Astuti Ananta Toer: “Suara Saya Sopran”

Saya kaget setengah mampus melihat Bu Besar — saya terbiasa menyebutnya demikian — ada di tengah kelompok paduan suara Dialita (di atas 50 tahun) yang hampir seluruhnya ibu-ibu. Bu Besar memakai kebaya putih dan sedang gerah di “ruang kokpit hampa udara” panitia Biennale Jogja 2015. Bersama belasan ibu-ibu penyintas 65, Bu Besar menunggu waktu untuk tampil di atas panggung yang malam itu juga diisi Senyawa dan Punkasila.

Saya kaget karena sejak mengenalnya pada awal tahun 2000, nyaris tak pernah sekalipun saya melihat Bu Besar menyanyi. Bersenandung pun tidak. Dan ia dalam barisan “biduanita” itu menyanyi. Lagunya pun bukan lagu yang biasa, tapi lagu yang pernah bergema cukup keras di masa Sukarno.

“Saya sopran,” aku Bu Besar menceritakan posisi suaranya. “Suara tinggi,” sambungnya.

“Jadi malu saya,” katanya tertawa. “Saya itu cuma maskot. Ada Pram dalam barisan ini.”

Bu Besar yang juga putri maestro sastra Indonesia Pramoedya Ananta Toer memang salah satu ikon dalam dialita, sebagaimana kehadiran Bu Irina Dayasih, putri anggota Politbiro PKI Njoto.

Menyanyi barangkali adalah hiburan tersendiri bagi Bu Besar; setelah menyaksikan dan merasakan gelombang rasa sakit. Ia masih meneteskan air mata jika mengenang hari-hari besuk Pram di Salemba. Masih hadir seutuhnya tubuh Pram yang merosot, mata cekung, dan jeritan penyiksaan para tangkapan.

Derita dikucilkan masyarakat dan kehidupan ekonomi yang memukul balik keluarga adalah rajutan ingatan yang tiada putus membuatnya selalu awas dengan orang lain, dengan orang asing.

Rumah yang nyaris tiap hari disatroni intel membentuk mental yang butuh adaptasi lama untuk percaya pada orang lain. Mungkin Bu Besar menganggap semua orang adalah intel tentara dan layak dicurigai sampai seseorang itu betul-betul bisa dipercaya dan bisa tertawa bersama.

Soal percaya tak percaya itulah Pram mempercayakan kepada Astuti Ananta Toer untuk mengelola semua naskahnya yang sebelumnya diterbitkan secara khusus oleh Hasta Mitra. Pram barangkali punya alasan khusus untuk itu.

Sejak kecil, Pram kerap membawa Bu Besar dengan motor ke Istana Negara. Beberapa kali ikut Pram di kantor redaksi Bintang Timur di mana Pram menjadi redaktur lembar budaya “Lentera”. Ia juga dibimbing langsung oleh Pram dalam menulis.

Dan semuanya terhenti dengan sangat menyedihkan. Peristiwa 65 bukan saja memupus impian Bu Besar untuk menjadi penulis dan terdidik dengan sekolah tinggi, tapi juga membikin semua hubungan keluarga retak dan berantakan.

Kini, peristiwa itu sudah berlangsung 50 tahun silam. Bu Besar mengenangnya dengan menyanyi. Ya, dengan suara sopran yang tinggi, Bu Besar menyanyikan lagu-lagu pengobar semangat, seperti Asia Afrika Bersatu, Nasakom Bersatu, Padi untuk India, dan Viva Ganefo.

Ia terus bernyanyi, berkumpul, bernyanyi.Berkitar-kitar di Jakarta dan sesekali ke kota lain. Berkumpul, berlatih, berkumpul, berlatih. Ini siasat untuk tidak cepat lapuk. Dan, sesekali menyiapkan naskah untuk penerbit yang berdiri sejak 2003 di Yogyakarta itu.

Lentera Dipantara — nama yang diberikan sendiri oleh Pram — masuk dalam gugus penerbit alternatif karena memang sangat khusus hanya menerbitkan karya seorang penulis. Lain tidak. Satu penulis, satu gugus gagasan. Dan ini penerbitan berbasis keluarga.

Memang intensitas penerbit ini dalam menerbitkan semua karya Pram tak secepat dua tahun pertama setelah berdiri dan dikelola dari Yogyakarta. Menerbitkan hanya senang-senang saja dan sewaktu ada waktu yang lowong saja. Pendeknya, jika ingin menerbitkan, ya ayo.

Kalau ada pekerjaan lain lebih mendesak, Lentera Dipantara boleh meminggir sejenak. Sesantai itu. Alternatif banget, tho. Inti “alternatif” itu: ra ngoyo nggolek duwit.

Datang waktunya latihan menyanyi dan tampil dari panggung ke panggung mencari keadilan, ya Bu Besar ikut. “Saya sudah jarang bekerja. Terus berkumpul,” katanya.

Termasuk Bu Besar menanggapi santai saja, datar-datar saja tentang semesta pembajakan buku-buku Pram di ceruk-ceruk gelap perniagaan buku terkini.

“Saya percaya kekuatan Pram masih ada. Pembajakan merajalela memang. Tapi pembaca Pram yang mengoleksi karya-karya Pram, saya percaya, tetap mencari buku-buku asli untuk dipajang di rak terdepan,” tanggapnya. Enteng sekali.

Semoga Lentera Dipantara mendapatkan generasi baru pengelolanya dari angkatan keluarga Pramoedya Ananta Toer yang lebih muda dan memahami bagaimana hati-zaman ini bergerak dan berdetak. Bu Besar berpacu dengan waktu untuk itu ….