Ambo dan Ikan

Dua hari jelang kelahiran anak keempatnya, Ambo melihat kesibukan Caco (Papa Kalsum) yang tak biasa. Dugaan dia langsung terkonfirmasi, umpan Caco disambar tenggiri yang ia perkirakan seukuran sampan yang mereka pakai. Insting nelayannya langsung menuntun bahwa Caco tak boleh sendiri menghadapi ikan yang mungkin berumah di Mapaga, Balaesang itu.

Berjam-jam Ambo dan Caco bekerja sama sedemikian rupa bermain tarik ulur dengan ikan raksasa yang sesungguhnya belum pernah mereka tangkap sekali pun sejak mereka memutuskan menjadi nelayan empat tahun lalu yang lalu. Jelang terang air, ia sudah mengarahkan buritan sampannya menuju pantai di sebelah timur.

Dalam perjalanan pulang itu, seperti sudah menjadi kebiasaannya, ia mengulurkan senar pancing berukuran besar. Perhitungan dia, siapa tahu ada ikan tuna menyambar cakalang kecil di ujung senar yang disambung dengan kawat baja kecil. Kawat itu berguna agar gerigi ikan tidak melumat senar, setajam apa pun mulut ikan yang terjerat.

Dan, pada separuh jalan mendayung, saat garis pantai sudah terlihat di ujung matanya, bukan senar yang ia ulur di belakang menegang, melainkan punya Caco. Dilihatnya hampir saja Caco terguling dan jatuh ke dalam air jika tak sigap memegang tepi perahu. Caco selamat, tapi dayung terlempar dan wassalam. Ambo selekas mungkin menggulung senarnya dan segera mendekati Caco.

Tanpa ada firasat apa pun, pagi itu ia dan Caco terlibat dalam kerja bersama dengan lebih keras, lebih keras dari kapan pun keduanya turun ke laut. Sudah nyaris tiga jam, tak ada tanda-tanda si raksasa pemakan umpan cakalang itu mengendurkan tarikannya. Alih-alih bisa menarik, yang sangat sering Ambo dan Caco lakukan adalah mengulur dan menahan. Saat menahan itulah, buritan dua sampan itu melaju keluar dari jalur kepulangan. Keduanya makin jauh ke dalam perut Teluk Balaesang. Mungkin sudah empat desa jauhnya terbawa ikan besar itu.

Ketika matahari sudah condong dari titik tengah, ikan itu belum juga mau menyerah. Tak ada lagi yang selamat dari kulit telapak tangan keduanya. Belitan senar kail itu membuat telapak berkulit kasar Ambo seperti dicambuk ratusan kali. Garis-garis telapak tangan berdarah itu ia balut dengan kain dari kaus yang ia kenakan. Begitu pula tangan Caco. Empat telapak tangan dua sekondan itu memprihatinkan. Keringat dari hasil pembakaran matahari yang tak terhalang apa pun dan tarikan kekuatan yang tak pernah mengendur dari ikan mengucur tanpa henti.

Hingga ketika hari memasuki malam, sementara sang ikan tak juga memperlihatkan tanda-tanda menyerah, Ambo mengusulkan menyerah. Apa boleh bikin, Caco juga mengiyakan. Keputusan yang menyedihkan pun diambil. Parang pendek yang tak jauh dari buritan memotong senar pancing itu.

Dan, dua perahu yang terlibat dalam pertarungan melawan tenggiri pun terdiam. Tak ada suara antara Ambo dan Caco. Tak ada ombak. Angin teluk yang sedari siang terus bertiup lesap di balik bukit-bukit. Ambo melihat kedua telapak tangannya yang hancur. Telapak tangan itu perlahan-lahan ia celupkan ke dalam air. Dengan gigi gemeretak, ia tahankan rasa perih yang seperti meledakkan seisi kepalanya. Mata Ambo terpejam hebat dengan butiran air mata tumpah.

Saat perih itu berangsur-angsur lesap, Ambo membuka mata. Dari jauh, ia melihat kerlap-kerlip lampu dari rumah-rumah yang berdiri segaris dengan garis pantai. Ambo menyerahkan papan yang ia duduki untuk menjadi pengganti dayung Caco menuju pantai. Keduanya tahu betul mereka sudah jauh dari garis kepulangan. Ambo dan Caco sudah hampir kehabisan tenaga ketika mulut perahu keduanya mencium pasir pantai. Lama kedua sahabat di darat dan di laut itu terbaring di pasir saat perut terus berbunyi, sementara tak ada tanda-tanda kehidupan di pantai.

Tak ada jalan lain, Ambo mencari pohon kelapa terpendek yang berdiri miring menyembah air. Ambo tahu, buah itu bisa menyelamatkan perutnya dan Caco hingga hari berlalu memasuki malam. Ia pecahkan sebuah dengan sisa tenaga yang tersisa. Tak ada yang tersisa dari isi kelapa-dalam itu. Ambo terkapar di dekat perahunya. Caco juga setengah teler.

Saat tenaga sudah datang kembali, perlahan dua nelayan Tondo ini menjauhi garis pantai Teluk Balaesang yang sepi. Ada banyak mulut di rumah menunggu dengan harap-harap cemas lauk dan keselamatan.***

Ikan katombo ini biasanya menjadi ikan favorit yang dimakan sehari-hari masyarakat tepian air Pantai Barat. Setiap subuh dan Magrib, Ambo memburu ikan-ikan ini.