Biennale Jogja – Equator: Terus Mendayung di Garis Bayang Katulistiwa

Titik krusial saat Biennale Jogja XI lahir di tahun 2011—kemudian dikenal dengan “Equator”—saat biennale membuka semua arsip seni rupa pada 2009 lewat sebuah perhelatan akbar dengan ragam kemeriahannya. Membuka arsip, bukan hanya membongkar memori, mengorek segala masa lalu dengan segenap kasak-kusuknya, tapi juga (mestinya) mempersiapkan platform Biennale Jogja yang kokoh secara manajemen, kuat dalam jaringan inter/nasional, dan berkesinambungan dalam tema/wacana.

Berhadapan dengan arsip di Biennale Jogja X bertema “Arsip” sungguh melelahkan; bukan hanya karena kita berjalan mundur mengikuti tetabuhan sejarah, namun juga partsipasi seniman, antusiasme masyarakat kota, dan kemeriahan atau fiesta yang ditawarkannya mustahil bisa dicapai lagi oleh biennale serupa di mana pun, kapan pun.

Alia Swastika menukil perihal kemeriahan “Biennale Arsip” itu secara sekilas pada paragraf 46 dari 48 paragraf esai kuratorialnya berjudul “Fasad Keyakinan” (2012). Alia adalah kurator dari biennale rasa baru, tema baru, dan manajemen baru. Saya kutipkan ulang satu kalimat Alia itu: “Biennale Jogja X dengan gemilang berhasil membawa publik masuk ke dalam jelajah seni kontemporer yang dinamis.”

Biennale Arsip yang saya sebut titik kursial sebetulnya adalah pencarian dari pelaksanaan pameran seni rupa dua tahunan Kota Jogja yang sesuai dengan karakter (seni) di kota yang bersangkutan: patembayan (komunal), rewo-rewo (gotong-royong), luwes (adaptif). Ejawantah dalam semangat Biennale Arsip seperti itulah yang disebut Alia sebagai “berhasil membawa publik masuk”.

Namun, “jelajah seni kontemporer yang dinamis” yang dibawa Biennale Arsip justru menyebabkan ia menghadapi vonis yang membuatnya kembali dalam sangkar yang perlu diperiksa, digeledah, dan dibongkar: “(wajah) biennale, kok, begitu”.

Biennale yang membawa berjubel-jubel arsip masa lalu dan semasa itu justru diringkus menjadi arsip yang mesti melewati mesin pindai “Rumah Kaca”. Ia diperiksa sedemikian rupa dan secara seksama sebelum vonis dijatuhkan: Biennale Jogja mesti menuju transformasi baru yang “kokoh secara manajemen, kuat dalam jaringan inter/nasional, dan berkesinambungan dalam tema/wacana”.

Biennale Equator dengan begitu saya sebut sebagai sebuah pencarian saat jarum ekonomi seni rupa berada pada level terbawah. Tepat kala ruang makan keluarga seniman kembali sepi dari menu “empat sehat lima sempurna plus properti”, posisi biennale sebagai pemberi “validitas nilai” seni rupa—ini istilah Agung Hujatnikajennong (2012)—dikembalikan ke tempatnya semula.

Manajemen biennale diperkuat dengan jalan pelembagaan berupa “yayasan” yang berdiri sejajar dengan pemerintah kota. Dan, tepat pada saat itu, penguatan jaringan berbasis pada tema dirumuskan.

Biennale Jogja diimpikan sejajar dengan biennale-biennale di berbagai kota di dunia. Lewat apa bendera internasionalisme baru itu dikibarkan? Equator sebagai garis bayang untuk membantu membaca peta bumi dijadikan jalan keluar. Equator bukan hanya tema, tapi sekaligus siasat kebudayaan. Dan terpenting lagi, Biennale Jogja menggunakan garis bayang itu sebagai visa membuka relasi-relasi baru seni rupa Jogja dengan kawasan-kawasan yang mungkin jarang atau bahkan tak pernah berada dalam jangkauan pergaulan dengan seniman-seniman yang berdiam dalam atmosfer budaya Jogja, namun disisir oleh pertautan nasib yang sama, yakni sama-sama dilewati garis bayang peta bumi.

Shadow Lines yang menjadi tema Biennale Equator #1 adalah percobaan pertama menyapa negara serumpun (India) dalam sabuk katulistiwa. Ini bisa menjadi kontribusi penting seni rupa di Jogja memberi gagasan yang sama sekali baru bagi politik diplomasi Indonesia. Jika sebelumnya Indonesia menjadi salah satu inisiator penting lahirnya kerjasama nonblok antarnegara Asia-Afrika dan penggagas terlembagakannya negara-negara Asia Tenggara dalam ASEAN, kini pemangku seni rupa dari Jogja memberi usulan baru yang segar, yakni kerja sama negara-negara katulistiwa.

Model pewacanaan berkesinambungan yang ditawarkan Biennale Jogja ini menyegarkan dan memperluas perspektif politik kawasan kita. Hal itu bisa kita cicipi dari kalimat salah satu dewan pendiri Yayasan Biennale Jogja Eko Prawoto (2012: 6), “Katulistiwa dalam perspektif geologis, geografis, ekologis, etnografis, juga historis serta politis, merupakan wilayah kerja yang luar biasa menarik untuk dieksplorasi”.

Kekayaan dan karakteristik negeri-negeri di bawah limpahan berkah sang surya di sabuk katulistiwa itu yang ingin dijelajahi Biennale Jogja dalam satu dekade, antara 2011 hingga 2021. Dan, ini sangat menantang dan menjanjikan. Di aras seni rupa, kita kemudian mengenal lebih dekat, lebih intim, lebih sublim sejarah dan perkembangan mutakhir seni rupa negeri-negeri di bawah sang surya. Memasuki pergelaran Biennale Equator ke empat, seni rupa Jogja sudah terkoneksi dengan empat cerita seni budaya, empat karakter masyarakat dalam empat negara sahabat katulistiwa. Tak ada preseden dalam sejarah seni rupa sebelumnya bagaimana seni rupa Indonesia bisa membuka dialog dengan perupa India (Asia), Arab (Asia), Nigeria (Afrika), dan Brazil (Amerika Latin). Tak ada dalam pembayangan sebelumnya bahwa seni rupa Indonesia bisa menjalin hubungan diplomatik kebudayaan dengan cara berkarya bersama di sebuah kota bernama Yogyakarta.

Sebagai langkah baru atau babat alas, tentu saja penyelenggaraan Biennale Equator yang kuat dalam tema dan segar dalam politik kebudayaan itu menemui hambatan yang luar biasa besarnya dalam “berhasil membawa publik masuk” dalam peristiwa. Bukannya tak disadari bahwa Biennale Arsip yang bergemuruh, tiba-tiba saja, dalam catatan kuratorial Alia Swastika di paragraf 47 Biennale Equator #1: “terasa lebih kecil dan tidak terlalu glamor”.

Sebagai pembuka akses, Equator #1 (India) dan Equator #2 (Arab) menjadi pertaruhan pertama hidup dalam bayang-bayang kesunyian. Bukan karena jumlah partisipasi seniman peserta berkurang, tapi antusiasme masyarakat seni dalam kota untuk berduyun-duyun ke gelanggang pameran juga menurun drastis. Dan memang, perhatian besar dalam kurun babat alas itu untuk memperkuat pondasi pewacanaan atas apa yang disebut “katulistiwa” dengan memperbanyak kolakium, menggeber sawala, dan menggiatkan diskusi atau forum. Hal itu makin memperteguh suasana bahwa biennale menjadi perhelatan seni yang “terasa kecil” dan “tidak terlalu glamor”.

Tapi, betapa pun, Biennale Jogja adalah pameran seni rupa. Ia tak bisa menghindar dari “gempa publik” dan “keriuhan/glamor”. Watak sejati pameran adalah memamerkan yang wah dan dengan demikian menarik sebanyak mungkin perhatian dan atensi.

* Esai ini selengkapnya termuat dalam Katalog Biennale Jogja XIV – Equator 4: STAGE OF HOPELESSNESS