SMPN 1 Sirenja, Titik Temu Remaja Semasa di Seantero Kecamatan

Catatan ini anggap saja sebagai keikutsertaan saya dalam Temu Alumni Akbar yang diselenggarakan untuk pertama kalinya pada 16-17 Desember 2017 di SMP Negeri 1 Sirenja di Balentuma, Kec. Sirenja, Kab. Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah. Saya diberitahu, tapi tak sedang berada di “trek mudik” dari Jogja ke Sirenja — Muhidin M. Dahlan

Saat ini, Sirenja memiliki tiga sekolah menengah pertama. Sebelum dimekarkan menjadi tiga, SMP Negeri 1 (sebelumnya tanpa satu) adalah satu-satunya dari belasan sekolah dasar di semua desa di seantero Kecamatan Sirenja. Tujuan pemekaran itu mulia demi memperbaiki mutu pelayanan dan memutus jarak yang jauh dari siswa yang kebetulan rumahnya berada di radius kutub utara dan kutub selatan.

Namun, ada yang hilang dari pemekaran itu, yakni perjumpaan remaja-remaja dari seantero desa di Sirenja. SMPN l adalah satu-satunya sekolah yang berhasil mempertemukan siswa dari ujung selatan (Ombo) dan utara (Lende) dalam satu ruang sekolah.

Saya ingat betul bagaimana si kembar Ladu dan Laturi yag mengayuh sepeda dari pedalaman Ombo dan berjumpa dengan Moh. Azan, Tirsam, dan Anas dari Lende dan Lampio. Demikian pula mereka yang berada di desa “atas” seperti Sibado, Sipi, dan Jono Oge, berduyun-duyun menuju Balentuma.

Desa Tompe memang ibu kota kecamatan, tapi Balentuma–desa di mana SMP Sirenja berada–adalah halte di mana interaksi dibangun secara harian. Selama tiga tahun, SMP Sirenja di Balentuma menyerap semua kenangan akil baligh para remaja.

Jika saat SD masing-masing siswa hanya berkenalan dan berkawan dengan sesama sedesa, tidak dengan SMP Sirenja. Semua-muanya dipersatukan secara harian lewat sebuah kurikulum dan satuan pelajaran serta interaksi.

Persaingan tentu saja ada. Saya merasakan betul siswa dari Tanjungpadang menjadi lebih dominan di angkatan saya. Mestinya Balentuma sebagai homebase atau tuan rumah yang meneguhkan dominasi. Namun, tidak. Sophan, untuk menyebut salah satu siswa dari “tuan rumah”, sama sekali tidak menampakan aura yang menekan. Dia justru sangat ramah. Dan, saya bisa memakluminya. Desa Tanjungpadang menjadi desa “termaju” kedua setelah Tompe. Dominasi itu juga merembet hingga di urusan sepak bola tarkam dan asmara remaja-remaja tanggung. Di sana ada nama-nama seperti Hendrik, Loni Munirfa, Chairil, Nurjannah, Sam, Amal, dan sebagainya. Juga, tentu saja Pak Kepala Sekolah Said juga berasal dari Tanjungpadang.

Di hadapan mereka itu saya yang berasal dari Desa Tondo hanyalah liliput yang fana, tanpa daya dan jauh dari berkah. Desa yang saya sebutkan terakhir, apa boleh bikin, selalu menjadi slilit–sisa makanan yang nyangkut di sela gigi–bagi desa ini. Di sepak bola tarkam juga demikian. Sebagai slilit yang merepotkan, sikap yang perlu ditanamkan adalah “tak boleh main kasar” dengan Tanjungpadang. Sebab, seperti yang saya katakan tadi, siswa dari Tondo mesti melintasi Tanjungpadang saat pergi dan pulang sekolah di Balentuma. Bikin repot, kan, kalau ada “konser” main hadang.

Namun, itu semua hanya kelebatan perasaan-perasaan aneh yang tak bisa dipertanggungjawabkan sama sekali. Sebab, SMP Sirenja mampu mengatasi segala yang terlihat dominan. Untuk meredam hasrat menjadi jagoan–termasuk untuk si langganan terlambat–selain menyediakan biro BP (Bimbingan Penyuluhan), sekolah juga membentangkan kolam renang di halaman depan.

Kolam ini dipandang ampuh untuk menekan segala hasrat yang supra. Kolam seluas halaman sekolah dan entah dibikin atas inisiatif siapa adalah monumen “ekologis” untuk memberitahukan agar jangan macam-macam.

Jika setiap negeri ada penjara, kolam SMP Sirenja adalah monumen penghukum tubuh yang tak patuh. Saya memang belum pernah diceburkan ke kolam ini, walaupun sekali diperiksa di BP karena adanya aduan bikin ribut di salat terawih berjamaah. Tapi, beragam kipasan cerita yang ngeri selalu disebar, bahwa di kolam itu beranak pinak lintah-lintah semok haus darah.

Anehnya, itu saya percaya. Sama sekali tak ada pikiran bahwa di kolam itu menjadi tambak yang menguntungkan bagi sekolah seandainya beternak ikan tawar seperti nila, mujair, gabus, dan gurame. Dan, pikiran seperti itu pasti langka karena lauk sehari-hari ribuan remaja yang mempercayakan “nasib ajar”-nya pada SMP Sirenja adalah ikan laut yang jarak garis pantai dari jalan utama hanya dua blok rumah.

Jalan di garis pantai dari utara hingga selatan itulah setiap hari di waktu wajib sekolah terdapat pemandangan ini: berduyun-duyun siswa berseragam putih-biru dalam kelompok kecil atau sendiri-sendiri berjalan kaki atau bersepeda menuju titik tengah: Balentuma. Selalu begitu saat terang tanah tiba atau ketika matahari tegak lurus dengan langit.

Selalu begitu saat Hamzah dari Sibado, Oyong Riza dari Jono Oge, Riri Kristina dari Sipi mengalir ke hilir dengan langkah-langkah yang letih karena panggilan wajib belajar dari Balentuma.

Tentu saja, banyak kepala banyak ingatan. Ada ribuan kepala yang berjumpa pada medio 2017 di Balentuma. Dimulai dari jalan santai dari Tompe menuju Balentuma, kata Marwia M. Dahlan, adik saya angkatan 1996 yang pernah menjadi guru SD di Sipi dan kini Jono Oge. Aksi itu tak lain adalah mobilisasi memori yang pejal apa sesungguhnya arti duyunan di masa yang jauh saat tekad menempuh pengetahuan sebanding lurus dengan otot belikat kaki. Jalan santai tentu saja tak sesantai jalan kaki saat Balentuma menjadi alarm tiap pagi untuk segera bangun dan berjalan selama seribu hari.

Ada pula yang mencari tempat makan untuk saling berbagi cerita, kata kakak saya angkatan 1988, Salbia M. Dahlan, yang kini menjadi kepala sekolah SD Inpres Tondo. Makan adalah kenangan bahwa SMP Sirenja sejatinya tak punya kantin di dalam pagar sekolah. Kantin itu menyebar di dua sayap dan satu tepat di depan di seberang jalan. Posisi dan keberadaan kantin menunjukkan posisi. Desa-desa di utara Balentuma memilih sayap utara. Sementara itu, sayap selatan umumnya dari desa-desa di selatan, wabilkhusus Tanjungpadang dan dua desa penyanggahnya, yakni Sipi dan Dampal. Sisa dari itu konsisten di kantin depan sekolah. Sebut saja mereka sebagai front remaja antikeroncongan!

Ada pula, menurut cerita yang lain, angkatan reuni menuju pantai menyaksikan matahari yang rebah di pangkuan senja-sirenja dalam barisan rapat batang-batang nyiur sebelum datang malam elekton yang riuh.

Saat cerita malam kesenian tiba, saya tiba-tiba ingat sesuatu bahwa jelang pungkas ajar, saya menemukan diri saya tak menyukai sama sekali drama, pentas di atas panggung. Jelas dalam ingatan saya di tahun 1993, saya melihat bagaimana rekan-rekan sekelas saya seperti Chairil, Sophan, Azan, dan lain-lain sibuk berdandan untuk mementaskan drama “Di Bawah Lindungan Ka’bah” karya Hamka, saya hanya berdiri menjauh sembari berpikir kosong. Bahwa, saya dua dekade kemudian menulis buku kritik “Aku Mendakwa Hamka Plagiat”, saya akui, nama yang menjadi subjek kritik saya itu saya ketahui pertama kali dari drama sebabak di panggung seni SMP Sirenja di Balentuma. Bahwa, kemudian saya banyak bersentuhan dengan kawan-kawan pegiat teater dan sastra di Jogja, saya akui, saya tahu drama yang disadur dari buku sastra pertama kali dari bawah panggung drama di Balentuma tiga purnama sebelum saya benar-benar meninggalkan Sirenja untuk ke Palu dan lantas ke Jogja.

Yang tak pernah bisa saya reka adalah saya saat ini menjadi penulis penuh-waktu di Daerah Istimewa Yogyakarta. Bahkan, saat saya kembali ke Balentuma di hari terakhir bulan Februari 2018, saya tak juga menemukan jejak yang kuat dan masuk akal, mengapa saya putar haluan menjadi penulis.

Yang diketahui remaja 15 tahun ini saat masih berseragam putih-bir adalah ini: jika bukan menjadi petani cengkeh,  ya, penggembala kambing. Atau, menjadi petugas PLN dengan cara belajar fisika yang keras karena melihat Pak Heru, si guru fisika, nyambi sebagai pemasang listrik di rumah saya.

Di Balentuma, kini, saya masih menyaksikan poster-poster besar jejak reuni akbar berdiri di pinggir jalan dari berbagai angkatan, dari yang paling awal, 1982, hingga yang termuda 2004. Poster-poster ini mulai pudar warnanya, namun tak menyembunyikan kemeriahan seribuan ingatan dari seribuan lebih kepala yang hadir untuk mengingat dan sekaligus memberikan dorongan agar SMP Negeri 1 Sirenja tetap berada di trek pengabdian untuk mendidik putra-putri Sirenja secara adil dan beradab yang berkeadilan sosial bagi seluruh Indonesia dengan tak lupa berketuhanan yang esa dengan sukma bersatu.

Lha, kok mendadak Pancasila.

Panjang umur peradaban bersekolah!