Ambo dan Sapi (2)

Di depan toko saudagar cengkeh dan kopra Koh Ang Sun, sosok yang disasuskan pelaku alap-alap sapi melakukan perlawanan terakhir di suatu malam jelang dekade 80-an berakhir. Si tertuduh mendekat dan tangan kanannya melayangkan senter ke kepala sang penuduh. Kejadiannya berlangsung sangat cepat di depan Ambo. Ia yang selalu mengantar istrinya, Zainab, untuk mencari dan memburu sapi yang hilang, tersungkur. Lelaki jangkung itu pingsan. Kepalanya bocor dan dilarikan ke puskesmas kecamatan di Desa Tompe.

Di depan rumah sang saudagar cengkeh, cerita panjang pencarian sapi pekerja perlahan berakhir moksa.

Itulah drama terakhir dari sebuah perburuan berbulan-bulan setelah Damran, anak sulung dari Muslimin, kakak ipar Ambo, melaporkan sapi Ambo yang hendak ia pinjam-pakai tak ada di muara Sungai Tondo. Pagi-pagi sekali Damran melaporkan hal itu. Pencarian pun dimulai. Sawah Tambakobelo dan Jonokodi disisir. Desa Sao dan kebun di Sibasu dijelajahi. Dari desa terdekat hingga terjauh dijelajahi. Dari Uwe Lente hingga Sioti.

Tapi, tiga sapi dari pemilik yang masih dalam ikatan saudara tak juga ditemukan. Dua sapi jantan milik Ambo, yang satu sapi hitam berkulit hitam-jingga dan satunya lagi hitam pekat. Adapun sapi ketiga adalah milik Nasir, kakak ipar Ambo. Sapi yang disebutkan terakhir ini masih berusia remaja dan kurus.

Hampir setiap malam istri Ambo, Zainab, menangisi sapi yang tiada. Sang istri tahu, ini malapetaka ekonomi. Tanpa sapi, sawah terancam. Tanpa pekerjaan sawah, bagaimana bisa melanjutkan impi-impi keluar dari zona kemiskinan setelah kebun cengkeh hancur.

Ambo sakit-sakitan. Karena itu, ia lebih banyak di rumah. Proses pencarian diambil alih istrinya, Zainab. Informasi sekecil apa pun pasti ditindaklanjuti. Di ujung batas kecamatan sebelah utara sudah dijelajahi Zainab beserta kelompok kecil keluarga. Berjalan kaki mereka mendaki Gunung Bosa yang berbatasan dengan Desa Labean, Kecamatan Balaesang.

Pasar-pasar hewan didatangi. Dari Toaya hingga Wani hingga Donggala Kodi. Pelabuhan-pelabuhan pengangkut ternak diawasi. Ambo dan sahabatnya, Mubin, bermalam-malam melakukan pengintaian di Pantai Tompe setelah mendapat kabar ada pengangkutan sapi ke Kalimantan dengan kapal motor kayu.

Nihil.

Diteror oleh keputusasaan, Zainab mulai menggunakan jasa dukun peramal. Dari dukun lokal dalam kampung, hingga yang dikabarkan sakti di tempat yang jauh, Pantai Timur. Apa kata dukun, itu dilakukan. Dukun bilang, sapi-sapi itu ada di sekitar tebing-tebing tersembunyi, ke sanalah pencarian dipusatkan. Memang, ramalan dukun klop dengan informasi yang masuk bahwa ada sapi terparkir di sana yang dengan ciri-ciri yang sudah diketahui orang seantero desa. Betul, di Bingge Langa terdapat sapi yang terikat, tapi bukan sapi milik Ambo.

Kata dukun perempuan sakti dari Pantai Timur, siapkan kadal hitam dan sembelih. Darah kadal hitam itu dilarutkan dalam air sebagai media penerawangan. Dukun bilang, sapi-sapi itu masih hidup. Perkataan dukun itu menenangkan dan menerbitkan asa bagi pasangan Ambo dan Zainab untuk terus mencari.

Yang sama sekali bocor adalah tabungan Zainab. Perhiasan yang dibelinya saat panen cengkeh berharga bagus ludes untuk membayar logistik pencarian. Terutama, “amplop terima kasih” buat dukun-dukun.

Ini memang ajaib. Tak ada inisiatif melaporkan kehilangan sapi ini ke pihak kepolisian yang memang domain aparatur negara menegakkan hukum-hukum pidana. Namun, hal itu bisa dipahami karena saat itu, kepercayaan kepada pemangku kuasa sedang longsor bersamaan dengan longsornya harga cengkeh yang itu, menurut orang desa, diotaki juatru oleh pemerintah.

Ambo dan Zainab memilih caranya sendiri. Melapor berarti pula mengeluarkan banyak uang untuk “biaya administrasi dan sebagainya”. Uang yang dipunyai yang serba terbatas “dikelola” sendiri. Sial, menghindari polisi, jatuh ke mulut dukun.

Dalam situasi yang nir, dalam desa beredar sasus. Makin ke sini makin kencang desas-desus itu. Apalagi, seorang dukun menerawang pelaku alap-alap adalah sesama dalam kampung. Keresahan menjalar. Setiap orang mulai saling mencurigai. Termasuk yang paling dicurigai adalah orang yang suka berkumpul, gonta-ganti rokok berharga mahal, namun tak ada pekerjaan alias pengangguran. Merek rokok tertentu menjadi penanda isapan sang alap-alap.

Ketika sasus bekerja, secara diam-diam Ambo dan Zainab mulai belajar melepaskan sapi-sapi dari hati mereka. Keduanya tak lagi punya semangat untuk mengurusi kegaduhan-kegaduhan senyap dalam kampung untuk memberi kepastian si ini dan si itu pelakunya. Mereka meloloskan kehilangan dua sapi pekerja yang cekatan dan kuat itu.

Sapi memang tiada. Bukan hanya dua sapi itu, tapi harta benda yang lain juga ludes. Selain perhiasan, kios kelontong Zainab juga hampir tak tertolong. Selama berbulan-bulan, Zainab tak pernah lagi ke pasar dan Ambo ogah-ogahan pergi ke kebun maupun turun ke laut. Semuanya terkonsentrasi pada satu titik: menemukan dua sapi pekerja. Modal usaha pun menuju titik minus.

Ambo berpikir, jika soal sapi ini masih dilanjutkan, bukan hanya mereka masuk dalam jurang kemiskinan yang kalut, tapi juga pendidikan dan makanan anak-anaknya terancam berantakan.

Peristiwa pemukulan di depan rumah saudagar cengkeh dan kopra, Koh Ang Sun, menyadarkan Ambo dan Zainab untuk segera berkata putus: sudah, kami melepaskannya.

Dalam kegamangan menjalani hidup sosial baru tanpa sapi pekerja itulah keluarga ini masuk dalam perangkap judi nasional yang disponsori negara: SDSB. Zainab makin rajin membaca ramalan-ramalan jitu yang tiap pekan dikeluarkan agen-agen penjual kertas porkas untuk membantu seisi kampung memasang angka yang tepat. Terkadang, ada yang menanam telur di tanah bawah pohon besar yang diyakini ditunggui jin dengan harapan ada kode yang dituliskan jin.

Bahkan, ketika ada kabar di Ujumbou ada bocah peramal yang ajaib, semua orang, termasuk istri Ambo, bersemangat untuk mendapatkan peruntungan. Jika tak dapat menebak sempurna (empat angka), paling tidak bisa menebak ekor (dua angka).

Ya, setelah sapi datanglah judi. Sebagaimana kehidupan orang kampung yang ekonomi perkebunannya berantakan, harapan diuapkan setinggi-tingginya lewat jalan judi berkedok sayembara sosial olahraga.  

Namun, seperti kata Rhoma Irama, judi itu adalah racun kehidupan. Lembaran judi ini pun terhenti saat Ambo kembali lagi ke kebun dan menanam komoditas baru yang dijanjikan pemerintah punya pasar bagus menggantikan cengkeh, yakni kakao atau cokelat.***

Sisa dari “kejayaan” di tepian pantai di suatu masa. Foto: Aia Nurhidayah