Galam Zulkifli: “Melukis Empat Wajah Kebangsaan Pram”

Pembaca karya Pramoedya Ananta Toer, tahukah Anda sampul Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) sudah mengalami empat kali perubahan.

Edisi pertama Hasta Mitra 1980-an menjadi edisi klasik dengan harga jutaan rupiah. Di Edisi Pembebasan tahun 2000-an, Tetralogi Buru tampil dalam dua sampul. Yang pertama — dan ini yang paling banyak beredar — adalah montase foto lawas dengan drawing foto pemuda necis berdasi kupu-kupu. Sampul ini dibuat legenda sampul buku Jogja, Ong Hari Wahyu.

Sementara sampul kedua — ini yang hanya beredar terbatas — cetakan dengan sampul montase Minke dan empat perempuan yang dekat dengan sang tokoh utama. Sampul ini dibuat duo seniman Gelaran Budaya yang kini menjadi seniman papan atas Indonesia. Dipo Andy bertindak sebagai desainer sampul, sementara Galam Zulkifli pelukis wajah sang tokoh.

Nama terakhir ini nyaris melupakan lukisannya pada tahun 2002 itu jika saya tak mengungkit-ungkit lagi pada sore hari yang berawan tebal di kediamannya di Nitikan Baru, Jogja.

Saya tiba-tiba saja ingin mendengarkan lagi kisah keterlibatannya dalam pembuatan sampul Tetralogi Buru di awal abad 21 itu atau seabad latar waktu peristiwa Tetralogi itu dinarasikan.

“Saya membaca tuntas Tetralogi itu sebelum memutuskan karakter tokoh untuk saya lukis,” kata Galam.

Seniman kelahiran Nusa Tenggara ini sempat bertanya retoris, jika Anda seorang coverist dan ditawarkan membuat sampul Tetralogi, tindakan akhir apa yang Anda lakukan?

“Tepat, Anda mesti menonjolkan Minke dan umumnya patriarkh, maskulin. Saya justru mendapatkan kekuatan Minke justru dari perempuan-perempuan di sekelilingnya.”

Bagi Galam, Tetralogi adalah imaji Pram tentang Indonesia modern awal, tentang tanah dan airnya. “Minke itu ibarat adalah tanahnya, sementara air yang menghidupkannya, air yang menyuburkannya adalah perempuan dari suku bangsa yang berbeda-beda,” jelas master seni karakter wajah di mana lukisannya berjudul “Indonesia Idea” menuai kehebohan pada 2016 di Terminal II Angkasa Pura, Cengkareng, Banten.

Galam pun bereksperimen bahwa sosok Minke adalah obsesi Pram tentang sosok Tirto Adhi Soerjo. Maka, wajah yang dimunculkan Galam adalah pantulan wajah Pramoedya itu sendiri. Tiga lukisan pensil (drawing) di atas kanvas 50 x 75 adalah wajah “Minke” dan empat karakter perempuan yang disaring secara ketat dari hasil kerja-baca Galam yang tekun atas Tetralogi. Ketiga lukisan yang kemudian menjadi sampul Tetralogi itu disumbangkan seluruhnya oleh Galam kepada keluarga pengarang asal Blora ini.

Karakter wajah perempuan yang dilukis oleh Galam adalah Nyai Ontosoroh, Annelies Mellema, Ang San Mei, dan Princess van Kasiruta.

“Karakter berbeda-beda bangsa itu yang ingin dikatakan Pram saat berbicara Indonesia. Nyai Ontosoroh dengan karakter wajah Jawa yang keras. Annelies seorang blasteran. Mei seorang Tionghoa dan sekaligus aktivis pergerakan. Sementara dari Indonesia di belahan timur diwakili karakter Princess van Kasiruta.”

Memasukkan wajah dari Maluku ini menunjukkan Galam peka pada detail dan kemampuannya menangkap yang tersirat dari pesan Pram. Bahkan, sosok yang menjadi istri Minke di pembuangan itu kerap terlupa dan jarang tertulis dalam uraian pengulas Tetralogi sebagaimana kita bisa susuri dalam pencarian di internet.

“Sebagai orang dari Nusa Tenggara, saya kira Pram tepat menggambarkan karakter perempuan timur: kuat, garang, atau Pram menyebutnya sebagai orang yang selalu di depan melindungi suaminya dari serangan musuh. Tapi, ya, itulah nasibnya orang timur: disepelekan, didiskreditkan, lalu dilupakan.”

Jadilah kita dapatkan ada satu periode dalam sampul Tetralogi yang kini diterbitkan Lentera Dipantara, wajah perempuan antarbangsa tampil; wajah dan karakter yang turut merajut wajah Indonesia hari ini.

Sampai di sini, kita mendapatkan sosok Galam adalah seniman pembaca buku garis keras. Ajaklah ia bicara soal Kho Ping Hoo, tujuh hari tujuh malam ia bisa adu kuat melisankan isi cerita silat itu.

“Saya pasti habis dan tuntas membaca novel atau cerita. Kecuali buku-buku filsafat atau diktat seni,” ujar seniman drop out semester empat di IKIP Yogyakarta dan dua kali gagal melewati ujian masuk Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.

“Saya otodidak belajar melukis. Diktat apa yang dibaca mahasiswa ISI, juga saya berusaha mencari, meminjam, dan membacanya. Jika mahasiswa ISI untuk lulus sketsa harus bikin 500-an, saya bikin dua kali lipatnya,” cerita Galam dengan semangat.

Sosok yang menjadi salah satu pendiri Gelaran Budaya pada 1999 dan Yayasan Indonesia Buku pada 2006 ini menempuh jalan yang sangat keras untuk setara dengan seniman-seniman yang belajar formal di kampus-kampus. Dengan jalan membaca dan berlatih sehebat-hebatnya.

“Saya bisa tahan tak bicara pada siapa pun selama tiga bulan dan hanya berhadapan antara buku dan lukisan,” katanya.

Galam ingat ketika ia tak punya uang untuk beli buku baru karena belum masuk ke Perpustakaan Daerah, sementara dompet terkuras hanya untuk belanja kebutuhan melukis yang memang mahalnya naudubillah. Langkah yang diambilnya adalah berangkat dari asrama Sumbawa ke toko buku berpendingin dan nyaman di Jalan Soedirman, Jogja.

Lalu, “Saya membaca buku di toko buku. Tantangannya hanya satu, lihai dan tebalkan muka berhadapan dengan teguran satpam. Untuk menamatkan satu buku dengan tebal 200-an halaman, saya butuh tiga kali kunjungan ke toko buku berpendingin itu.”

Kini, seniman dengan harga lukisannya milyaran ini menghibahkan studio lukisnya di Panggungharjo, Sewon, sejak 2014, di belakang kampus ISI, untuk menjadi rumah buku-buku dari sebuah yayasan yang bergerak di ranah literasi Indonesia di mana ia ikut mendirikannya.

Indonesia Buku sesungguhnya bakti Galam atas budaya membaca jika kamu tak mampu bersekolah formal. [Muhidin M. Dahlan]