Lahir di Desa Latek, Sekaran, Lamongan, Jawa Timur dan besar dalam lingkup Muhammadiyah; sejak madrasah hingga perguruan tinggi. Kehidupan ruhaninya adalah perjumpaan dua arus besar; arus kuat Muhammadiyah di satu sisi, sementara arus abangan/kejawen di sisi lain. Dari Muhammadiyah ia mewarisi agama yang menghalau penyakit TBC dalam akidah, sementara dari kejawen ia mewarisi budaya tari Jawa dengan segala ritusnya.
Tarik-tolak dua arus itu ia bawa hingga dewasa. Remaja berada dalam madrasah pilihan untuk menjadi kader umat terbaik yang hapal Alquran, saat usia semenjana berada di perguruan tinggi yang disebut-sebut “rumah liberalisme agama”. Dan, kini, nyaris semua “identitas keagamaan” yang dipikul dan dihikmatinya hampir satu dekade longsor tanpa sisa. Yang masih diam-diam dipeliharanya adalah keinginan untuk terus menari dan menari.
Ia memilih menjadi jurnalis di kehidupan kreatif pertamanya karena pergaulan dalam ekosistem Ciputat. Di majalah gaya hidup Muslimah jaman now, Paras, posisinya merangkak hingga redaktur pelaksana. Majalah milik pakcik dan makcik asal Jiran itu membuatnya bertemu banyak orang, banyak sosialita berjilbab, dan tentu saja ia menggauli Jakarta secara kaffah.
Dengan membawa kandungan yang membesar, ia terlibat konflik internal di majalah sosialita muslimah itu. Ia maju berperkara untuk mendapatkan pesangon. Ia menang. Namanya, Sri Rahayu El Arman pun turut tumpas bersama hengkangnya ia dari Paras.
Badai profesi itu diikuti badai selanjutnya: keluarga yang ia bangun bersama suaminya karam oleh gulungan ombak angin barat. Di pengadilan agama tanpa kerja, sebuah keputusan dibikin: ia menjadi orangtua tunggal dengan membawa dua buah cintanya: seorang bocah laki-laki yang baru belajar berjalan dan satunya lagi masih meringkuk dalam rahim yang gelisah.
Dalam kesuraman yang menyusutkan nyali hidup itu, ia mendapatkan setitik cahaya yang kemudian mengubah hidupnya secara drastis. Oleh jaringan narasumbernya, ia mendapatkan jodoh kreatif dengan negeri Papua. Tepatnya, Raja Ampat.
Sekoci hidup itu menyelamatkan kehidupannya dan sekaligus menjadi kehidupan jilid keduanya. Sejak saat itu, ia menyandang nama baru: Ayu Arman. Juga, ia memundaki profesi baru: penulis biografi para pemimpin yang lahir dari buah Otonomi Daerah. Dalam perahu putih dengan haluan menuju timur Nusantara itu, ia seorang diri sekuat-kuatnya menghidupkan dua putera terkasihnya sembari berjaga kreativitas menulisnya terjaga dan jaringan tokoh narasumbernya tetap tersambung.
Dari menulis biografi di kehidupan keduanya itulah, ia tahu hidup harus diperjuangkan. Seorang perempuan dan sekaligus ibu mesti berani berontak dari spiral kekerasan dalam rumah tangga yang mengunci napas hidupnya; mulai dari kekerasan finansial, penjara batin, hingga tekanan kultural.
Sri, menarilah lagi, seperti Sari yang menari melepas pahit dan biaskan hari lalu yang dinyanyikan dengan kuat oleh Leilani “Frau” Hermiasih!
#TemankuOrangBukuKeran