Agar Republik Tak Mengikuti Jejak Negara Majapahit yang Bubar karena Penodaan Agama

Mari melihat kembali wajah tegang Republik kita tahun 2017 dengan membaca ulang sebuah naskah sastra-lakon tua berjudul Sandhyakala Ning Majapahit. Terutama sekali, pasangnya isu-isu penodaan agama yang tak hanya merobek ‘tenun(G) kebangsaan’ kita, melainkan menguatnya politik(sasi) agama dalam politik elektoral kiwari.

Sastra-lakon tipis 81 halaman ini terbit pertama kali pada 1971 dan diterbitkan ulang di tahun 2013 oleh Pustaka Jaya.

Ditulis pujangga cum penyair seangkatan dengan Chairil Anwar, buku lama dengan bahasa arkais yang dibungkus sampul baru ini tak pernah kalis pamornya hingga kiwari. Hatta, konteks cerita berada di rantai waktu yang cukup jauh, abad 14: “lakon terjadi di Paluh Amba, Kepatihan dan Bangsal Witana, kira-kira Saka 1350″.

Cerita romansa Damar Wulan, Anjasmara, dan Menak Jingga barangkali sudah sering dipanggungkan di gelanggang ketoprak kontemporer. Namun, lakon versi Pane ini berbeda sama sekali, walaupun mengambil konteks dan ketokohan yang sama.

Sanoesi Pane fokus kepada bagaimana Damar Wulan dinaikkan di panggung kekuasaan saat krisis kesatria dan kerajaan dihuni para senapati korup, penggawa penakut, dan para pendita yang mengendarai agama untuk kepentingan-kepentingan yang banal. Dialog-dialog reflektif tentang sangkan paraning dumadi di hutan Paluh Amba, kegelisahan di Kepatihan Majapahit, dan penghukuman yang keliru di Bangsal Witana adalah tiga latar yang coba diajukan Pane yang dengan sangat sadar membuang begitu saja lakon pertempuran sengit antara Damar Wulan versus Menak Jingga di Prabalingga.

Damar Wulan yang “moksa” dengan nama Raden Gajah, begitu kisah Pane, menjadi kesatria terakhir yang turun gunung dan ditunggu Ratu ning Majapahit Dewi Suhita untuk menyelamatkan negara dari api angkara Menak Jingga yang ekspansif. Ia datang saat pemerintahan lumpuh oleh para pembantu raja dan mapatih yang mengabdi ala “ARS”, asal raja senang. Tanpa inisiatif, serakah, korup, munafik, dan pengecut. Prajurit-prajurit tempur berkarat di barak karena kehilangan senapati perang yang menaikkan jiwa tempur di medan laga.

Damar Wulan, putera Patih Udara dan memiliki pertalian darah dengan legenda Arya Ranggalawe yang gagah perkasa mau kembali ke medan laga menghancurkan Menak Jingga asalkan Sri Prabu mengabulkan dua syarat yang ia ajukan. Pertama, ia dikawinkan dengan Anjasmara, putri Mapatih Amungkubumi Logender. Damar tahu, Mapatih yang juga pamannya itu, tak berkutik jika Sri Prabu Dewi Suhita bertitah. Rajukan “Damar, marry me. I begging you” dari Anjasmara akhirnya terlaksana. Damar dan Anjas ‘kawin-celup’ singkat sebelum berangkat ke medan laga.

Kedua, Sri Prabu Suhita kembali melihat langsung rakyat, mengajeni rakyat-tani yang menderita karena ulah para pejabat korup yang kejam dan pemungut upeti secara sewenang-wenang. Sri Prabu juga berjanji melakukan hal itu asalkan Majapahit keluar dari ancaman menjadi negara gagal karena pemebrontakan Menak Jingga.

Pane mempercepat kisah dan menaikkan tempo. Menak Jingga, si Adipati Wirabumi, lewat cerita Adipati Menak Koncar, tewas lewat taktik perang Raden Gajah di babak keempat sastra-lakon ini.

Dan, babak kelima yang menjadi babak pamungkas inilah yang paling menentukan. Yakni, drama pengeroyokan dan fitnah dari semua penjuru kerajaan oleh pejabat hingga pemangku agama untuk menyingkirkan pengaruh Damar Wulan di kalangan jelata ibu kota.

Karena jasa-jasanya, Damar Wulan ditunjuk sebagai adipati Angabaya oleh Sri Prabu Suhita. Amanat itu dipikul Damar Wulan dengan tekad dan kerja keras mengembalikan marwah Majapahit yang berada di pengujung waktu dengan satu-satunya jalan: kekuasaan mestilah berkiblat untuk ngemong kawula yang jelata. Takhta untuk rakyat. Raja mengajeni petani. Agama yang penuh takhayul dan menghambat kerja-kerja kerakyatan untuk memuliakan negeri mesti disiangi.

Atas usaha pembersihan watak buruk di kalangan pejabat tinggi dan ulama semasa itu, Damar Wulan dituding melakukan penodaan agama. Mereka yang muak atas tindak-tanduk Damar Wulan yang agresif menghantam pejabat-pejabat tertentu bersekutu mencari jalan menjerat Damar. Jalan terbaik yang dipakai dan paling mudah untuk itu adalah menghunus pasal penodaan.

Begini kata-kata Damar Wulan saat memberikan pleidoi di sidang pengadilan yang memvonis nasibnya atas tuduhan penodaan agama tersebut: “Daulat Prabu, purbakala agama kita muda segar, meninggikan derajat jiwa Dewata cuma tanda saja, berhala hanya perkakas indah untuk menghalaukan perasaan kita. Demikian juga air suci, pesta agama. Dewata sebenarnya jiwa kita, kehidupan bertakhta dalam hati. Patik (sahaya) mencoba menerangkannya kepada rakyat Sri Prabu, supaya mereka sadar kembali akan jiwa sukma sendiri. Agama sekarang penuh takhayul, penuh kepercayaan kepada hantu, kepada kejadian luar biasa. Pendita banyak tukang sunglap, mengelabui mata rakyat bebal. Ada yang mengatakan pandai terbang dalam udara, biasa duduk di atas harimau, membunuh orang dengan mantera, tidak luka kena senjata dan bisa berjalan di atas laut.

Ada resi duduk bertapa dalam gua gelap gulita. Di atas batu di tengah kali, tidak makan hingga kurus. Ada yang melihaf hidungnya saja, ada yang mengangkat jari tangannya siang dan malam, karena mengharap pengetahuan gaib.

Boleh jadi, ya Prabu, sebenarnya ada pengetahuan begitu, akan tetapi bukanlah agama namanya lagi.

Karena agama jalan ke nirwana, melepaskan orang dari maya, membawa bahagia yang bersifat baka.

Bukan patik melawan agama, hanya ingin memudahkannya. Patik bermaksud menghilangkan takhayul, menerangkan arti tanda-tanda, seperti Dewata, berhala, air suci. Pendita tentu merass rugi karena berkurang pendapatan mereka: agama dipandang perniagaan.”

Semua saksi yang dihadirkan dua pendita agama paling berpengaruh di seantero Majapahit di Bangsal Witana memberatkan Damar Wulan. Bahkan, suami Sri Prabu Dewi Suhita, Sri Paramesywara, mendesak penjatuhan hukuman berat kepada Damar tanpa mengindahkan sama sekali jasanya meloloskan Majapahit dari kehancuran akibat rongrongan Menak Jingga.

Satu-satunya pembela Damar di Bangsal hanyalah Sri Prabu Dewi Suhita sendiri, namun ia tak berdaya akibat suara mayoritas pejabat-pejabat kepercayaannya berkata bulat untuk kematian Damar.

Hukuman pun jatuh. Damar tidak hanya dihukum penjara, melainkan menjalani hukuman mati.

Yang tak pernah diperkirakan pejabat-pejabat bermental rendah dan pragmatis itu adalah bahwa dalih penistaan agama adalah taktik kekuatan baru dari pantai utara Jawa yang dikuasai Adipati Bintara yang ditopang Walisanga untuk memisahkan Damar Wulan dan Dewi Suhita/Majapahit. Tanpa senapati perang Damar Wulan, Majapahit tak lebih hanyalah remah rempeyek di kaleng khong guan.

Saat hukuman jatuh, balatentara penghancur Majapahit berangkat dari Bintara.

Menak Koncar, laskar kepercayaan Damar saat penumpasan Menak Jingga di Prabalingga, setelah tahu vonis eksekusi ‘sudah dilakukan’, di akhir lakon, berteriak parau dan kehilangan segala kekuatannya: “Sumpah dewata menghancurkan kamu, paramenteri dan kepala agama serta Majapahit. Sebentar lagi kota ini akan musnah, akan tinggal bekasnya saja dan kamu, Suhita, akan meratap di atasnya. Ketika Damar Wulan, kesatria yang penghabisan, runtuh ke tanah, seri Majapahit pindah ke Bintara.”

Majapahit sebagai negara bukan hanya berada di tubir senjakala, sandhyakala, sinar matahari sebelum terbenam, tapi juga runtuh binasa. Bukan oleh serangan musuh semata yang membandang dari utara, tapi lapuknya mental patriotik yang penghangusannya dipercepat isu penistaan agama dalam internal kepatihan.

Jika Majapahit adalah kiblat kita bernegara yang baik dan benar sebagaimana sejak awal mata batin historis kita didorong-dorong duo Yamin dan Karno selama ini, lihat pulalah bagaimana Majapahit berubah menjadi negara gagal.

Dari Wilwaktika Majapahit, kita memang bisa belajar bahwa negara yang terlihat tampak gagah dan jaya bisa runtuh oleh sikap permisif harian warga dan pejabat terasnya atas gejala ‘kanan’ dan sikap korup manipulatif yang menghanguskan ikatan-ikatan solidaritas sosial dan tenun(g) kebangsaan yang telah ditorehkan sebarisan pendiri awal seperti Raden Wijaya dan loyalis-loyalisnya.

PS. Tulisan/resensi ini disusun secara on the spot dengan 30 peserta Lokakarya Resensi Buku #tahunbarudijbs, 31 Desember 2017.

 

Pict. @kylejglenn