Asian Games, Kota, Politik Kebudayaan

Atribut menyambut Asian Games 18.08.18 bertebaran di sudut-sudut Jakarta saat ini. Bukan hanya di lokasi yang menjadi titik kumpul banyak orang seperti terminal, monas, kota tua, tapi juga di kulit luar bus dan kereta. Pemerintah dengan serius, bukan hanya menyiapkan atlet yang berlaga di gelanggang, tapi juga menggerakkan semua unsur budaya dalam negara untuk terlibat.

Setengah abad lebih dua tahun silam, kesibukan serupa pernah dilakukan saat Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggara Asian Games IV. Pada 1962, olimpiade se-Asia ini diselenggarakan saat situasi politik sedang mengalami pasang didih karena negara sedang memobilisasi pasukan untuk pembebasan Irian Barat (Papua).

Sebagai konduktor politik yang lihai, Sukarno tahu bagaimana menjadikan olah raga merupakan suatu gelanggang yang tidak hanya melahirkan suasana gempita, rekreatif, pelibatan massa yang masif, tapi juga mengikat suatu bangsa dalam buhul politik dan kebudayaan nasional.

Nasionalisme dalam olah raga adalah proyek pembayangan yang menggetarkan. Setidaknya bagi sosok Sukarno yang melihat peristiwa olah raga antarnegara bukan sekadar panggung keramaian biasa, melainkan gelanggang untuk memperlihatkan kekuatan dan kemegahan sebuah negara.

Ayo, lihat bagaimana komando negara bergerak tertata di luar urusan olah raga untuk menyukseskan olimpiade terbesar se-Asia ini. Tak hanya menstimulus pembangunan monumen-monumen infrastruktur perkotaan, olah raga ini juga menaikkan kembali kepercayaan diri negara setelah Konferensi Asia Afrika tahun 1955.

Jika KAA adalah semangat awal/dasar yang menjadi spirit pergaulan internasional Indonesia, maka Asian Games adalah metode memperlihatkan wajah material Indonesia yang bukan hanya di area venue-venue pertandingan, tapi juga manajemen mengelola peristiwa-bersama yang melibatkan banyak unsur terkait secara serentak dan berkesinambungan.

“Tahun ini (1962) adalah tahun kemenangan,” kata Sukarno. Kemenangan dari apa? Kemenangan merebut perhatian dunia, kemenangan menjaga teritorial yang disebut Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk konsumsi ke luar, Asian Games menjadi siasat memenangkan politik diplomasi merebut kembali Irian Barat dari koloni Belanda di pusat PBB di New York. Sementara di dalam, Asian Games adalah pagelaran kekuatan utama politik Front Nasional yang menjadi andalan Sukarno untuk menstabilkan friksi-friksi politik yang saling menikam dalam rantai beragam pemberontakan di daerah. Dari politik yang stabil, Sukarno kemudian membangun olah raga, kebudayaan, ekonomi, militer, pertanian, dan literasi.

Monumen Kota dan Pembayangan Industri

Hal pertama dilakukan tentu saja areal Asian Games yang tidak sekadar memadai bagi penyelenggaraan pertandingan, melainkan juga sepadan dengan impian Sukarno yang membawa Indonesia merebut kejayaannya ribuan tahun silam sebagaimana yang sering disebut Sukarno di mimbar-mimbar pidato.

Ya, Indonesia membutuhkan stadion olah raga yang megah; bahkan termegah di muka bumi. Atas impian itulah Indonesia mendekati Uni Soviet yang sibuk melakukan perang dingin dengan Amerika Serikat. Dan, karena poros Jakarta-Moskow sedang harmonis, impian itu menjadi kenyataan. Stadion megah itu berdiri dengan kucuran bantuan dari pemerintahan P.M. Khrusjtov.

Sukarno bukannya tak sadar bahwa ia dinyinyiri dengan pembangunan proyek-proyek raksasa itu. Namun, ia percaya diri jalan terus karena tanpa pembangunan material ini kesiapan Indonesia dipandang sebelah mata oleh musuh-musuh politiknya yang berhaluan antiimperialisme dan antikolonialisme.

“Terhadap orang-orang yang mencemoohkan pembangunan-pembangunan raksasa untuk Asian Games, apakah sekarang sesudah kita melihat hasil-hasil positif yang merupakan kebanggaan nasional, orang-orang itu masih tetap hendak mencemoohkannya?” kata Presiden Sukarno dalam pidatonya yang berapi saat membuka Stadion Utama Asian Games pada 22 Juli 1962 dengan dihadiri 100 ribu warga yang datang dari berbagai penjuru.

Stadion raksasa berkapasitas penonton 102.000 orang itu memiliki dua deretan tempat duduk penonton yang kesemuanya dipayungi atap aluminium temu gelang selebar 60 meter. Atap yang unik tidak bertiang itu adalah eksplorasi perhitungan teliti dan matang dari para ahli rancang bangunan Uni Soviet dan Indonesia supaya tahan arus angin tropis.

Artinya, Indonesia bekerja sama dengan Soviet menunjukkan perkembangan signifikan kerja ilmuan Teknik Sipil Indonesia. Ide teknik atap “temu gelang” di Stadion Asian Games adalah ide datang dari Indonesia yang kemudian dilaksanakan bersama-sama antara pada ahli dan pekerja Soviet dan Indonesia. Berkat itu pula, Presiden Sukarno mengucapkan terima kasih kepada seluruh ahli teknik sipil dan pekerja yang tiap hari menyumbangkan tenaga dan keringatnya untuk suksesnya pembangunan raksasa ini.

Selain pembangunan stadion, Uni Soviet juga diminta Indonesia untuk berinvestasi pada beberapa industri besar. Salah duanya, lahirlah pabrik besi baja Cilegon yang kemudian kita kenal dengan Krakatau Steel dan pabrik pupuk Petrokimia

Jadi, jika ditanya apa dan bagaimana pabrik baja pertama di Indonesia itu berdiri, tunjukkan kliping Asian Games. Bukan hanya membantu investasi, tapi Uni Soviet juga mengajari tenaga-tenaga Indonesia terpelajar untuk menimba ilmu di Moskow. Walhasil, sarjana-sarjana ahli metalurgi angkatan pertama di Krakatau Steel adalah lulusan Soviet.

Jangan lupa pula dengan kehadiran Jembatan Semanggi. Pembangunan jembatan ini satu paket pembangunan Stadion Asian Games. Permulaan pembangunannya pun di tahun yang sama. Dipimpin Menteri Pekerjaan Umum Ir. Sutami, jembatan yang menyerupai daun semanggi dan letaknya berdekatan dengan stadion itu bernilai strategis untuk mengurai kemacetan yang merupakan pertemuan beberapa ruas jalan utama.

Selamat Datang Indonesia: Dari Air Mancur, Hotel, dan Tugu Pemuda-Pemudi

Pada 1 Agustus 1962, Taman Air Mancur di perempatan Jl. Thamrin diresmikan istri Gubernur/Kepala Daerah Chusus (KDH) Brigdjen Dr. Soemarno Sastroatmodjo yang juga disaksikan Wakil Gubernur/KDH Henk Ngantung. Peresmian taman air mancur di sisi Lapangan Sepakbola Ikada (saat ini Monas) ini adalah pembuka sejumlah ruang kota yang artistik untuk menyambut Asian Games. Dan, untuk itulah perupa Henk Ngantung ditunjuk Sukarno menjadi pendamping Brigdjen Dr. Soemarno Sastroatmodjo membereskan Jakarta untuk lebih artistik. Henk Ngantung yang seorang seniman lukis Lekra sepanjang 1960 hingga 1965 menjadi penerjemah kemauan artistik Sukarno di ruang publik. Air mancur ini salah satunya.

Sudah puas dengan air mancur, bergeserlah ke utara sekira 400 meter. Kawasan yang dikenal dengan Bundaran Hotel Indonesia berdiri tugu dengan voestuk setinggi 20 meter dan kolamnya yang mengelilingi monumen tersebut bergaris tengah 100 meter.

Sehari sebelum peringatan Hari Kemerdekaan di tahun 1962, tugu bernama “Selamat Datang” ini diresmikan. Turut hadir dalam peresmian, antara lain Moh. Yamin, Menteri Perhubungan Darat dan PTT Mayjen Djatikusumo, Gubernur/Kepala Daerah Chusus Ibukota Jakarta Raya Dr Sumarno. Tugu yang dikerjakan sejak 1 September 1961 dengan menelan biaya 40 juta ini dikerjakan di bawah pimpinan Ir. Rooseno dan pemborong diserahkan kepada NV “PP”. Adapun patung “Pemuda-Pemudi” yang terpancang gagah di atas tugu dikejakan seniman dari Yogyakarta di bawah pimpinan Trubus.

Menurut Trubus, ide mendirikan monumen selamat datang ini datang dari Presiden Sukarno dan sketsanya dibuat Wakil Gubernur/KDH Henk Ngantung. Selanjutnya pelaksanaan patung dipimpin seniman Trubus dan urusan teknis patung 5 ton ini dipasrahkan ke Edhi Sunarso. Pengerjaan patung perunggu “Selamat Datang” ini sekaligus tonggak sejarah pertama pengerjaan patung perunggu bagi seniman Yogyakarta untuk ditempatkan di ruang terbuka dan diresmikan pada 16 Agustus 1962.

Sebelas hari sebelum tugu Selamat Datang itu diresmikan, Hotel Indonesia terlebih dahulu resmi dibuka Presiden Sukarno. Pada 5 Agustus 1962 itu lebih kurang 2.000 tamu hadir. Peresmian hotel ini lalu melahirkan slogan yang melegenda dari Sukarno: “kita bukan bangsa tempe”. Kata Sukarno: “Semua sukses2 pembangunan (stadion Asian Games & Hotel Indonesia, menyusul Monumen Nasional, Masjid Istiqlal) itu membuktikan kita bukan bangsa tempe; kita adalah satu bangsa yang besar dan termasyhur sejak ribuan tahun berselang.”

Asian Games juga menjadi gelanggang untuk memikirkan infrastruktur pariwisata baru. Pembangunan Hotel Indonesia adalah simbolisasi dari Indonesia menuju suatu jenis “pariwisata baru” yang tak sekadar “darmawisata”, tapi “pintu gerbang se-lebar2nya bagi pariwisata luar negeri untuk menyaksikan wajah muka Indonesia yang cantik dan molek ini …”

Infrastruktur kota beres, bagian kebudayaan bergerak cepat. Untuk mempererat persahabatan antarbangsa dengan Soviet, Komando Olahraga mendatangkan rombongan penari balet dari Teater Bolshoi. Teater Akademi Negara Mokswa ini tampil di beberapa panggung, di antaranya Gedung Kesenian Jakarta, Istana Olah Raga Senayan, Hotel Indonesia, dan Lokasari. Beberapa di antaranya mendapatkan liputan langsung dari TVRI.

Mendatangkan balet di negeri tari semacam Indonesia adalah bagian dari dialog budaya yang intensif. Tiga puteri Sukarno kita tahu adalah penari tradisi. Dalam acara-acara masif yang melibatkan massa yang luar biasa banyak, tari pendet dari Bali atau seudati dari Aceh biasanya dipertontonkan, termasuk dalam pembukaan Asian Games IV di Stadion Utama. Balet adalah kekhususan. Kita tahu, Sukarno memiliki perhatian khusus terhadap tari-tarian dan musik. Dalam siasat kebudayaannya, Sukarno memiliki selera politik musik dan tari yang mesti sejalan dengan politik antiimperialisme yang digaungkannya. Beberapa musik dan tari-tarian dari luar difilter sedemikian rupa, seperti joget Rock ‘n Roll, cha-cha, samba. Balet yang diiringi musik kamar mendapat perkecualian. Apalagi, salah satu puteri Sukarno, yakni Megawati Soekarnoputri menyenangi tarian ini. Bisa dipahami kemudian balet ada dalam “run down” panggung pertunjukan Asian Games.

Pertunjukan kebudayaan lain adalah pameran seni rupa yang berlangsung di Gedung Bank Indonesia, Jl. Husni Thamrin, Jakarta Pusat. Pameran side-event ini menampilkan 94 buah lukisan cat minyak, cat air, sketsa, dan ditambah dengan sejumlah patung dan maket arsitektur. Karya perupa muda berjumpa dengan karya perupa terkemuka seperti Affandi, Hendra Gunawan, Emiria Sunasa, dan bahkan Henk Ngantung.

Seni rupa adalah sayap kebudayaan yang berada dalam barisan komando olahraga. Sukarno si patron seni rupa Indonesia awal dan utama paham betul kekuatan seni ini dalam peta strategi kebudayaan. Ia yang sudah biasa bekerja dan berpikir bersama seniman tentu saja sadar di posisi macam apa para seniman tersebut dalam gelombang revolusi. Termasuk di Asian Games IV—dan kelak lebih masif lagi saat perhelatan Olimpiade Ganefo setahun kemudian.

Sukarno ketika terus-menerus dinyinyiri selalu menyebut bahwa ia tak melulu membangun yang fisik, namun memiliki strategi lain dalam membangun apa yang disebutnya “stadion dalam otak” atau kebudayaan.

Kata Sukarno: “Pembangunan stadion utama di kompleks Asian Games adalah merupakan pembangunan materiil. Pemberantasan buta huruf adalah merupakan pembangunan stadion dalam otak, stadion dalam jiwa, dalam roh dan kalbu kita, karenanya lebih hebat dari pembangunan stadion utama di Senayan Jakarta. Saya yakin kalau terbangun stadion dalam otak, dalam roh, dan kalbu kita itu, niscaya Indonesia akan jadi bangsa yang besar”.

Stadion dalam raga disimbolkan Stadion Bung Karno, sementara stadion dalam otak adalah gerakan melek literasi sebagai bagian dari penuntasan proyek revolusi yang lebih luas. Anda tahu, akhir tahun 1964 Indonesia dinyatakan bebas buta huruf karena “stadion dalam otak” tersebut!***

Pertama kali dipublikasikan di Jawa Pos edisi Minggu, 4 Maret 2018