Ambo dan Kebun Cengkeh

Cengkeh adalah komoditas perkebunan yang banyak ditanam petani di seantero Sulawesi. Termasuk di garis pegunungan antara Pantai Barat dan Pantai Timur. Sebagai komoditas perkebunan unggulan, cengkeh yang panen dua kali setahun menggiurkan dari segi harga dan perawatannya pun relatif mudah. Tanah tropis yang tak terlalu jauh dari pantai cocok untuk budidaya cengkeh.

Keluarga di boya Tondo berlomba merambah hutan tak bertuan untuk dijadikan kebun baru budidaya cengkeh. Tak terkecuali Ambo yang baru saja membangun mahligai rumah tangga kedua di kehidupan jilid dua dengan seorang perawan desa adik dari sahabatnya, Muslimin. Zainab yang disunting Ambo adalah bungsu dari Lassapareng. Mereka tujuh bersaudara.

Keluarga Lassapareng ini kemudian secara bersama-sama merambah sebuah hutan di Sibasu dan mendirikan patok batas. Ambo mengajak sahabat sepelariannya dari Mandar untuk ikut serta dalam tim. Mubin, demikian nama sahabat Ambo dari Bambalamotu itu, bergabung dalam perambahan bersama klan Lassaparang yang dihuni nama-nama seperti Nasir, Muslimin, dan Ardin. Tiga nama itu, sekali lagi, adalah kakak-kakak dari Zainab, istri Ambo.

Perambahan dimulai dari sungai dan mendaki. Nasir memilih di sisi timur, Ambo tengah, dan Ardin berikutnya. Adapun Muslimin dan Mubin yang menyusul kemudian mendapatkan bagian di bagian lebih atas.

Berhari-hari keluarga ini dengan bersenjatakan semata parang dan pacul membuka lahan. Mereka bahkan lebih banyak tidur dalam hutan Sibasu ketimbang pulang ke perkampungan pantai atau boya. Bekal beras biasanya direka-reka untuk sepekan dengan “sayur” pelumas hanya dengan menggunakan air sungai yang mengalir perlahan yang di kemudian hari mereka yang hidup di aliran sungai ini menyebutnya Uwe Lente.

Dari pagi hingga jelang malam, Ambo bekerja sangat keras. Tenaganya berlipat-lipat. Kadang ia membantu serta Ardin yang menurut Ambo lebih cakap sebagai seorang intelek desa ketimbang seorang perambah. Ambo dengan pengalamannya yang hidup di hutan-hutan di atas Bambalamotu saat perang gerilya tahu betul hidup di rimba raya. Bahkan, ia lebih takut hidup di tengah banyak orang ketimbang tinggal seorang diri di belantara selama berhari-hari.

Hutan dirambah menjadi kebun. Di tapak rambahan itu Ambo menanam cengkeh. Percobaan pertama lebih banyak gagalnya. Dicobanya lagi. Mulai dari mencari bibit, mengangkutnya, menanamnya. Dan, menunggu. Sembari menunggu panjang, ditanamnya secara sporadis bambu, durian, dukuh, kelapa. Semua tanaman itu sejenis tanaman yang tumbuh dalam jangka panjang. Tanaman yang membutuhkan kesabaran untuk menunggu. Semacam investasi.

Apa-apa yang ditanam di kebun itu tumbuh seperti keluarga. Satu per satu anak-anak lahir dan meninggi. Sebagaimana merawat dan menjaga asa makan keluarga, begitu pula Ambo menjaga kebun yang sudah dibukanya. Terkadang ia tidur sendirian berhari-hari di tengah kebun cengkeh empat hektar itu. Dalam perhitungannya, jika tidur dalam kebun, ia segera bekerja tanpa mesti menunggu matahari menyembul sempurna dari Bingge Langa. Tanpa mesti menunggu sarapan siap saji. Cukup segelas kopi dan sebatang kretek sudah cukup untuk memacul dan membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh.

Dengan berprinsip tak perlu membeli apa-apa yang bisa ditumbuhkan dari tanah, Ambo juga menanam segala bumbu dapur, termasuk cabe, tomat, kacang panjang di antara pohon-pohon cengkeh. Atau, di sekitar pondok kayu yang cukup untuk ditinggali satu keluarga.

Tak butuh lama Ambo merasakan kesendirian untuk menjaga kebun. Tak jauh dari pondok, seorang pekebun dari Bugis memilih menjadi pekebun menetap. Artinya, ia tinggal bersama keluarganya dalam kebun cengkeh. Itu artinya, jika malam tiba, Ambo punya teman dalam satu rumpun bahasa untuk bercakap-cakap. Ambo memanggil tetangga kebunnya itu Tukang lantaran keahliannya bertukang.

Pada saat-saat tertentu, Ambo turun dari kebun untuk melaut. Ia meninggalkan keluarganya dalam gubuk kayu bersama malam yang gelita. Sesekali tak ada soal. Namun, saat Ambo berada di tengah laut, dalam gelap kebun cengkeh, anak ketiganya mengalami kejang-kejang dengan suhu badan meninggi. Mama Zainab panik. Untung, pada saat yang sama masih ada kakak iparnya, Ardin. Jadilah di tengah malam gulita dengan penerangan obor seadanya beberapa langkah kaki beriringan bergegas menapaki jalan setapak di antara bebeatuan Uwe Lente. Ardin dengan sekuat tenaga menggendong si sakit untuk segera mendapatkan pengobatan pada seorang mantri yang masih beberapa bulan diperbantukan di desa. Demam tinggi (kambulaya) itu jika tak segera ditangani bisa berakibat fatal.

Setelah peristiwa itu, jadwal untuk tinggal dalam kebun cengkeh mulai dikurangi intensitasnya. Sepekan dua kali masih untuk menjaga agar sapi-sapi tak menghancurkan kebun. Biarpun sudah dipagari secara merata, bagi sapi-sapi liar, bukan soal sulit menerobosnya. Apalagi, pagarnya hanya terbuat dari bilah-bilah bambu.

Ambo kadang berpikir untuk melukai sapi-sapi yang dilepaskan pemiliknya jika kedapatan memasuki kebunnya. Namun, ia tak tega. Sebab, ia juga tengah memelihara sapi dan kambing walaupun masih remaja. Kambing dan sapi milik Ambo diikat, namun lebih sering dilepas.

Jika pulang ke perkampungan pinggir pantai, sapi-sapi dituntun serta. Saat sapi-sapi mendekati pantai, tali penuntunnya dilepas dan sapi-sapi itu dibiarkan mencari peraduannya. Biasanya, dan Ambo sudah sangat hapal, sapi-sapinya menyukai pantai dekat muara Sungai Tondo. Di setiap pagi ketika hendak kembali bekerja, Ambo selalu menyambangi muara dengan membawa beberapa tali. Sapi-sapi itu dituntunnya serta ke kebun cengkeh.

Di kebun, sapi-sapi itu mendapatkan rumput-rumput terbaik. Namun, Ambo membatasinya pada titik-titik tertentu yang sekiranya tak ada tanaman pohon cengkeh yang masih berusia semenjana.

Kebun cengkeh Ambo menuju kepunahan. Foto: Aia Nurhidayah

Lima tahun kemudian.

Panen pertama cengkeh dimulai. Pasar menyerap perkebunan cengkeh rakyat dengan harga menggembirakan. Per kilogram cengkeh kering mendapatkan harga lebih kurang Rp20.000. Itu harga yang sudah cukup mahal. Karena berbuah pertama kali, hasil yang didapatkan dari seratusan pohon cengkeh jenis sikotok itu masih jauh dari harapan. Ambo menunggu untuk tahun depan. Pada saatnya tiba, ia memanggil serta keponakannya dari Bambalamotu. Dengan cengkeh, ia sekolahkan sekaligus banyak kepala. Sudin dan Dahrin, dua keponakannya dari Bambalamotu, berani ia ambil alih pengasuhannya. Sebab, ia yakin kebun cengkeh dan ditambah dengan limpahan hasil dari sawah bisa memberi banyak hal, terutama pendidikan yang lebih baik dan kemakmuran.

Perkiraan Ambo memang tak meleset. Hingga ia bisa membangun rumah tembok berkat cengkeh. Keponakannya juga bisa disekolahkannya hingga tingkat universitas, walau tidak selesai karena ada situasi darurat.

Kerja Ambo membuka lahan, menanam, merawat, dan menjaga pada akhirnya membuahkan hasil setimpal. Kadang ia melambungkan angan, jika saja ia bisa lebih keras membuka lahan dan menanam lebih banyak, tentu hasilnya lebih banyak. Tapi, sekali hayalan itu melintas, ia lalu melihat telapak tangannya. Pada telapak tangan itu ada batas yang tak bisa dilampauinya. Garis-garis tenaga di telapak itu memberitahu bahwa disyukuri saja yang ada. Sadarlah ia, kebun cengkeh pada akhirnya kelak tak bisa menolong apa-apa bila harga di tingkat nasional tergoncang.

Isu harga cengkeh mulai goyah memang menjadi perbincangan, bukan hanya di dalam kebun, tapi juga di perkampungan sepanjang Pantai Barat. Kakak iparnya, Ardin, adalah pemasok informasi yang rajin atas isu panas ini. Ada perasaan was-was ketika panen kelima tiba saat harga cengkeh secara perlahan turun. Beberapa tengkulak masih mematok harga stabil. Namun, perbedaan harga itu menimbulkan kecurigaan dan api gosip yang menyebar cepat.

Dan, saat panen besar tiba, harga betul-betul anjlok. KUD yang dikira pekebun bisa menolong, justru membatasi pembelian. Biji cengkeh kering terus merosot harganya hingga tak lebih dari seribu rupiah. Semangat yang menggebu dari pekebun terasa seperti dibanting di atas aspal jalan desa yang belum lama dibikin Dinas Pekerjaan Umum. Jika sebelumnya daun dan tangkai kering cengkeh masih punya harga, tapi kini tidak. Bahkan, pohonnya yang masih hidup pun sama sekali tak punya harga. Saat ketika tata niaga cengkeh dipegang oleh satu tangan paling kuat di Jakarta, para pekebun tiba-tiba pucat dan gelisah. Terutama buat mereka yang sudah jauh hari berutang kepada para tengkulak terdekat dengan jaminan buah cengkeh saat panen nanti jatuh ke timbangan mereka.

Sampai di sini sebetulnya Ambo sudah mengibarkan bendera putih atas cengkeh. Namun, ia tetap tak tega menebang pohon cengkehnya untuk menunjukkan protes dari sebuah frustasi yang mendalam. Sebab, di sebalik batang-batang cengkeh itu, ada keringat dan harapan Ambo yang membuncah-buncah. Ia melihat lagi pohon cengkeh itu seperti melihat anggota keluarganya sendiri yang ia jaga secara seksama ribuan hari, ribuan malam.

Diam-diam ia menunggu: setelah cengkeh, lalu komoditas apa yang memiliki pangsa pasar yang bagus. Dalam arti, komoditas apa lagi memiliki prospek mendapatkan uang. Berapa pun itu.

Saat perkebunan cengkeh layu-lampah, musibah berikutnya menyusul: dua sapi pekerja Ambo yang paling diharapkan mengerjakan sawah disikat alap-alap sapi dari tepi pantai tak jauh dari muara.

Savage! Lumpuh di kebun cengkeh, terancam di sawah.***