Ong Hariwahyu: “Pergaulan Seni Bikin Hidup Agawe Santosa”

“Seni itu metode. Metode hidup. Saya bisa melakukan ini dan itu bukan karena punya talenta banyak. Semua itu lantaran pemahaman saya bahwa seni sebagai metodelah yang membuat saya tetap menjadi manusia,” kata Ong Hariwahyu ketika saya menanyakan falsafah hidupnya.

Seni memang telah menjadi laku hidup lelaki paruh baya yang tinggal di Nitiprayan, Bantul, Yogyakarta ini. Ia hidup di tengah kampung dan ‘mengeseniankan’ kampung itu. Penampilannya bersahaja. Ke mana-mana bercelana selutut, berbaju hitam yang sudah tampak lawasan, dan selalu membawa ke mana pun senyum terbaik yang dipunyainya sebagai seniman agawe santosa.

Laku hidupnya yang enggak ngoyo dan menjadikan seni sebagai metode hidup, bisa kita sigi dari awal ketika siswa SMAK St Bonaventura Madiun ini memilih masuk masuk Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STSRI) atau Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) pada 1980. Tak ada yang istimewa hijrah Ong dari Madiun ke Yogya, kecuali bahwa peristiwa hijrah itu disebabkan oleh seni.

Masuk ASRI/STSRI tahun 1980, sekali lagi, ia ‘rampungkan’ selama delapan tahun dengan status drop out. “Sudah enggak terhitung semesternya. Dispensasi terus-menerus. Dan, tetep pilih DO,” akunya, terkekeh. Betul, ia masuk dalam Jurusan Grafis, terutama sekali belajar cetak-mencetak, tapi justru bandul kerja pertamanya bergulat di antara skema tangan mahasiswa Desain Komunikasi Visual.

Pergaulan seni yang mengantarkannya menjadi desainer sampul yang kelak menjadikannya sang legenda dalam seni rupa buku. Ong tak pernah lupa, dan ini menjadi titik kisar kedua perjalanan berkeseniannya, perjumpaannya dengan pegiat budaya di Gelanggang UGM dan Yayasan Pondok Rakyat (YPR) membawanya pada sebuah ‘petualangan’ artistik yang menjauh untuk sementara waktu dari deru berkesenian di Kampus Gampingan. Di Gelanggang, ia berjumpa dengan sosok-sosok seperti Ari Wijaya, Khudori, dan Ahmad Fanani. Karena dalam lingkar pergaulan itu hanya Ong yang dianggap ‘seniman’, ia selalu diserahi tugas artistik. Termasuk, saat Fanani mendirikan penerbitan Sholahudin Press (SP) pada 1984, Ong secara de facto dan de jure ditunjuk sebagai pembikin sampul.

SP dalam sejarah penerbitan buku bertema humaniora di Yogyakarta disebut-sebut sebagai sumur sejarah penting. Sebab, dari SP ini bukan saja lahir Bentang Budaya yang kemudian memunculkan pekerja-pekerja buku yang keras kepala, tapi juga memunculkan corak baru sampul buku dengan cita rasa seni rupa. Di titik itu, Ong duduk sebagai peletak dasar sampul buku Yogya yang artistik.

Sebetulnya, Ong tak benar-benar berkiprah sepenuhnya dalam dunia buku. Namun, jaringan persahabatannya selalu mendorongnya untuk berada dalam ekosistem ini. Terutama sekali lingkar perkawanan dengan sastrawan dan penulis. “Saya sering terlibat dalam obrolan yang intens dengan Emha Ainun Nadjib, Halim Hade, Isti Nugroho, Indra Trenggono. Biasanya titik kumpulnya di rumah Pak Umar Kayam,” kenang laki-laki yang bekerja selalu ditemani kretek dan kopi dalam bekerja ini. “Lha, yen ora ngopi ora cerdas je,” kata Ong sebagaimana dikutip minumkopi.com.

Jadilah Ong Hariwahyu menjadi desainer buku-buku Emha Ainun Nadjib saat masih ditangani Toto Rahardjo. “Cak Nun itu cara berpikirnya gayeng, tapi memikat. Dia bisa menukil Alquran, tapi dengan pandangan yang segar. Kok bisa pintar begitu. Dari dulu. Sejak masih muda!” ingat Ong.

Hubungan Ong dan Cak Nun pun berlanjut, bahkan tatkala grup Kiai Kanjeng terbentuk. Ong-lah kebagian tugas mendesain sampul kaset perdana Gamelan Kiai Kanjeng berjudul Kado Muhammad: Tombo Ati.

Seni sebagai metode hidup membawa Ong kepada dunia teater. Para pegiat teater di Yogya merapat ke beberapa simpul. Misalnya, Ashadi Siregar yang menangani FTV umumnya memanggil pegiat seni yang lain untuk urun. Bukan hanya terlibat dalam membedah dan melakukan breakdown naskah, Ong, apa boleh bikin, justru ditunjuk sebagai penata artistik bersama Hasmi lantaran keduanya dianggap yang paling tahu seni dekor karena tumbuh dari kampus seni di Gampingan.

Dari Gandrik, Ong melompat ke film yang disutradarai Slamet Rahardjo maupun Garin Nugroho yang membuatnya berjumpa dengan sosok yang kelak disebutnya sebagai ‘sang guru’, yakni Rudjito. Kepada lelaki yang besar di Teater Koma, Jakarta, inilah ia meguru sisik-melik artistik dalam film. Nama Ong pun tercatat di kredit sejumlah sinema biopik penting sebagai penata artistik, seperti Tajuk, Sri, Soegija, Daun di Atas Bantal, Habibie & Ainun, Soekarno, hingga Tjokro.

Biar pun begitu, Ong tak pernah lari dari buku. Ia sudah menyatu dengan kehidupan seni rupa buku di Yogya. Mulai dari ‘kongsi’ dengan Buldanul Khuri yang membuat Bentang Budaya hingga perjumpaannya yang rutin dengan Mas’ud atau akrab disapa Cak Ud, pemilik penerbitan Pustaka Pelajar di Jagalan, yang membuatnya menjadi langganan pembikin sampul penerbit dengan logo gerbang melengkung itu. Bukan itu saja, ia juga ringan tangan membantu ‘menaikkan’ pamor artistik penerbit-penerbit yang tumbuh setelah fajar Reformasi merekah.

Dan, perjumpaan dengan sastrawan Pramoedya Ananta Toer tak pernah dilupakan Ong Hariwahyu. Perjumpaan pada tarikh 2003 itu menjadi awal dari sebuah kerja sama yang ‘khas’ di mana Ong menjadi pembikin sampul-sampul buku Pram, baik Edisi Pembebasan Hasta Mitra maupun saat semua naskah diterbitkan kembali dengan bendera penerbit Lentera Dipantara. Nama Pram dengan segenap karyanya pula yang menjadi mesin turbo gagasan pameran estetika desain grafis Ong pada 2014 di Bentara Budaya Yogyakarta dengan tajuk “Joyo Semoyo: Melunasi Janji”.

Mesti diakui, garis dan visi visual Ong telah memberi warna dengan cukup tebal pada sejarah artistik buku di Yogyakarta yang membedakannya dengan penerbitan-penerbitan di luar lingkar kota tua ini.

“Saya besar di buku,” begitu Ong sering katakan. Tumbuh bersama buku (di) Yogyakarta itulah Ong tahu betul bagaimana memperlakukan (artistik) buku di ruang terbuka. Apalagi, ketika buku bersanding dengan pertunjukan.

Wajah Ong tampak semringah ketika suatu hari para penggagas MocoSik memanggilnya untuk “membantu” menata artistik. “MocoSik ini konsep keren. Suatu kesempatan memediasi kegilaan anak muda kepada musik, sementara mereka kerap dipandang menjauh dari buku. Mungkin, mereka bisa tertarik dengan buku sambil mendengar musik,” kata Ong antusias.

Ong paham belaka, jika hanya pameran buku dan tak ada value tertentu yang ditampilkan, berakhir dengan kesan datar-datar saja. Maka, cara mengintervensinya adalah memperkenalkan isi buku dan penulis besar Indonesia lewat parade kutipan dan foto-foto pengarang yang digunakan semua pengunjung berusia muda itu untuk berswafoto. Bahkan, ia juga menampilkan angkringan yang bukan angkringan biasanya, melainkan angkringan kopi dan teh yang mejadi gaya hidup kiwari.

Bagi Ong, puluhan kutipan dari puluhan penulis buku terpilih dan legendaris kontekstual. Walaupun selera warna Ong lawasan, old picture, namun ia tak serta-merta bervisi kusam. Ong sungguh yakin, buku sangat bisa menyesuaikan dengan gaya hidup dan fesyen ‘kids jaman now’. Asalkan, kita mau terbuka dengan apa yang disebut Afrizal Malna pada medio 1980-an, abad yang berlari.