Aku & Mangir 4 (Selesai)

Satu dekade kemudian, 24 Desember 2017. Barangkali, ini proses pembacaan terlama saya atas buku Pramoedya Ananta Toer berjudul Drama Mangir. Bahkan, dua tulisan sebelumnya sudah disatukan dan terbit di buku Pramis oleh Octopus pada 2016.

Dalam jarak satu dekade itu, perubahan kota dan diri berubah banyak. Bus Kopata yang biasanya balapan kejar setoran melenyap di jalanan dan berganti dengan transportasi ijo royo-royo, otobus Transjogja dan gojek. Mengapa angkutan-angkutan memilih warna hijau, wallahu alam. Yang pasti, gairah beragama sedang naik pasang. Saat becak sudah ditempeli mesin kanibal motor dua tak.

Yang tak berubah adalah NU tak pernah bisa masuk dan menguasai Kotagede. Sekolah Muhammadiyah sejak usia dini hingga akademi berdiri berderet dengan rumah-rumah kerajinan perak dan mematok kekuasaan: ini wilayah Muhammadiyah, Dab!

Perjalanan ke Kotagede saya tempuh dengan naik sepeda. Maklum, jarak Radio Buku di Panggungharjo ke Kotagede hanya berjarak 8,7 km dan butuh waktu 30 menit dengan rata-rata kecepatan 20 km per jam. Saat berjumpa dengan pasar besar dengan jalan-jalan kecil, dua plang menghadang perhatian: arah Masjid Kotagede dan patok “Jl. Watu Gilang”.

Di pintu masuk masjid itulah satu plang besar berdiri kukuh: “Makam Raja-Raja Mataram”. Namun, Watu Gilang sedikit menjauh ke selatan, tepatnya di mulut Jl Sutowijoyo.

Lihat, bagaimana Watu Gilang ditempatkan. Ia tidak satu kompleks dengan “makam raja-raja mataram”. Ia berada di luar kompleks, tapi masih di nDalem. Ia berjarak, tapi masih dalam jangkauan kontrol.

“Sesampainya di halaman Raden Ajeng Pambayun langsung masuk keputrian, sedang Kyai Mangirwanabaya langsung menghadap Gusti Kanjeng Senapati, seterusnya diijinkan sungkem. Gusti Kanjeng Senapati duduk di atas batu Gilang. Ketika Kyai Mangir Wanabaya menundukkan kepala, terus dipegang dan dipukulkan di atas batu gilang, sehingga batu menjadi dekok, dan Kyai Ageng Mangirwanabaya seketika pecah kepalanya dan ramai seketika. Dekoknya batu gilang sampai sekarang masih terlihat. Kyai Mangirwanabaya kemudian dimakamkan di Kotagede (Pasarean Mataram), di dalam separo di luar separo. Tamatlah riwayat Mangirwanabaya,” demikian dituliskan di bagian akhir buku saku jilid III, Riwayat Pasarean Mataram III. Buku yang terdiri dari tiga jilid ini dicetak dengan cara difotokopi dan pengunjung pasarean bisa membelinya seharga 20 ribu rupiah.

Berlainan sama sekali dengan akhir buku Drama Mangir. Mangir Wanabaya tak mudah ditaklukkan. Ia seperti banteng mengamuk di alun-alun, walaupun kemudian rebah di tanah oleh tusukan keris dan tombak para temenggung yang mengeroyoknya. Sebelum napasnya betul-betul lepas, ia berkata: “Raja dari segala dusta ….”

Demikian pula sang panglima perang Mangir yang gagah perkasa, Baru Klinting. Sebelum ia tumbang selama-lamanya, ia lamat-lamat berkata dengan penuh amarah kepada raja Mataram itu, Panembahan Senapati: “Raja segala penganiaya. Be-de-bah!”

Adapun Pambayun lari menghampiri sang suami tercinta. Dan, di samping mayat suaminya, ia berkata parau: “Jangan lupakan Pambayun, ayahanda baginda, antarkan sahaya pergi bersama dia ….”

Ini jawaban Raja Mataram, Panembahan Senapati, kepada darah dagingnya sendiri sambil tak sudah-sudah ia tertawa atas kemenangannya menyelesaikan Mangir: “Haram bumi Mataram dengan hadirnya perempuan durjana hina ini. Keluarkan dia dari Mataram Jaya!”

Ya, ya, sejarah yang diajukan Pram memang bukan ingatan arus utama. Tak ada tombak baru klinting, tak ada watu gilang. Namun, dalam versi resmi yang diawetkan dan menjadi “yang utama”, ya, itu tadi, batu gilang. Batu gilang ini adalah lempengan di mana kepala Mangir dibenturkan. Di atas batu itulah kepala (batu) Mangir sebagai pembangkang dari Selatan pecah setelah Panglima Baru Klinthing dan pasukan pengawal dilucuti dan dibantai dalam operasi “kepit urang”. Gerakan Mangir berakhir di Kotagede dengan kisah yang sangat memilukan. Politik tipudaya Panembahan Senapati membawa kepalanya yang jenius, penuh nyali, dan keras sikap ke batas akhirnya. Kepala yang bersimbah darah itu yang dicium sejadi-jadinya oleh Pambayun, istri terkasih Mangir dan sekaligus putri raja yang diumpankan untuk memuluskan pemadaman gerakan tani Mangir di pinggir Kali Progo.

Batu gilang diawetkan–dan kini menjadi wisata budaya dan pendidikan–sebagai peringatan untuk jangan macam-macam dengan kekuasaan raja. Keraton membutuhkan monumen untuk terus-menerus dilihat kawula sebagai woro-woro politik budaya bahwa segarang apa pun nyalimu, kawula tetaplah di bawah duli dan titah sang raja.

Agar kekerasan itu absah, raja membutuhkan legitimasi. Agama adalah selimut legitimasi itu. Batu gilang tak ditudungi oleh masjid dan jauh dari kompleks religisitas. Lihatlah, batu gilang dikurung oleh bangunan yang tak berbeda dengan rumah penduduk Purbayan di sekitarnya. Tak ada sentuhan ornamen religiusitas apa pun di sana. Jika ia tak berdiri di tengah jalan dan kendaraan melipir di kiri kanannya, sebagaimana Kandang Menjangan di Krapyak, sama sekali tak ada yang istimewa dari petilasan ini.

Berbeda dengan “Makam Raja-Raja Mataram” yang berada dalam kompleks Masjid Kotagede. Posisinya mendapatkan perlindungan nomor satu dari agama. Kuasa raja disanggah oleh agama, sementara si kawula yang membangkang, walaupun bagian dari darah dan daging Keraton, tak layak mendapatkan penghormatan.

Oleh karena itu, tulisan di spanduk kumal warna merah yang tertempel di dinding luar rumah Watu Gilang, “wisata budaya dan pendidikan”, saya pandang sebagai monumen kekerasan untuk peringatan agar enggak boleh macam-macam.

Ini adalah monumen kekerasan abad 16 yang disumbang keraton untuk pendidikan politik Indonesia yang gemah ripah loh djinawi.