“Saya menulis sastra seperti saya melukis” ~ DANARTO
Danarto yang wafat pada Selasa, 10 April 2018, di Jakarta adalah mata Jibril kesusastraan Indonesia. Atau, pinjam istilah pengamat sastra Indonesia asal Australia, Harry Aveling, Danarto adalah mata kanan dalam dunia prosa yang mana Pramoedya Ananta Toer adalah mata kirinya.
Walau tak terlalu produktif melahirkan buku, Danarto memang lebih dikenal publik sebagai sastrawan. Terutama, penulis cerita. Empat bukunya—Godlob, Adam Makrifat, Setangkai Melati di Sayap Jibril, dan Orang Jawa Naik Haji—antara lain mengerek nama Danarto sebagai penulis papan atas.
Namun, persinggungan spiritualnya terhadap Jibril jualah yang membikin karya-karyanya menjadi magis. Termasuk, ketika Jibril menjadi isu sosial pada awal milenium dengan kemunculan nabi baru di ibu kota, yakni Bunda Lia Eden. Di sana, nama Danarto terkena radar sebagai salah satu yang dekat dengan jemaah Salamullah yang kemudian atas nama keamanan negara dan ketertiban sosial dibumihanguskan. Lia Eden dibui, sementara kesehatan Danarto mulai menurun dengan memakai pacu jantung.
Dari peristiwa ini, nama Danarto mulai redup. Seredup posisinya sebagai seorang perupa di awal-awal karier kreativitasnya di tahun terakhir dekade 50-an.
Setahun setelah masuk Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia – Akademi Seni Rupa Indonesia (STSRI – ASRI) Jurusan Lukis di Yogyakarta, Danarto turut bergabung dalam kereta besar bernama Sanggarbambu. Ini adalah komunitas seni rupa nonnegara dengan usia terpanjang sampai saat ini. Lepas landas pada 1959 di bawah pimpinan Soenarto Sp. dan masih berdenyut hingga kini. Kredo mereka bikin bulu kuduk merinding: “tetap hidup hingga hayat anggota terakhir”.
Serupa Sanggarbambu, seperti itu pula riwayat Danarto. Sanggarbambu adalah organ seni rupa nonpolitis yang membuatnya berbeda dengan Bumi Tarung yang berada dalam lingkar Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Seperti namanya yang mengambil frase “bambu”, sanggar ini luwes dalam menghadapi angin politik. Ia menari dan bergoyang bersama arus zaman. Tak mudah tumbang karena ia adaptif atas gelombang zaman.
Danarto itu manusia yang luwes. Tak keras, tapi juga tak lembek. Tahu bahwa biaya melukis mahal dengan menggunakan bahan yang standar, Danarto tak kehabisan akal. “Kepunyaan saya cuma bolpoin dan kertas. Bahan itu saja saya pakai untuk melukis,” ujar Danarto.
Dengan pena dan kertas, Danarto berselancar dalam gelombang kreativitas Sanggarbambu yang dihidupkan oleh lintas disiplin kreativitas. Betul, Sanggarbambu didominasi perupa-perupa dari Akademi Seni Rupa, namun mereka menerima anggota-anggota dari musik, sastra, tari, drama, film. Kita kemudian tahu, tatkala menggelar pameran dari kota ke kota, Sanggarbambu punya opsi pertunjukan yang kaya. Berbagai disiplin kreativitas itu saling mengisi dan mempengaruhi satu dengan lainnya.
“Perkerabatan kreatif,” tulis esais seni rupa asal Bandung, Sanento Yuliman (1990), menggambarkan medan kreativitas di Sanggarbambu. “Memasukkan seni dalam kehidupan. Saling mendekatkan,” kata eksponen Sanggarbambu, W.S. Rendra (1962).
Bacalah daftar dan komposisi sejumlah nama penggerak dan simpatisan Sanggarbambu berikut ini yang menunjukkan bagaimana “perkerabatan kreatif” untuk “memasukkan seni dalam kehidupan”: Soesilomurti, Suyono Palal, F.X. Soetopo, Lesmaniarita, Fadli Rasyid, Yayuk W., B. Soelarto, Bagong Kussudiadjo, Irsam, Chadio, Warsito Sukarno, Riyadi A.S., Yussi Sukardi, Arief Sudarsono, Mulyati, S. Soemeru, Supono Pr., Untung Basuki, Sudarmaji, Muryotohartoyo, Adi Kurdi, Sardjningtyas, Sambodja, Lastri Farani Sukarton, Endang Aryati, Riyadi A.S., Soemadji, Isnaeni Mh., Hadyono, Syahwil, Mulyadi W., Danarto, W.S. Rendra, Indros B.S., Gatot Sudrajat, Siti Adiati, Genthong Hariono Seloali, Soenarto Mohamad, Helga Korda, Dadang Christanto, Eddie Hara, Nasirun, Halim H.D., Restu Agus Salim, Linus Suryadi A.G., Butet Kertaredjasa, Emha Ainun Nadjib, Putu Wijaya, Maruli Sitompul, Totok Buchori, Erick Purnomo, dan Slamet Riyanto.
Sebagai sebuah rumah besar kreativitas, tak mengherankan jika anggota Sanggarbambu umumnya memiliki lebih dari satu bidang kemampuan. Pahamlah kita mengapa nama Danarto yang secara akademik dididik dalam seni rupa, namun namanya menjulang dalam kesusasteraan dengan kecenderungan gaya yang lebih subtil: magis.
Tentu saja Danarto akrab dengan pameran seni rupa, sebagaimana Sanggarbambu yang dibuka dengan berpameran eksposisi secara sekaligus tiga pekan secara berturut-turut di Gendingan No 119 Yogyakarta, yakni Eksposisi Senirupa (1 April s/d 14 April 1959), Eksposisi Topeng-Topeng Modern (18 April s/d 2 Mei 1959), dan Eksposisi Keramik-Keramik Modern (6 Mei s/d 20 Mei 1959).
Sanggabambu terbiasa dengan melakukan penjelajahan medan seni seperti di pekan-pekan awal kemunculannya. Kecenderungan itulah yang kita saksikan saat ledakan Gerakan Seni Rupa Baru pada medio 1970-an di mana eksponen penggeraknya dari Yogyakarta merupakan anggota Sanggarbambu, yakni Muryoto Hartoyo, Bonyong Munni Ardhi, F.X. Harsono, Siti Adiati, Nanik Mirna, dan Ris Purwono.
Begitu pula Danarto. Sosoknyalah yang menjadi arsitek pameran konseptual “Kanvas Kosong” (1973) dan “Puisi Konkret” (1978). Pameran kanvas kosong di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat, dengan menghamparkan kanvas putih belaka adalah pameran yang tergolong nyeleneh pada masanya. Jika dalam kitab suci kita kenal istilah cahaya di atas cahaya, pada Danarto kita disuguhkan konsepsi putih di atas putih.
Sementara itu, pada puisi konkret, puisi visual, Danarto yang pernah menjadi redaktur cerita dan puisi di Zaman mendekati puisi dengan dengan garis dan warna. Sebagaimana karya sastra Danarto yang tak lazim, misalnya pada 1968 cerpen berkisah hujan dengan judul “aneh”—bukan terbuat dari kata, tapi sebuah sketsa hati berdarah tertusuk panah—seperti itulah Danarto menghidupkan garis-garis rupanya.
Pada garis-garis yang tak biasa itulah, wayang rupa Danarto dipuji Seno Gumira Ajidarma. Sejak era majalah sastra Horison di tahun awal, kita menemukan garis-garis sketsa Danarto. Namun, pada tema wayang, garis Danarto itu terlihat tak biasa. Sebut saja, terobosan wayang rupa Danarto adalah eksperimen untuk melengkapi jejak wayang di hadapan para perupa, seperti Wayang Ukur (wayang ukur), Wayang Kancil (Ki Ledjar Subroto), Wayang Alih (Lumadi Waluyo), Wayang Kontemporer (Heri Dono dan Nasirun).
Hamparan wayang sketsa Danarto bisa kita temukan di rubrik cerita majalah Zaman di awal tahun 80-an. Berganti-ganti penulis mengisi rubrik cerita wayang itu, antara lain Seno Gumira Ajidarma, Karsono H. Saputro, dan D. Djajakusuma. Namun, hanya satu yang bikin gambar, yakni Danarto. Wayang yang ditampilkan Danarto yang kemudian bikin Seno Gumira Ajidarma kepincut adalah wayang dengan gambaran gagah, namun deformatif. Lihatlah visual wayang ketika raksasa Rahwana berjumpa dengan Nabi Adam serta Aswatama memegang badik. Atau, saat Arjuna memanah tanpa tali busur dan anak panah.
Karena ketakjuban seperti itulah, pada cerita Wisanggeni: Sang Buronan, Seno Gumira mempercayakan garis wayang rupa Danarto sebagai tafsir visual independen, baik di sampul depan maupun di sekujur isi buku. Di buku itu, garis wayang Danarto tampil menakjubkan.***
* Pertama kali dipublikasikan Jawa Pos edisi Minggu, 15 April 2018