Bangunan tinggi menjulang berlantai-lantai berwarna kuning itu bernama Grha Suara Muhammadiyah. Ia paling gress, paling baru, dan paling terang di antara semua bangunan milik usaha Muhammadiyah di Jl Kiai Haji Ahmad Dahlan, Kota Jogja, yang umumnya berwarna kusam oleh masa yang asam-asam pait. Diresmikan pada 25 Februari saat stang sepeda saya mantap menuju makam di mana Kiai Dahlan berdiam sejak 95 tahun silam.
Grha itu memberitahu satu hal, kultur cetak dan literasi Muhammadiyah tak pernah padam. Mungkin, seperti tersirat dari logo yang selalu bercahaya terang tanpa terganggu oleh gulungan awan yang gelap, kusam, dan disertai petir. Grha itu adalah sikap dari Muhammadiyah bahwa mereka bisa menjaga lebih dari satu abad sejak 1915 sebuah majalah yang mereka beri nama Soeara Moehammadijah (SM). Di situ, SM bukan sekadar majalah–sebuah terbitan berkala. SM telah bertiwikrama sebagai simbol, sebagai sebuah warisan. Saat para pengurus pers menganugerahi SM sebagai pers perintis pergerakan, semacam life achievement award, bukan saja itu sangat layak, tapi juga fardlu ‘ain hukumnya. Mana ada majalah yang lahir 1915–seangkatan dengan Moeslim Bergerak Hadji Misbach–masih segar bugar hingga saat ini. Bahkan, memiliki sebuah gedung berlantai-lantai berwarna kuning dan makin bersih saat terpantul sinar matahari pagi siang sore.
Sekali lagi, SM bukan majalah, tapi beyond–ia adalah sebuah industri warisan berbasis pers yang dijaga dengan begitu cermat oleh Muhammadiyah di setiap transformasi kepengurusan. Sebagai sebuah industri warisan umat perserikatan, ia bisa menjelma sebagai sebuah toko, taman pustaka, percetakan, dan bahkan kafe dengan label halal. SM, saya kira, bisa menjadi halte “pariwisata halal” berbasis “industri warisan” yang sedang gencar-gencarnya dipromosikan pemerintahan Joko Widodo di “Kementerian Pesona Indonesia”.
Tapi, pada 25 Februari itu, saya hanya takjub di seberang jalan, lalu berhenti sejenak di gedung kusam Suara Muhammadiyah yang terkunci. Tujuan akhir saya sebetulnya adalah makam Kiai Dahlan di Gg. Merdeka, Karangkajen. Perkuburan di belakang Masjid Jami Karangkajen itu bukan perkuburan keluarga, melainkan umum. Tak ada siapa pun dalam area perkuburan itu di Minggu siang jelang zuhur. Kuburan itu sepi dari peziarahan. Maklum, pasal 6 dalam peraturan di makam ini menegaskan dengan sangat jelas: “tidak akan mengkeramatkan makam dengan upacara sesajian yang mengarah syirik dan pengkultusan”.
Memang, secara visual tak ada yang mencolok dari kuburan Kiai Dahlan ketimbang kuburan lainnya. Undakan semen di atas pusaranya naik tak lebih dari 2 cm dengan satu nisan putih seperti patok kecil. Jika tak ada papan besar di dinding yang bertuliskan bahwa itu makam sang pahlawan nasional sejak 1961, tak ada yang menyangka bahwa di bawah pusara itu sang godfather Persyarikatan Muhammadiyah dan pimred pertama Suara Muhammadiyah berbaring.
Terima kasih, Kiai Dahlan. Kau merintis budaya cetak di Muhammadiyah dan generasi penerusmu dalam perserikatan dengan segala keletihannya menjaga nyala Suara Muhammadiyah hingga seratus tahun lewat.
Di sektor ini, saya kira NU bisa belajar lebih keras dari Muhammadiyah.