Ambo dan Rumpon

Rumpon adalah teknologi tua para petani air di garis pantai untuk mendapatkan ikan yang lebih banyak. Rumpon disebut pula halte temu atau bantaya di mana ikan saling bikin janji untuk bergerombol, baik dalam jumlah besar maupun kerumunan kecil. Di bantaya itulah titik tuju dan pemberhentian nelayan untuk memancing.

Posisi rumpon mirip dengan terminal bus, yakni tempat menurunkan dan mengambil penumpang secara resmi. Di rumpon inilah terjadi aktivitas menurunkan umpan dan mengangkut ikan ke perut armada (perahu) dalam jumlah secukupnya. Tentu saja, menurunkan/menaikkan penumpang bisa di mana saja, namun itu tak membuat terminal menjadi tidak penting. Sebab, di sana ada magnet titik temu. Di rumpon ada tempat berlindung, tersedia makanan, juga “baca-baca”.

Sebagaimana terminal, infrastruktur ala nelayan ini sulit dibangun sendiri. Jika tak ada modal besar, niscaya bisa membangun rumpon. Namun, ketiadaan modal bisa disiasati dengan gotong-royong. Yakni, persekutuan tenaga beberapa nelayan dengan modal tenaga dan sumber daya yang disumbang alam secara gratisan. Dengan bersama, yang sulit bisa menjadi mudah.

Ambo, Burdan, Caco–sebut saja tiga sosok yang hidup bertetangga di Tondo Boya ini sebagai trio ABC–merasa perlu memiliki terminal ikan sendiri. Dengan rumah ikan yang dimiliki secara bersama oleh mereka, titik tuju dan pulang dalam melaut menjadi lebih terukur. Sebab, bagi nelayan dayung, titik seperti ini perlu untuk mengukur kemampuan dalam mendayung perahu mereka.

Selama ini, Ambo, Burdan, dan Caco memberhentikan perahu sembarangan saja mengikuti insting. Terkadang ketiganya ikut memancing selewatnya di rumpon orang lain, terutama milik kelompok nelayan dari dusun tetangga, Ujumbou. Tentu saja, ada perasaan tak enak. Sebab, rumpon adalah penanda tak resmi kekuasaan. Rumpon adalah patok. Sebagaimana tanah kebun bersetifikat di darat, posisi rumpon pun sama.

Tapi, mau bagaimana lagi.

Maka, disusunlah rencana. Tak jelas, siapa yang mengusulkan pertama kali. Namun, cetusan bikin rumpon sendiri itu muncul saat Ambo, Caco, Burdan dalam satu tempat saat air laut teduh di sore yang temaram dan ketiganya menunggu ratusan ikan tuna sedang naik ke permukaan mengejar jutaan teri yang bergerak seperti gumpalan-gumpalan awan tebal di permukaan laut.

Ide itu dimatangkan di tepian dan membuat jadwal yang ketat. Jika mereka membangun rumpon, merambah bahan, secara otomatis ketiganya absen melaut. Jadi, dua pekan merupakan waktu yang cukup dipergunakan untuk membangun dan sekaligus mengapungkan rumpon. Bukan itu saja, jarak rumpon dari garis pantai juga dibahas. Lumrah, makin jauh posisi rumpon dari tepian, makin besar biaya dan bahan yang dibutuhkan. Dan, itu disesuaikan pula dengan jenis perahu, bermesin atau hanya dayung.

Sadar sebagai nelayan miskin tak bermesin, jarak rumpon tak lebih 3000 meter dari tepian. Atau, kedalaman 200 meter. Jika mendayung hanya dibutuhkan waktu tempuh 45 menit. Dengan posisi seperti ini, terukur berapa panjang tali jangkar yang dibutuhkan.

Sepekan dibutuhkan trio ABC untuk mencari perabot-perabot rumpon yang dibutuhkan. Tiga hari pertama, di Kebun Sibasu milik Ambo, tiga rumpun bambu ditebang. Rumpon membutuhkan paling tidak 50 batang bambu. Dengan menggunakan gerobak, bambu-bambu itu diangkut ke pantai. Gerobak Caco dan Ambo menjadi pengangkut bambu.

Setelah urusan bambu selesai, ketika nelayan ini memburu rotan untuk dijadikan tali jangkar. Mereka membutuhkan rotan yang lumayan banyak untuk bisa menjadi tali jangkar dengan kedalaman 200-an meter. Mereka menyisir hutan-hutan di atas Jono Oge hingga Sibasu. Lalu, terus ke selatan di Bingge Langa hingga sioti. Berhari-hari perambahan mencari rotan ini dilakukan. Sebab, bagi pekebun di Sirenja, tak dikenal kebun rotan. Rotan-rotan itu tumbuh liar di hutan-hutan lebat. Untuk mendapatkannya, perlu ketekunan untuk merambahnya. Tanaman berduri itu bukan sesuatu yang mudah mendapatkannya.

Mestinya memakai tali nilon yang banyak dijual di perkotaan. Namun, karena modal tak ada, ketiganya memilih memanfaatkan apa yang diberikan alam, walau dengan jalan yang tak mudah.

Urusan rotan selesai juga. Gulungan besar rotan diangkut secara estafet dari berbagai tempat menuju satu titik: pantai.

Selesai? Belum.

Untuk bisa mengapung dan tidak hanyut dibawa arus, rumpon membutuhkan pemberat. Tak ada pilihan lain, batu-batu besar diperlukan sebagai jangkar. Ambo tahu di mana batu-batu besar itu berada. Di Sungai Uwelente, Sibasu, batu-batu yang dibutuhkan tergeletak di mana-mana. Lagi-lagi, tiga tenaga dengan harapan bulat bisa sejahtera dari rumpon ini berangkat untuk mengambil puluhan batu pemberat rumpon.

Setelah tiga unsur utama terkumpul di pantai seluruhnya, dimulailah tahap pembangunan konstruksi. Perlu waktu empat hari merakit rumpon. Artinya, makin lama waktu yang diperlukan tiga nelayan ini untuk tidak turun ke laut. Dalam tahap perakitan ini, trio ABC tak lagi bekerja sendirian, melainkan mendapatkan bantuan dari nelayan-nelayan yang lain. Sebab, rumpon ini bukan saja menjadi milik trio ABC, namun juga sesekali disinggahi nelayan yang lain. Asalkan, masih dalam batas yang wajar sebagai “tamu”.

Hari baik datang pada Jumat pagi di pertengahan tahun 80-an. Saatnya rumpon itu diturunkan ke laut melewati suatu upacara “baca-baca”. Seorang imam dan beberapa pegawai syariat (syara’) diundang ke pantai untuk membacakan doa keselamatan dan syukur-laut agar diberi rezeki yang berlimpah oleh Allah Swt. Rumpon dipercikkan air sedemikian rupa di semua titik pelampung yang merupakan bambu yang disusun tiga dengan belasan dahan kelapa yang diikat pada sebatang kayu yang berdiri. Fungsinya, selain sebagai peneduh, juga penanda dari jauh di mana letak rumpon.

Ada delapan perahu yang membawa rumpon itu ke tengah laut dengan titik yang sudah ditentukan. Untuk menentukan letak rumpon ini, trio ABC sudah mendapatkan kata sepakat karena bisikan pengalaman di mana mereka biasanya mendapatkan banyak ikan. Dan, patokan utama mereka adalah sejajar atau tak terlalu menjauh dari titik muara sungai. Dengan kedalaman 200-an meter, perahu-perahu itu menarik rumpon. Tiga yang bertugas menarik bambu, selebihnya mengangkut konstruksi batu dan tali rotan yang sudah dirancang sebagai jangkar.

Bagi nelayan-nelayan tradisional ini, memang sangat merepotkan membuat dan membangun rumpon ini. Tapi, dengan kerja sama antarnelayan, hal yang berat bisa menjadi lebih mudah. Dua jam sebelum azan salat Jumat dikumandangkan, jangkar sudah dijatuhkan. Di bawah rumpon diikatkan dahan-dahan kelapa agar ganggang-ganggang bisa tumbuh dan ikan berkumpul memburu makanan.

Ambo terharu melihat “rumah ikan” itu yang akhirnya terbangun juga. Rumah ikan yang ia tahu persis sering ia lihat saat masih berusia remaja di tanah mandar. Seperti nelayan-nelayan Mandar membuat rumpon, dengan ingatan yang masih tajam, seperti itu pula Ambo membuat rumponnya bersama sahabat-sahabatnya yang dipertemukan dengan takdir yang sama sebagai nelayan. Ia masih di situ saat satu-satu perahu mulai menepi. Ia masih ingin memastikan bahwa rumpon itu tetap di tempatnya semula dan tak terbawa arus. Ia berdoa sesaat dan mencauk air laut dengan kedua telapak tangannya yang kasar untuk kemudian diusapkannya ke wajah. Ia pun dengan sekuat tenaga mendayung perahu ke tepian.

* * *

Dengan teknik pancing ulur, Ambo kini lebih tenang turun ke laut. Jika sore telah tiba, ia segera mempersiapkan alat pancing dan mendorong perahu ke bibir pantai. Dan, kemudian mendayung dengan tujuan yang pasti. Terkadang, ia sudah mendapatkan Burdan tiba terlebih dahulu. Terkadang pula ia datang lebih cepat ketimbang Caco. Atau, dalam suatu waktu, dua sahabatnya tak datang untuk menyambut senja Sirenja dari rumpon dengan memancing untuk impi-impi kehidupan yang lebih layak.

Jika ada sunset, pasti ada sunrise. Dan, di kedua waktu itu Ambo menghabiskannya dengan mengulur tarik tali pancing mengelilingi rumpon. Jika ingin menikmati duduk di atas rumpon, perahu diikatkan Ambo di rumpon. Di atas rumpon, di antara dedaunan dahan kelapa yang sudah mengering dibakar terik sepanjang siang berhari-hari, Ambo mengisap dalam-dalam asap kretek tembakau gulung. Duduk sambil mendekap kedua kakinya, Ambo berpikir untuk membeli pukat. Dan, tentu saja ia mesti berunding dengan dua sekondannya yang punya hak yang sama atas rumpon dalam hal kepemilikan. Dimulailah masa ketika tiga nelayan ini membeli pukat.

Jangan bayangkan, pukat yang dipunyai nelayan tradisional seperti Ambo pukat besar, sebagaimana pukat tarik yang oleh nelayan di sekitarnya dinamakan panambe. Pukat Ambo terbuat dari sulaman senar pancing berukuran kecil yang seukuran dengan benang. Kesibukan Ambo pun bertambah. Saat perahu didaratkan, Ambo menjemur pukat. Jika ada bagian pukat yang bocor, Ambo duduk untuk menjahitnya.

Dengan berdirinya rumpon, apakah perkara kesejahteraan Ambo menaik? Ambo tertawa lepas, namun itu bukan tertawa puas, namun perih. Tak ada perubahan. Apalagi, beberapa rumpon baru juga mulai bermunculan. Ikan-ikan yang bermain di rumpon makin sedikit. Berkali-kali pukat Ambo tak berisi seekor pun ikan. Begitu pula pukat Burdan dan Caco. Alhasil, ketika turun ke laut, baik sore maupun subuh, Ambo kerap tak membawa pukat. Ia hanya memancing ulur. Sebab, mengulur pukat lebih ruwet dan lama. Hasilnya pun sudah bisa diprediksi.

Ke mana ikan-ikan itu berada? Ini isu yang panas ketika nelayan-nelayan laut dangkal seperti Ambo kehilangan ikan-ikan yang tersangkut di kail atau di pukat mereka. Mungkinkah, ikan-ikan itu makin jauh berenang di kedalaman yang lebih jauh lagi dan tinggal di rumpon yang lebih besar milik para juragan kaya?

Atau, ini semua punya sangkut paut dengan merebaknya isu pemakaian pukat harimau oleh juragan-juragan perahu. Pasangnya isu ini sampai juga ke nelayan-nelayan Tondo. Entah bagaimana ceritanya. Mungkin, lewat satu-satunya televisi di desa. Atau, via RRI. Pukat harimau yang dimiliki para juragan menggaruk rezeki nelayan kecil hingga perairan 4-5 mil. Pukat ini seperti pengisap semua yang ada; bukan hanya ikan besar yang tertangkap, namun juga semua benih. Hasilnya memang besar. Diangkut kapal motor, pukat seberat mulai dari 10 hingga 200 ton ini beroperasi berhari-hari. Di lambung kapal, sudah tersedia es pengawetan. Ada pula yang menjemur ikan di atas kapal.

Di beberapa provinsi, ketegangan meledak antara nelayan tradisional dengan juragan-juragan pukat harimau. Mulai dari pembakaran rumpon hingga penghadangan. Ketimbang berujung pada ketakstabilan, beberapa provinsi mengeluarkan beleid pelarangan pemakaian pukat harimau.

Pukat harimau memang membikin kehidupan hayati di laut tak stabil; menghabiskan apa saja yang ada. Termasuk memunahkan makanan-makanan ikan terkecil.

Ambo hanya tertegun di sore itu. Dia tak sedang memikirkan rumor pukat harimau mulai menguasai selat Makassar hingga memasuki Teluk Malei/Balesang. Yang membikinnya berdegup keras adalah bahwa rumponnya yang sudah berusia 7 bulan itu tak ada lagi di tempat. Pasti ia tak salah arah mendayung. Sebab, selama ini tak pernah salah sasaran, sebagaimana para supir bus tak pernah kehilangan arah di mana terminal tuju di mana mereka biasa mangkal menunggu para penumpang. Sore berangin itu Caco dan Burdan tak terlihat. Ambo lama tengok kiri kanan muka belakang. Namun, sosok rumpon itu seakan hilang dari garis permukaan laut.

Ambo mendayung ke tepian lebih cepat dari ratusan hari sebelumnya. Kini, ia mendayung nyaris tanpa tenaga. Di pikirannya hanya ada rumpon yang kini raib beserta dengan menyembulnya bayangan remang-remang di depan mata.

Ia mesti bertemu Caco dan Burdan untuk kemudian mengambil langkah selanjutnya. Mengusut bagaimana rumpon itu menghilang. Atau, memulai lagi membangun rumpon baru di bawah ancaman keganasan pukat harimau Selat Makassar.

Pemburu rono (ikan teri) mulai beraksi ketika gelap mulai menutupi permukaan laut. Dengan menggunakan petromaks, pergerakan lampu-lampu itu mengikuti ke mana rono itu berkumpul. Lokasi: Desa Tondo, Kec. Sirenja, Kab. Donggala, Prov. Sulawesi Tengah