Ambo dan Ladang

Babi-babi menyerang ladang jagung. Sepetak ladang tetangga yang siap panen habis digasak. Seperti blitzkrieg, strategi serangan kilat Adolf “Fuhrer” Hitler pada Perang Dunia, sekawanan babi berpesta pora merundukkan dan meremukkan apa-apa yang berdiri.

“Pasti malam berikutnya ladang saya digasak babi-babi ini,” kata Ambo pada suatu pagi. Bagi Ambo, itu tak boleh. Ronda malam pun kembali ia gelar demi mempertahankan hak tanaman dalam ladang untuk tumbuh sewajarnya. Ambo yang sudah berusia uzur mestinya tidur nyenyak dalam rumah dalam kelambu. Tapi, oleh babi, Ambo dipaksa melakukan ronda malam. Dan, pasti ia tidur di sebuah pondok kecil berukuran seperti toilet sekolah tanpa subsidi dan tanpa dinding kayu yang memadai. Begitu dingin, begitu merepotkan. Apalagi, jika musim hujan dan disertai angin kencang.

“Dua jaket dan sarung tak bisa mengusir dingin,” kata Ambo sambil dengan lirih mengisahkan bagaimana ia membeli ladang ini dari keponakannya, Haludin, yang tak lain dari putera kakak iparnya, Sindo. “Ladang ini setiap tahun tanahnya disambar banjir. Jauh sebelum jadi sungai besar, itu selokan kecil untuk pengairan sawah,” kata Ambo menunjuk Sungai Jonokodi di sisi kirinya.

Di ladang yang rawan longsor dan tiap tahun memakan tanah kebun itu Ambo membikin rumah-teduh ala kadarnya. Sou atau pondok dalam kebun itu memang lebih buruk kualitasnya ketimbang kadang kambing. Di situ, Ambo semalam suntuk dengan udara yang meremukkan tulang melakukan penjagaan atas serangan babi-babi dari hutan sagu di sebelah utara.

Takut?

“Bahkan, orang yang duduk tenang menonton di depan televisi bisa mati. Saya tak pernah takut!” tegasnya.

Dibonceng oleh cucunya via Pandake, Ambo pun berangkat dengan satu tekad, yakni menghalau serangan babi-babi malam.

Sebetulnya, meronda dalam ladang palawija demi mempertahankan dan melindungi hak tumbuh tanaman sudah sering Ambo lakukan, baik di kebun cengkeh/cokelat di Sibasu, sawah di Tambakobelo, maupun ladang palawija di Jonokodi.

Tanpa teman, ia enteng saja berjaga dan berkawan dalam gelap dengan serangga malam di kebun cengkeh. Sampai-sampai beberapa yang berbisik, Ambo itu sejenis topeule, orang tua jelmaan hantu di hutan.
Tidak seperti berkemah yang menjadi bagian rekreasi, malam-malam Ambo di ladang adalah ejawantah dari kerja tani yang asketis. Ia memulainya dengan menggemburkan tanah dan menghamburkan bibit, ia pula yang mesti merawatnya hingga syukur panen tiba. Praktik mesu-budi seperti ini menuntut kedisiplinan tinggi, ketertiban sikap, dan ketahanan fisik.

Bagi Ambo, berkebun bukan sekadar soal menanam cabe, tomat, jagung, pare, bayam, kangkung, kacang panjang, dan sawi. Berkebun adalah kerja serupa hamba-hamba ilmu pengetahuan di laboratorium. Berkebun adalah ejawantah dari sikap seorang manusia yang ingin hidup dari tangan dan keringatnya sendiri.

Oh, Ambo bisa saja hidup dari asupan anak-anaknya. Namun, sikap seperti itu bukan tabiat seorang pekerja ladang yang berusaha menjaga sikap-sikap mandiri sekuat yang bisa dijalankannya.

Walau hasil yang sama sekali jauh dari penghidupan layak, Ambo tetap turun dan mengolah kebun. “Berkebun bikin berkeringat, bikin sehat. Makan jadi banyak. Tidur nyenyak,” kata Ambo.

Ambo tidak tahu apakah kedisiplinan lahir dari dirinya atau disebabkan kebun. Tepat pukul 6 pagi, ia sudah berada di atas tanah dan berkeringat. “Pekerjaan paling berat seperti memacul mesti dikerjakan pagi hari. Badan masih segar, tenaga masih banyak,” ujar Ambo.

Saat matahari sudah melayang tanpa halangan pepohonan apa pun, Ambo pulang untuk sarapan, mandi, dan kemudian tidur hingga azan zuhur melela. Dalam perjalanan pulang itu ia memanggul setengah karung rumput atau dedaunan pakan kambing. Ladang Ambo adalah sumber makanan kambing-kambing yang dipelihara di kandang belakang rumah. Tak ada yang sia-sia yang tumbuh di ladang Ambo. Bahkan, rumput sekalipun.

Pada pukul 14.00, ia kembali ke kebun. Kini, kerja yang dirampungkan hanya kerja-kerja ringan. Bila keesokan harinya adalah hari pasar, maka sore hari adalah waktunya panen kebun untuk dijual. Dan, paling utama juga yang dilakukan jelang pulang adalah menyiapkan sekarung pakan kambing untuk makan malam.

Selalu begitu. Setiap hari. Dan, itu dilakukan orang tua yang sudah sangat tua dengan tulang belakang yang sudah bungkuk.

Semangat itu sejatinya adalah spirit kerja yang sudah dijalaninya selagi muda.
Saat otot-otot belikatnya masih sangat menonjol, jadwal Ambo lebih berat lagi. Seharian penuh di daratan, di kebun cengkeh atau di sawah. Saat sore tiba, ia turun ke laut menuju rumpon hingga pukul delapan. Kadang ditambah dengan memancing cumi. Atau, saat bulan temaram, ia memburu ikan merah di antara karang-karang. Lalu, sebelum muazin mengumandangkan azan subuh, Ambo sudah satu jam mendayung ke tengah teluk untuk mendapatkan waktu paling tepat saat ikan-ikan kelaparan di sekitar rumpon berebut mencari makanan.

Saat terang tanah datang, siklus yang sama kembali. Siang di kebun, malam di laut. Siang sebagai petani tanah, malam menjadi petani air. Siklus itu hanya bisa diinterupsi oleh sakit yang membuat Ambo mesti rehat.

Kepada tanah dan kepada air, Ambo berhikmat. Pada kebun atau ladang, Ambo mengekalkan janji bahwa bekerja adalah semulia-mulianya hidup yang mesti dijalankan oleh setiap khalifatul fil ardh hingga ia kembali kepada Tuhannya yang menciptakan.***