Ambo dan Kambing

Ambo, si lelaki tua dari Mandar itu, meletakkan senter di salah satu batang pohon kelor yang terpancang mengelilingi kandang reot yang tak kalah tuanya. Ditumpahkannya sekarung sisa kangkung dari kebunnya yang tak layak jual dan langsung diserbu sembilan mulut kambing kampung yang kelaparan. Lewat bantuan cahaya terang-gelap senter itulah patriarkh tua dari Mandar itu berdiri mematung dengan dua jari tangan kanan menjepit sebatang rokok. Dalam gelap, bayangannya bersama setitik bara rokok itu seperti relasi antara dirinya dengan kambing yang tak pernah surut oleh waktu.

Ia ingat, saat putera pertamanya lahir pada awal tahun 70-an, ia dengan pengalaman dua kakinya yang kuat, berjalan memotong gunung menuju Pantai Timur. Tepatnya, Ampibabo. Ia dengar Toto Pasaribu yang memiliki kerabat di Ampibabo berangkat ke Ampibabo. Ambo datang dan menawarkan diri untuk ikut mencari kambing. Ambo juga mengajak kakak iparnya, Halaka.

Ketiga lelaki ini seharian nyaris tanpa henti menapaki setapak jalan berbukit-bukit untuk mencari kambing jantan sebagai bagian dari ritus kelahiran.

Kambing jantan itu memang Ambo dapatkan di desa kedua jika diukur dari puncak pegunungan pantai timur milik toribulu, ‘orang gunung’. Tanpa istirahat lama, saat garis terang langit mulai membersit dari air tomini, kambing pantai timur itu dituntun dan ditarik Ambo bersama Halaka untuk mengikuti perjalanan ke pantai barat. Gunung itu seperti benteng tanah yang memisahkan dua pantai yang saling memunggungi. Perjalanan naik dan turun benteng tanah yang tinggi itu makin berat dan lambat karena mereka bersama seekor kambing jantan. Ketiga patriarkh dari keluarga makhluk berbeda ini saling memberi pengertian sepanjang jalan. Jika si jantan lelah, Ambo dan Halaka membiarkannya makan dedaunan terpilih. Separuh kenyang, si jantan dihela lagi untuk jalan. Perjalanan yang tak mudah ini, bukan hanya jalanan sangat sempit, tapi juga berhadapan dengan lintah-lintah hutan yang haus darah. Sebelum berangkat, Toto Pasaribu sudah memberi tips agar mengoleskan kaki dan tangan minyak tanah dan sabun untuk menghalau serangan lintah tak terduga. Saat kembali, tips yang sama juga dipakai. Tangan dan kaki dibaluri minyak tanah dan sabun.

Total jenderal waktu yang dibutuhkan keduanya nyaris 17 jam. Ambo dan Halaka memasuki desa pertama ketika sepotong bulan mirip arit sudah naik di ubun-ubun. Bulan menyinari semesta yang rabun, sementara obor bambu yang dipegang Halaka membantu agar kaki tak terperosok dan terkait oleh pohon-pohon yang melintang. Tangan kanan Ambo yang memegang parang terhunus jarang beristirahat untuk membabati apa saja yang menghalangi di jalan setapak.

Itulah kambing pertama yang Ambo persembahkan kepada putera pertamanya. Ia dapatkan dengan peluh dan perjalanan mahasulit. Dan, segera si jantan itu dikorbankan untuk puteranya. Satu jantan lagi disumbangkan Nasir, kakak iparnya yang lain.

Sejak saat itu, ia berkeras menghidupkan bau prengus dalam hidupnya yang keras. Namun, takdir berkata lain. Junumai datang ujug-ujug dan menukar si jantan dari pantai timur dengan seekor betina hitam besar. Kambing betina Junumai itu yang kemudian disekandangkan dengan kambing pemberian Nasir. Alhamdulillah, kambing itu berpinak jadi tiga.

Makin berbunga hati Ambo. Sekaligus ini menjadi tonggak hubungan yang tak pernah pudar antara Ambo dan kambing. Di Tondo Boya, Ambo adalah triumvirat (pemelihara) kambing. Dua lainnya adalah Yusuf Sagaf dan Ebo. Di tahun 2018, dari tiga triumvirat ini, yang bertahan masih hidup dan memesrai kambing adalah Ambo dan Yusuf. Sementara Ebo keluar dari “sejarah” per-prengus-an.***