Ambo dan Sapi (1)

“Selain menguntungkan, beternak sapi juga menjadi tabungan dengan uang besar,” kata Ambo suatu hari saat ia menghamburkan daun jagung di hadapan keturunan terakhir Rambo di pinggir selokan Jonokodi.

Sapi yang bernama Rambo ini adalah rezeki baru setelah air mata dan kesedihan mengering setelah Ambo kehilangan dua sapi pekerjanya.

Rambo–merujuk namanya sebagai jagoan macho USA dalam layar-layar film bioskop–bukanlah sapi jantan yang jago di segala lapangan. Ia hanyalah seekor sapi betina kecil keturunan sapi bali yang sudah tak berwarna asli bawaan.

Ambo, tersebutlah suatu hari, mendapat pemberitahuan dari kakak iparnya, Ardin. Isi pemberitahuan itu lebih kurang bahwa ada sisa pembagian sapi dari pemerintah. “Induk sapi di sana diperkirakan mandul. Dan, ada juga sapi satunya lagi, tapi masih kecil,” kata Ardin (Papa Ekawarni), yang juga pejabat pemerintahan desa.

Ambo tertegun sejenak. Ia memang masih punya sisa satu sapi jantan berwarna jingga yang disisakan alap-alap. Namun, sapi jantan sama sekali tak bisa dilipatgandakan jumlahnya. Namun, informasi yang justru masuk adalah tersisa satu sapi betina yang mandul. Sama saja. Namun, ia tetap tergerak untuk berangkat ke Ujumbou untuk melihat langsung visual sapi tersebut.

Di sepanjang jalan, Ambo menimbang matang-matang hingga akhirnya memilih mengambil sapi betina yang masih kecil berwarna putih gading. Dan, bukan perkara mudah membawa sapi kecil ini. Ini sejenis sapi liar yang mesti ditangkap terlebih dahulu dan kemudian hidungnya dicucuk. Butuh setengah hari menaklukkan si sapi betina kecil yang lincah ini. Hampir seluruh kebun kelapa di Panempai menjadi gelanggang lari si betina kecil sebelum seutas tali menjerat lehernya. Ia meronta, Ambo menariknya dengan sangat kuat dan melilitnya di sebatang pohon kelapa terdekat. Dengan napas masih mendengus, Ambo dengan cekatan dan penuh pengalaman mencucuk hidungnya. Mirip ritus menindik telinga bayi mungil perempuan. Darah menetes saat seutas tali pendek dililitkan melingkar dari hidung hingga ke leher. Dengan cara ini, si betina kecil liar sudah bisa dikendalikan dan siap dituntun berjalan kaki lebih kurang empat kilometer untuk pulang ke Tondo Boya di mana Ambo tinggal.

Ambo berhitung dan sekaligus ingin memulai lembaran baru dengan sapi. Kehadiran sapi betina kecil yang kemudian dinamakan Rambo ini menegaskan satu hal Ambo memulai lagi dari bawah beternak sapi. Tak hanya dimulai dari satu ekor, melainkan posisi Rambo yang sama sekali tak diminati peternak sapi Ujumbou. Ambo mesti membersamai Rambo sejak sapi itu baru saja disapih induknya dengan membawa satu nasib: sapi yang tak diinginkan.

Ambo dan Rambo kemudian menjadi pasangan yang saling memberi jalan kesenangan dan rezeki yang sekadarnya untuk hidup dan menyekolahkan anak-anaknya.

Rambo tahu apa yang mesti dibalas dari kasih-sayang sepenuhnya yang diberikan Ambo. Rambo bukan hanya tak mandul, tapi juga memberi keturunan dengan sangat produktif. Ia memberi puluhan generasi sapi untuk Ambo. Hingga 2018, atau tiga dekade sejak Rambo dicucuk hidungnya, generasi Rambo masih tersisa dua. Satu sapi induk betina yang kulitnya hampir sama dengan Rambo, sementara yang satunya sapi jantan berwarna hitam. Sapi yang disebutkan terakhir sudah dimiliki Salim (Papa Pei), menantu terkasih yang mewarisi seluruh semangat bertani Ambo. Sapi jantan itu, sebagaimana pohon generasinya, kini menjadi jantan untuk melayani delapan sapi betina jenis bali asli di sebuah kandang terbuka di areal persawahan.

Rambo adalah keajaiban bagi Ambo. Dari Rambo, berbagai kisah muncul. Keceriaan dan semangat kerja kembali memancar dan berapi. Rambo menjadi jimat hidup yang terus menjadi picu agar hidup terus dilanjutkan. Ambo sadar, walau ia tak punya nomor tabungan di bank, ia memiliki investasi yang real. Rambo adalah investasi yang bisa diandalkan.

Benar saja, dari tahun ke tahun, keturunan Rambo kian banyak. Keturunan betina terus melahirkan dan bersaing dengan Rambo dalam soal produktivitas. Rambo hanya butuh setiap 11 bulan untuk menurunkan satu turunan baik dan sehat.

Ambo pun bisa kembali bergaya. Sebagai buruh tani di atas tanah garapan milik orang lain, Rambo memberi sangat banyak untuk Ambo. Saat Ambo dalam perjalanan ke kebun cengkeh dengan gerobak, misalnya, sapinya ditawar orang lain. Ambo pun melepas sapi keturunan Rambo dari gerobak. Jadilah sebwah transaksi di tengah jalan. Deal. Tunai.

Di usia yang sangat tua, Ambo melepas dengan berat hati Rambo untuk diserahkan ke Papa Aco untuk selanjutnya entah berakhir di mana nasibnya; di pasar jagal Samarinda atau untuk pesta perkawinan.

Dalam kenangan Ambo, pemberian Rambo tak ada tandingannya. Dari sapi yang tak dianggap oleh para pemburu bantuan pemerintah hingga menjadi tumpuan investasi dan tenaga penarik gerobak yang kuat, sebwah moda transportasi Ambo ke kebun cengkeh di Sibasu.

Kepada Rambo hati Ambo tertambat. Di Sibasu dan pantai adalah dua tempat perjumpaan antara Ambo dan Rambo yang paling sering. Sangat sering.***