Amien Rais sebagai Oposan Slilit

Barangkali, takdir Pak Amien Rais—selanjutnya ditulis Pak Amien—adalah penantang kekuasaan yang sulit dicari duanya hingga kini. Hingga ia memasuki usia gaek 74 tahun di tahun 2018. Dalam hal keakutan, hanya Sri Bintang Pamungkas penyanding yang tepat. Tapi, ia bukan penantang kekuasaan yang mudah ditumbangkan dan disentuh oleh borgol dan penjara, seperti yang menimpa Sri Bintang, PRD dengan segala aktivis-aktivisnya hingga jadi semenjana saat Reformasi merekah dan tumbuh bersama hutan alang-alang. Nasibnya juga tak pernah seironi ulama lambe turah macam Muhammad Rizieq Shihab yang harus hijrah ke Saudi saat digertak polisi cabe rawit macam Tito.

Pak Amien tak pernah bernasib seburuk itu. Ia bisa bikin kuping Pak Harto memerah. Tapi, ia tetap tegak dan enteng bolak-balik Yogya-Jakarta-Yogya untuk berdakwah amar makruf nahi munkar, baik berjalan kaki naik kereta api maupun pesawat terbang. Enggak seperti penandatangan Petisi ’50 atau Sri Bintang Pamungkas yang mudah betul dipukul dan namanya lebih banyak tenggelam ketimbang mumbul.

Ludahnya kerap menjadi oli bagi berita politik yang memang selalu diburu wartawan di era transisi abad 20 ke 21 untuk mempertahankan kestabilan oplah dalam persaingan liar di bawah jembatan layang tiap subuh. Tapi, bagi mereka pemakan-segala yang bisa dimakan, Pak Amien bukanlah sosok yang asyik. Karena Amien Rais adalah slilit. Dalam bahasa politik, Pak Amien adalah oposan slilit.

Pertama kali istilah slilit dalam konteks politik-agama saya baca dari kolom Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) yang dimuat Tempo edisi 10 September 1983 di halaman 82. Bagi Cak Nun, slilit itu serabut kecil sisa daging atau sayur yang menyelip di antara gigi.

Tak ada bahasa Indonesia yang pas menggambarkannya kecuali, ya, apa boleh bikin, slilit. Dan, posisi slilit sama sekali dianggap tak penting. Bahkan, perusahaan-perusahaan yang besar karena menjadi importir pencongkel slilit macam PT Tritan Utama (Tangerang), CV Multi Buana Jaya (Medan), UD Laris Jaya (Gresik), UD Hapsari (Sidoarjo), hingga CV Sofa Mediterranean (Krapyak, Bantul) tak mau menyebut slilit dalam produknya, melainkan tusuk gigi. Lihat, namanya “tusuk gigi”. Padahal, lahirnya teknologi itu karena menghalau dan memburu slilit dan sama sekali bukan kesalahan gigi hingga si gigi yang ditusuk-tusuk. Oh, mahadewa idola para wahabi bahasa, Ivan Lanin, masukanlah entri “Slilit” dalam KBBI edisi revisi keenam demi remah-remah Reformasi sebelum 2030 memusnahkan semuanya.

Dalam konteks esai Cak Nun, slilit telah memusingkan seorang kiai di alam kubur. Karena lupa mengurus slilit di giginya sewaktu kenduri di rumah Pak Kusen, di tengah jalan, si kiai mengambil potongan kayu kecil di pagar orang. Bagi kiai, itu masalah besar. Slilit telah membikinnya buta mata dan membimbingnya menjadi pencuri kayu. Perbuatan itu membikin kiai senewan di alam kubur, apakah Allah mengampuni dosanya. Para santri turut berduka. Bagaimana kalau tusuk slilit yang dicurinya itu kayu sebesar glondongan raksasa di hutan Kalimantan, terbayang kemalangan kiai.

Dalam konteks Amien Rais sebagai oposisi kelas slilit, (o)posisi Amien Rais jelas-jelas menyusahkan Orde Baru beserta para pengaraknya yang beroperasi di darat, laut, dan udara. Buruk di mata penguasa, harum dan penuh puji di hadapan para perindu perubahan. Itulah slilit Amien Rais. Dua dekade, 80-an dan 90-an, slilit Amien Rais dipuja sedemikian rupa.

Petualangan Pak Amien sebagai slilit bisa diikuti sepulang ia menyelesaikan studi doktoralnya di Universitas Chicago, Illinois, Amerika Serikat dengan membawa disertasi The Moslem Brotherhood in Egypt, Its Rise, Demise, and Resurgence.

Sebagai seorang doktor politik beraliran slilit, Pak Amien langsung mendapatkan mimbar yang pas. Saya bisa memaklumi bila umat lupa kepada nasib skripsi, tesis, dan disertasi Pak Amien. Sebab, kebutuhan umat bukan baca skripsi, tesis, dan disertasi, namun sosok yang pemberani seperti slilit, Pak Amien menjuluki dirinya sendiri sebagai “superjarum”—jangan dibalik—yakni, “suka pergi, jarang di rumah”.

Sebagaimana slilit yang berani mengganggu mulut siapa saja—dari ahli mebel hingga presiden—Amien Rais memang menjadi sosok yang unik. Ia Jawa, tapi lebih tepat sebagai orang Batak karena lebih sering “tembak langsung”. Itu kata peneliti politik dari LIPI, Taufik Abdullah. Seperti Pak Amien, sifat slilit selalu tembak langsung. Di mana ada celah, di situ slilit menyempil dan akan mengganggu perjalanan Anda jika tak dibereskan dengan segera di warung terdekat.

Koran dan majalah lebih mudah mengingat Amien Rais ketimbang Bondan Winarno ketika heboh tambang emas Busang di Kalimantan Timur lantaran berhari-hari menjadi bahan berita politik. Bondan “Maknyus” meriset dan melakukan investigasi berbulan-bulan soal Busang dan jadi sebuah buku, Pak Amien cukup dengan satu esai resonansi di koran Republika berjudul “Inkonstitusional”. Esai bertarikh 9 Januari 1997 itu, Amien Rais menulis: “Ketika saya membaca berita di koran bahwa ladang emas di Busang, Kalimantan Timur, oleh pemerintah diserahkan kepada dua perusahaan Kanada dengan penguasaan saham sebesar 90 persen, perasaan keadilan saya benar-benar memberontak ….”

Nah, apa saya bilang, slilit adalah sejenis perasaan pemberontakan. Ya, pemberontakan slilit adalah semacam lonceng peringatan. Di mana ada celah kebusukan, di situ slilit ada. Busang disikat. Freeport digaruk. Isu Timor Timur diladeni. Mobil Nasional Timor dikomentari. Kerusuhan sosial di antara tahun 1996-1997, mulai dari Singkawang, Kudatuli Jakarta, Situbondo, hingga Tasikmalaya disapu oleh Pak Amien.

Bahkan, soal politik suksesi kepemimpinan nasional yang disorotinya menjadikan Muktamar Muhammadiyah ke-43 di Banda Aceh pada 1995 menjadi bahan omongan yang luas, seluas dampak Muktamar NU Situbondo di ujung tahun 1984. Jika Muktamar Situbondo melahirkan Pak Abdurrahman, Muktamar Aceh melahirkan Pak Amien. Di antara keduanya, ada satu tak tergantikan yang ikut bermain dalam arena muktamar: Pak Harto.

Setelah Muktamar Aceh, Muhammadiyah yang dibawa Pak Amien berada dalam bayang-bayang kekuasaan. Dengan kendaraan sosial sebesar Muhammadiyah ini, Pak Amien menjadi slilit yang tak mudah disentuh. Bahkan, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang dipimpin seorang teknokrat abdi Pak Harto, juga segan memecatnya. Karena tahu diri sebagai slilit, Pak Amien mundur sendiri dari Dewan Pakar ICMI. Namun, alih-alih tertendang, Pak Amien justru diberi kursi di Dewan Penasehat ICMI. “Tukar bantal,” kata Pak Amien mengistilahkan sendiri posisinya.

Datanglah tahun 1998, tahun terakhirnya sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah sekaligus tahun terakhir si anti mrongos, Pak Harto. Sebagai slilit, Pak Amien keliru disebut sebagai penumbang kekuasaan Pak Harto. Bila Pak harto adalah gigi yang memiliki kekuasaan mengunyah apa saja, Pak Amien hanyalah slilit. Dan, jika Anda tanya ke dokter gigi mana pun, tak ada slilit yang menjadi penyebab primer tumbangnya gigi. Selain usia, biasanya dokter gigi menganjurkan sikat gigi yang rutin supaya gigi tak rusak. Lihat, kata si dokter, gosok gigi, bukan tusuk gigi di mana slilit bersemayan di sana.

Tapi, Pak Amien bukan slilit macam Widji Tukul: kiri, kere, koit. Pak Amien adalah slilit yang jauh dari cerita-cerita syuram yang menjadi objek program-program reality show televisi yang tayang tiap sore. Pak Amien bukan pimpinan Muhammadiyah seperti Pak A.R. Fachruddin (1968-1990) dan Pak Ahmad Syafi’i Maarif (1998-2005). Harga Toyota Harrier seharga 600-an juta milik Pak Amien tak sebanding dengan motor bebek salawas-lawase milik Pak A.R. yang nyambi jualan bensin botolan dan tak setara dengan onthel kepunyaan Pak Syafi’i yang seorang dosen dengan gaji gitu-gitu saja.

Pak Amien itu adalah slilit kelas Toyota Harrier. Namun, bukan soal mobil Toyota mewah itu atau motor bebek lawas itu yang penting. Sebab, substansi utamanya adalah, pinjam kata-kata Pak A.R. (bukan Amien Rais, tapi Fakhruddin), bagaimana dengan kendaraan itu kita bisa sampai di tempat pengajian di desa-desa tepat waktu.

Walaupun seorang pimpinan Muhammadiyah dengan status ekonomi golongan (sangat) berada, posisi Pak Amien tetaplah slilit yang konsisten. Ia komentator politik yang abadi. Memang, ia di tahun 2004 sedikit goyah pendirian sebagai slilit dan memutuskan bertarung menjadi gigi (presiden). Tapi, dasar memang nasibnya, ia seperti dicubit Allah Swt. agar selalu eling tentang takdirnya sebagai slilit. Ia gagal menjadi gigi. Memang, tak ada yang lebih mulia, apakah gigi atau slilit. Gigi mengunyah apa saja, slilit menyerang celah apa saja dan membuat kehidupan si gigi tak pernah nyaman dan enteng. Selama ada gigi, di situ slilit selalu menguntit.

Demikianlah, jika dangdut punya raja, slilit juga pada akhirnya juga punya. Siapa lagi kalau bukan, ya, akhirul kalam, kepada seluruh rakyat Indonesia, jika Anda diganggu oleh slilit, ingat-ingatlah, Anda butuh nama tak sembarang nama.

Tepat sekali, Anda butuh si Luhut Binsar Panjaitan tusuk gigi.

* Pertama kali dipublikasikan mojok, 27 Maret 2018