Di Tambakobelo, Ambo menjadi buruh penggarap untuk pertama kali dan selamanya. Pada Mangge Yani (Abdul Rasul) dari Wani kesetiaan diberikan Ambo hingga pensiun. Empat dekade lebih bukan rentang waktu yang pendek untuk setia kepada satu pemilik tanah. Mula-mula, Mangge Yani punya beberapa penggarap yang berbeda sebelum kemudian Ambo menjadi penggarap tunggal sawah seluas 4 hektar itu.
Ambo mengenang Mangge Yani sebagai pemilik tanah yang baik. Ambo berikan kepercayaan dan bakti-tulus karena Mangge Yani memperlakukannya laiknya saudara sendiri dan bukan hubungan buruh-majikan. Hubungan itu terus menurun kepada putra-putri Mangge Yani, seperti Amma, Jakfar, hingga Ashar.
Suatu hari, Mangge Yani berpesan kepada anak-anaknya bahwa jangan mencari penggarap lain sebelum Ambo menyatakan diri berhenti, walaupun ditemukan satu kali pelanggaran sekalipun.
Mandat kepercayaan seperti itu didapatkan Ambo barangkali karena sebab asal. Mangge Yani yang tinggal di Wani memiliki ikatan persaudaraan dengan Pue Badi di Bambalamotu, Pasangkayu. Dan, Ambo, bukan hanya mengenal Pue Badi dari nama, melainkan kerap tidur di rumah saudagar berdarah Mandar itu.
Dari tali-temali hubungan seperti itu Ambo mendapatkan kepercayaan dari Mangge Yani. Dan, dari situlah hikayat Ambo sebagai penggarap selama empat dekade dimulai. Di tanah yang hanya 200 meter dari sisian Sungai Tondo itu, Ambo mengerahkan segala tenaga yang dipunyainya.
Jauh sebelum traktor mesin menjadi tenaga pengolah tanah (pajeko dan salaga), Ambo dibantu empat ekor sapi pekerja. Kadang sawah digarap dengan sistem baku balia (gotong-royong) atau sendirian tanpa bantuan orang lain. Keempat sapi pekerja itu secara bergantian membantu Ambo.
“Sapi merah-hitam adalah pekerja paling cerdas. Bisa lepas tali dan hanya mengikuti komando. Cepat dan kuat,” kisah Ambo.
Setelah si cepat merah-hitam dilalap alap-alap, sapi putih keturunan Rambo menjadi pekerja yang terkuat. Dalam sekali jalan, dari pagi hingga siang, partner si putih bisa diganti hingga tiga kali.
Sapi pekerja yang bisa diandalkan itulah menjadi modal tenaga buat Ambo untuk bekerja lebih cepat, lebih keras, lebih lama.
Mulai dari terangtanah hingga pukul empat sore dalam tujuh hari dilalui Ambo menggarap dua tanah. Satu, kebun cengkeh. Dua, sawah. Jika datang musim garap dan tanam, Ambo lebih banyak menghabiskan waktunya di bentang-sawah garapannya. Kadang, ia tak menunggu sarapan tersaji di rumah. Sarapan mesti diantarkan ke tempat kerja dan pukul empat Ambo sudah mesti sudah di laut sebagai nelayan.
Dari berbagai percobaan, Ambo berketetapan hati untuk menentukan pilihan bahwa padi digul adalah jenis padi yang paling berjodoh dengan tanah sawah Mangge Yani di Tambakobelo. Nama “digul” mengingatkan pada nama kamp pembuangan aktivis komunis bikinan pemerintah kolonial Belanda. Para aktivis terpelajar dibuang dan diminta membuka lahan persawahan di Tanah Merah yang “kurang pas” dengan padi. Ada kesamaan tanah Digul dengan Tambakobelo, yakni sama-sama bermasalah dengan air.
Pada padi digul Ambo mendapatkan hasil yang melimpah. Memang, ia pernah gagal panen total. Pertama, serangan hama tikus yang membikin padi rontok tak tersisa. Yang kedua kekeringan panjang karena kesalahan berjudi dengan musim.
Di Tambakobelo, sistem irigasi hanya membuat iri seumur hidup. Air hanya mengandalkan aliran Sungai Tondo yang tak pasti. Berbeda dengan Jono Oge yang dialiri air terus-menerus karena sistem irigasi modern berlangsung. Tambakobelo dan Jono Kodi berbeda. Keduanya hanya berharap kepada kemurahan langit. Jika langit basah, sawah bisa digarap.
Oleh karena itu, dalam setahun umumnya ada jarak yang panjang untuk menggarap lagi. Pada jarak dalam proses tunggu saat langit datang berpihak di Tambakobelo itu, Ambo dan petani-petani fakir irigasi lainnya beralih ke kebun cengkeh atau cokelat.
Ketetapan Ambo pada padi digul beralasan. Digul memberi Ambo hasil yang melimpah. Untuk mengolah biji padi dan beras, Ambo mempercayakannya pada penggilingan milik dua saudagar tani Lasahide dan Muhammadong di Jono Oge.
Dalam masa jaya dan suburnya sawah garapan Ambo, beras di rumah bertumpuk berkarung-karung. Beras-beras itu menguasai pasar-pasar tradisional di Tondo, Ombo, dan Alindau. Sekali jalan dengan gerobak ke pasar-pasar kampung yang disebut di atas biasanya dua karung ludes. Beras Ambo dijual secara mandiri sebelum memasuki era tengkulak berjaya. Ambo bekerja, sang istri terkasih Mama Zainab yang menjadi penjual. Selalu begitu hingga datang era saat pembeli datang sendiri, bukan hanya di rumah, tapi menjemput ke pabrik penggilingan.
Ambo ingat betul, spirit bekerja semampu-mampunya di sawah bukan karena karakter bawaan sejak kecil. Ia sadar, masa kecilnya sama dengan putera sulungnya. Yakni, antikerja alias nalausala. Seperti halnya si sulung, Ambo selalu mencari alasan agar jauh dari sawah. Tersebutlah suami dari kakaknya Madotteng, Sudding, menjadi pengolah sawah yang rajin dan terampil. Sebagai bungsu dalam keluarga, Ambo diminta Madotteng untuk membantu Sudding dan sekaligus punya pengalaman. Namun, Ambo punya keinginan lain. Malasnya nauzubillah. Sawah baginya adalah siksa. Nah, saat Sudding sedang merunduk untuk mengarit, Ambo merangkak cepat ke tepian pagar dan kabur secepatnya. Apalagi, jika waktu sore datang, disuruh kerja di sawah adalah suatu derita mahapedih. Bagi Ambo, sawah adalah penghalang kesenangannya bermain sepak bola. Saat berhadapan dengaj bola, sawah harus menyingkir.
Maka, Ambo sebetulnya geli sendiri melihat tingkah laku sulungnya yang seperti sosok ninja mengantarkan sarapan atau rantang makan siang di sawah. Si sulung meletakkan begitu saja rantang di sou dan kabur. Ulahnya dengan presisi digambarkan pepatah: datang tanpa muka, pulang tanpa punggung.
Oleh karena itu, Ambo menahan diri untuk menilai seorang remaja yang tak mau turun mengotori tangan dan kakinya dengan tanah. Sebab, si remaja sedang mencari dan memburu impian dan bayangan cita hingga pada batas tenaga yang dipunyainya.
Yang ia lakukan adalah bekerja saja. Jika memang bisa dilakukan sendiri, ia akan melakukannya sebaik-baiknya. Keterampilan dan minat bersawah di satu sisi bisa diwariskan, namun lebih banyak pada panggilan jiwa. Jika jiwa tak terketuk, membebani keturunan untuk melakukan hal yang sama adalah kerja sia-sia.
Atas nama pengalaman, Ambo sudah membuktikannya. Karakternya ditempa ketika ia memilih menjadi petani dengan segala risikonya. Faktor pendidikan dan pengalaman hidup yang bergelombang-gelombang menempa karakternya untuk berbagi.
Sebagai buruh tani, Ambo tak pelit untuk berbagi. Beras ketan putih (pulut) adalah perjumpaan untuk berbagi di penggilingan. Ia dan sang istri ringan saja saat ada kenalan dalam kampung meminta seliter beras ketan yang baru saja keluar dari mulut penggilingan. Sebagaimana watak ketan, persaudaraan dan harmoni sosial diikatnya atas nama beras.
Bukan hanya Ambo berbagi dengan keluarga Mangge Yani 2:1 (dua karung penggarap, sekarung pemilik lahan), Ambo juga mesti berbagi dengan yang lain lewat ketan. Sebab, di setiap petak sawah ada hak yang lain-lain yang mesti dikeluarkan. Beras yang lahir dari kerja tani di sawah, pada akhirnya bukan hanya menghidupi setiap keluarga yang hidup, namun saat berjumpa dengan keyakinan agama Ambo, beras adalah media pembersihan harta.
Dari sawah tumbuhlah padi. Dari padi tumbuhlah kehidupan. Tak ada kehidupan tanpa petani. Ia pemberi energi dasar bagi peradaban. Ambo kadang sesak sendiri mengingat nasibnya sebagai petani berada dalam piramida paling dasar dalam struktur sosial masyarakat.***