Marapu, Sumba) dan Ranying Hatalla (Kaharingan, Dayak).

Bukan hanya soal teologi ini yang membuat hak konstitusi para pemundak agama-agama lokal ini mesti diberikan pengakuan, tapi dalam ritus-ritus dan ajaran kebaikan merekalah kita menemukan bagaimana tanah (hutan) dan air (sungai) kita dilindungi. Agama-agama ini memangku sekuat-kuatnya adab baik terhadap kehidupan ekosistem Nusantara; bagaimana berbuat baik kepada tumbuhan, hewan, maupun makhluk-makhluk tak kasatmata yang menunggu tanah (hutan) dan air (sungai dan laut).

Ada lebih kurang tujuh keyakinan dan ritus lokal yang ditampilkan BWCF dalam mimbar bersama, yakni Permalim (Batak), Kaharingan (Dayak), Marapu (Sumba), Sedulur Sikep (Jawa), Sumarah (Jawa), Sapta Darma (Jawa), Sunda Wiwitan (Sunda). Ketujuh kepecayaan Nusantara serta ratusan lainnya ini kita tahu mengalami eksklusi sosial puluhan tahun. Tonggak eksklusi sosial dari negara itu bisa kita rujuk sejak terbitnya UU No. 1/PNPS/1965.

Pengosongan (atau ‘-‘) pada kolom agama di KTP adalah ejawantah dari PNPS 65 itu. Jika agama seseorang dikosongkan di KTP, eksklusi gelombang kedua segera menyusul: tuduhan tak beragama. Jika seseorang dituding tak beragama, itu berarti ateis. Dan, ateis identik dengan komunis!

Oleh karena itu, untuk terhindar dari eksklusi itu, ‘jalan damai’ pun ditempuh. Jutaan umat dari agama lokal itu ‘dipaksa’ mendekat ke agama-agama yang sudah mengantongi izin praktik: Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Buddha. Belakangan, di masa pemerintahan Presiden Gus Dur, Konghucu mendapatkan izin resmi berpraktik.

Eksklusi sosial itu memang menaikkan kuantitas pengikut agama-agama resmi. Walau tak berdakwah dan berceramah, kata Marko Mahin dari Lembaga Studi Dayak-21, kuantitas pemeluk Hindu naik sangat signifikan di Kalimatan Tengah setelah membuka diri atas Kaharingan pada tahun 80-an.

Pengekskusian itu tak hanya membunuh mekarnya agama-agama budi lokal, melainkan juga menutup jalan kearifan kita untuk menghormati spiritualitas yang datang dan hidup dari dalam. Anda bisa bayangkan, dengan mandat UU No 16 Tahun 2014, negara lewat aparatus Kejaksaan Agung berwewenang memata-matai aliran kepercayaan yang dianggap bisa membahayakan (sic!) masyarakat dan negara.

Secara litigasi, BWCF lewat makalah Sudarto dari Setara Institute, merekomendasikan untuk merancang dan mempercepat lahirnya undang-undang bersemangat progresif perlindungan umat beragama dan berkepercayaan.

Mengikuti semangat Borobudur yang terpancar dari pengembaraan Sudhana sang samana, penghormatan kepada yang hidup mestinya dijadikan sebagai stupa moral teratas saat kita merancang peraturan baru ihwal keyakinan dan kepercayaan kepada Sang Pencipta. Sebab, kita tak sekadar menghampiri ketertiban sosial (fikih), tapi berjalan ke hulu sirnaning kawula gusti dan sirnaning sirna (fana al-fana) atas kepercayaan seorang anak manusia di seantero Nusantara.

Pada akhirnya, semangat Borobudur yang termaktub dalam sapta sumpah Samanthabdra merupakan dua jalan sekaligus: advokasi sekaligus samadi, eksoterik sekaligus esoterik, kalam sekaligus tasawuf, sukha sekaligus dukha, monumen turisme sekaligus monumen spiritualitas. Nah, muara dari itu semua adalah satu: dharma, persembahan kebaikan kepada sesama.

 

* Pertama kali dipublikasikan di Harian Jawa Pos edisi Minggu, 3 Desember 2017.