Dwi Kuntarin: “Hidup-hidupilah Dirimu dari Buku”

Saya mengenal pertama kali Dwi Kuntarin atau yang biasa dipanggil Ririn justru dari keponakannya bernama Melati Elok.

Nama Melati sangat menonjol di Perpustakaan Gelaranibuku/Iboekoe (saat masih di lingkungan Patehan, Keraton, Yogya) karena usia dan ketekunannya membaca dan meminjam buku. Padahal, usianya masih berkisar 10 tahun. Semua buku fantasi-tanpa-gambar disikat Melati. Bahkan merambah ke buku biografi.

Kadang siswa SD Kaputran itu (saat ini sudah duduk di kelas 2 SMA Bopkri II Jogja) datang ke perpus yang beralamat di Patehan Wetan No 3, Kecamatan Keraton, Alun-alun Kidul itu pada siang bolong. Tapi, lebih sering bakda magrib. Kadang datang sendiri dengan berjalan kaki dari Jl Patehan Kidul, tapi lebih sering bersama — nah ini dia, Jessica, sepupu perempuannya yang belum bisa baca tulis, tapi keranjingan buka buku.

Nah, suatu malam Melati ditemani ibu dari Jessi. Dialah Dwi Kuntarin.

Cerita dari perempuan yang lahir di Srandakan, Bantul ini kemudian saya tahu mengapa dua gadis kecil itu tergila-gila dengan buku.

Lahir saat Menteri Daoed Joesoef sedang menggodok secara seriyes konsepsi pendidikan yang akronimnya menyebalkan itu, NKK/BKK, Ririn dan adiknya sudah “dipinjami” kios buku oleh ayahnya di Shoping Center. Satu kios untuk dua anak. Oleh ayahnya yang guru itu dia “diajarkan” laku hidup untuk membiayai sekolah dengan berjualan buku.

Ririn dan saudara-saudaranya adalah keluarga terpelajar yang makanan hariannya hasil dari perasan kesabaran menjaga buku untuk berjumpa dengan pembeli/pembaca. Adik Ririn bahkan mampu menyelesaikan perkuliahan di Teknik Nuklir, UGM. “Aku itu sebetulnya tak suka kuliah. Kalau pun kuliah, maunya seperti kuliah di ISI yang seperti enggak kuliah itu,” kata sarjana Ekonomi Pembangunan di sebuah kampus swasta ini.

Di masa ketika Shoping Center masih “gubuk-deret” di belakang Benteng Vredeburg Yogyakarta, Ririn membuka dan menutup kios yang bernama Graha Pustaka itu mengikuti daftar belanja mata kuliah.

Ketika memutuskan menikah dan pindah ke Surabaya mengikuti suami, kegiatan menjadi niagawan buku terhenti sejenak. Karena status kios buku adalah “pinjaman”, Ririn mengembalikan pinjaman itu secara tunai kepada kedua orang tuanya. Ia menjadi ibu rumah tangga secara total.

Barulah tahun 2011, ia kembali ke Jogja. Kembalinya ibu dua anak di Kota Buku yang membesarkannya ini menjadi seperti lembar cerita lama yang dikuak lebar-lebar: hidupnya kembali dekat dengan buku dengan segala cerita perniagaannya. Kepulangannya kembali ke dunia niaga buku ini seperti suratan takdir bahwa dialah pewaris kios buku Graha Pustaka.

Kali ini, ia memperluas daya jelajah ke dunia internet. Mula-mula mengunggah buku dagangannya di toko daring tokobagus, sebelum ia betah dalam kuasa media sosial.

“Saya justru lebih banyak mendapatkan pelanggan di Facebook,” cerita Ririn yang saat bersekolah di SMP sudah berwiraswasta dengan membuka persewaan buku dan warung lotis di rumahnya.

Satu kaki Ririn di kios bawah tangga sebelah kanan Shoping Center, satu kakinya lagi di daring dengan memanfaatkan secara maksimum mesin media sosial, seperti Facebook dan Instagram. Berdiri pada dua kaki itu adalah konsekuensi dari arus zaman yang menghendaki perubahan kultur perniagaan buku.

Kadang, buku-buku datang sendiri untuk dijualkan. Namun, Ririn juga mesti berburu di loakan untuk buku-buku lawasan. Perpaduan buku baru dan lama yang membuat wajah Ririn kerap hadir di beberapa pergelaran buku yang diselenggarakan di Jogja.

Ririn percaya betul dia bisa hidup dengan buku sebagai penopang hidup. Apalagi, dengan buku bisa berjumpa dengan mereka yang juga percaya bahwa buku menghidupi para pemundaknya. Lebih dari itu dia sadar bahwa ada darah buku yang mengalir dalam tubuhnya, dalam hidupnya. Darah itu bernama trah. [Muhidin M. Dahlan]