Ambo dan Badai Laut

Awan hitam di ujung tenggara sudah menggantung kritis di pengujung tahun saat harga-harga cengkeh tersungkur dan KUD serupa lintah hutan yang menciutkan nyali para pekebun. Caco (Papa Kalsum) sudah memutuskan tetap parkir perahu di sore yang tak ramah cuaca itu. Burdan (Papa Latif) juga sama. Tapi, tidak dengan Ramli, Basrah, dan Ambo. Rupanya, ketiganya berjudi nasib pada prinsip ekonomi yang penuh risiko: dalam badai, pesaing sedikit, permintaan banyak, harga ikan naik.

Dikalungi kemiskinan karena cengkeh lumpuh dan judi besar yang disponsori negara bernama SDSB menjadi-jadi, Ambo mempertaruhkan selembar nyawanya ke dalam halimun badai tenggara demi sebuah prinsip ekonomi supply-demand itu. Di laut, Ambo berjudi. Dan, begitulah, setiap yang tak memakai akal sehatnya akan diganjar laut dengan hukuman sangat keras.

Sesungguhnya, tak boleh ada perjudian di laut. Pada laut, kesombongan mesti dijauhkan. Setiap yang angkuh, oleh laut, akan dijungkatkannya ke dasar penyesalan paling dalam. Di laut, akal sehat dan perhitungan rasional dari keahlian navigasi mutlak dikuasai setiap pelaut; walau ia hanya seorang nelayan sampan tunggal dengan daya jelajah rendah.

Mengabaikan semua hal itu, Ramli, Basrah, dan Ambo berlomba mendayung dari gigir pantai Tondo Boya menuju ke tengah. Motif ekonomi membuat ketiganya buta kenyataan dan sesungguhnya menjual gratis yang paling mahal dari hidup: nyawa. Alih-alih awan hitam di ujung tenggara memecah, malahan mengumpul dan makin tebal dan makin gelap. Ramli yang pertama kali tersentak. Ia segera memutar haluan perahunya yang bahkan belum mengulur tali pancing sedikit pun.

Tinggallah Ambo dan Basrah. Saat angin sudah mulai berhembus, keduanya masih nekad membuka gulungan pancing dan mengulurnya.

Cuaca berubah demikian cepat. Angin mulai menderu. Awan hitam menyebar menjadi putih dan merata. Hujan menghambur. Ambo mulai kecut saat sampan batangan tanpa sayap itu melayang-layang di puncak-puncak ombak yang makin membesar. Ia disirami curah hujan sejadi-jadinya.

Di senja maut itu, tangannya mulai menarik lagi tali pancing yang sudah ia ulur ragu. Beberapa ikan tersangkut. Namun, Ambo sudah tak peduli. Hujan dan angin yang menderu membuat pandangannya makin terbatas. Basrah, sahabatnya dalam perlombaan memenangkan prinsip ekonomi supply-demand itu, sudah tak ia tahu posisinya. Semuanya hanya tampak puncak-puncak ombak dalam selimut gelap yang makin pekat.

Dalam kesendirian di ayunan ombak itu, Ambo hanya mengandalkan insting untuk mempertahankan haluan perahunya ke pantai di mana perahunya terparkir semula. Dalam benteng air yang kian menuju ke perairan dangkal makin tinggi, Ambo hanya melihat kerlap-kerlip lampu.

Makin perahunya melaju ke arah pantai, kian Ambo rasakan ayunan ombak makin besar. Hukum tak pernah berubah di lautan: makin menuju ke dasar dangkal, ujung ombak makin tinggi. Karakter ombak di Tondo dan nyaris seluruh Pantai Barat seperti itu sudah Ambo hapal sepersis-persisnya. Makin ke ujung akhir gelombang, dinding air makin tinggi dengan bantingan yang mematikan.

Ambo yang pada akhirnya menemukan kembali akal sehatnya dalam gemuruh badai itu menghindari daerah berkarang. Jika pun dibanting dan digulung dinding air, pikir Ambo, ia tak dihantam di atas karang. Oleh karena itu, ia geser lebih ke kanan haluan perahunya. Patokan Ambo adalah ujung atap masjid. Lebih kurang seratus meter dari kanan kubah itu, karang tak ada. Di sanalah Ambo mengakhiri cerita.

Ambo tak ingin cepat-cepat perahunya mencium gigir pantai. Ia berhitung, jika salah kalkulasi, ombak akan.menggulungnya habis. Makin ke tepi, dayung Ambo makin lebih sering istirahat. Dari pengalaman sudah-sudah yang pernah ia dengar dari pelaut-pelaut Mandar, saat ombak tertinggi lewat, empat ombak selanjutnya sedang-sedang saja. Kini, Ambo menunggu ombak tertinggi lewat. Tapi, Ambo ragu mendayung cepat. Kesempatan lewat. Ia perbaiki posisi duduknya sambil dayungnya terus mempertahankan posisi perahu tegak lurus dengan dataran.

Beberapa saat lamanya Ambo menari-nari di atas buih. Semuanya mesti ia hitung baik-baik sebelum memutuskan gerak akhir penyelamatan. Sudah beberapa ombak tinggi lewat. Saat degup jantung Ambo mulai reda, ia pun menunggu sekali lagi ombak tertinggi. Saat waktu itu tiba, Ambo mendayung sekuat tenaga yang ia bisa lakukan. Perahu atau kano batangan tradisional itu meluncur deras mengikuti arus ombak berketinggian sedang. Ombak itu mendorong perahu Ambo mendarat tepat dalam semak-semak. Perahu itu terparkir sempurna tanpa ada muatan air yang berlebih.

Ambo muncul di rumah dengan segar-bugar. Di situlah Ambo menerima berbagai informasi. Bahwa, sejak sore saat hujan badai berlangsung, masyarakat di sepanjang garis pantai dilanda kegelisahan karena masih ada dua nelayan mereka yang entah bagaimana nasibnya dalam badai senja itu.

Basrah yang pertama kali mereka temukan di pantai tak jauh dari rumahnya. Sampannya digulung ombak. Basrah dibanting ke pasir. Saat diseret menjauh dari pantai, Basrah kehilangan segalanya. Bukan hanya kesadarannya hilang, tapi seisi sampannya tumpah tanpa bekas.

Saat Ambo tiba di rumah, informasi berantai beredar dari Tanjungpadang hingga Ujumbou. Pencarian dihentikan. Kepada keluarga, Ambo menyerahkan seekor katombo sebagai tanda mata dari kenekadan menggadaikan hidup.

Tapi, gelap mata nelayan seperti Ambo itu bisa dipahami karena perasaan putus asa akibat kemiskinan dan kesuraman ekonomi masyarakat tepian air. Mereka yang dihimpit serba ketakpastian rezeki mengambil apa pun risiko dengan mengabaikan akalnya paling sehat.

Kepada badai, Ambo kembali menemukan akal sehatnya. Kepada dinding tebal air, Ambo insyaf. Diambilnya air wudhu dan ia bersujud menyukuri hidup yang ia baru saja pertaruhkan. ***

Foto: Aia Nurhidayah