Hari Buruh 1 Mei dan Hari Pendidikan 2 Mei bukan kebetulan belaka diperingati berurutan. Dan, harus 1 Mei terlebih dahulu, baru disusul 2 Mei. Jangan dibalik. Sebab, kalender di seluruh dunia begitu susunannya. Termasuk dalam konteks historiografi Indonesia.
Di Hari Buruh kalian mesti berterima kasih kepada Presiden RI 2004-2014. Siapa lagi kalau bukan Pak Beye. Suka lagunya atau tidak, emoh gestur tubuhnya atau tidak saat berpidato, dialah yang meneken keputusan Hari Buruh sebagai hari libur nasional. Karena tanda tangan itulah ajakan si marxis dari Prancis, Paul Lafargue, menemui relevansinya di persada Indonesia lewat bukunya Hak untuk Malas: “Marilah kita sama-sama malas dalam segala hal, kecuali urusan cinta dan minum.” Masuk akal karena libur memang waktunya menggunakan hak istimewa mager alias malas gerak!
Tapi, selain nama SBY, ada nama yang jauh lebih meledak perihal menggerakkan buruh Indonesia untuk melawan sehabis-habisnya kepada juragan dan modal asing aseng. Namanya Said Iqbal R.M. Iskandar Soerjopranoto. Saking gigihnya cucu Paku Alam III ini, pers Belanda menjulukinya “De stakings Koning” atau si Raja Mogok.
Bacalah kisah si Raja Mogok ini lewat buku yang ditulis keponakannya yang juga seorang jurnalis kominis, Bambang Sukowati, berjudul Raja Mogok(1983), sembari menyetel lagu “Si Djago Mogok” Titiek Sandhora (1969) dari YouTube. Di situ, Anda menemukan bagaimana isu perburuhan dimasak di Kepatihan Pakualaman Jogja tempat keluarga besar Soerjopranoto berdiam.
Menurut buku itu, Soerjopranoto tepat satu abad yang silam, Oktober 1918, mendapatkan mandat dari Sarekat Islam (SI) saat memutuskan berkonfrontasi melawan modal asing dan bersekutu dengan Radicale Concentratie. Jumlah anggota SI saat itu lebih kurang 2 juta orang. Sudah jauh dari cukup untuk berkonfrontasi langsung.
Tapi, Soerjopranoto yang menjadi orang kedua di organisasi setelah Tjokroaminoto tetap waras tak melibatkan SI secara utuh dalam palagan di jalanan melawan kolonial. Itulah sebabnya ia membikin “selimut” baru bernama Personeel Fabriek Bond (PFB) yang kemudian dikenal sebagai sarekat buruh pertama di Indonesia. Anggota sarekat ini lebih kurang 50 ribu orang yang mayoritet buruh tani dan petani kecil. Soerjopranoto ini betul-betul raja buruh kalau melihat jabatan yang dipundakinya: presiden federasi Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB) dengan beranggotakan 22 sarekat buruh dengan Semaoen dari Semarang menjadi wakil.
Nah, dengan persatuan sarekat buruh dan lewat konsolidasi organisasi yang panjang selama dua tahun lebih, baik di tubuh induk gerakan, Sarekat Islam, maupun di antara pimpinan buruh se-Jawa, diputuskan untuk saatnya melakukan aksi mogok. Dan, percobaan mogok massal buruh pertama dilakukan di Pabrik Gula Padokan Yogyakarta atau lebih dikenal sekarang dengan nama P.G. Madukismo pada 9 Agustus 1920. Itu karena sekber PPKB dipindahkan Soerjopranoto dari Semarang yang menjadi basis SI Merah ke Yogyakarta.
Pabrik gula Madukismo itu terletak di Kecamatan Kasihan, Bantul, DIY. Tepatnya, di sisi kiri Sekolah Dasar Padokan II, tempat Iqbal Aji Daryonomenghabiskan masa kanak-kanaknya selama enam tahun. Manusia macam Iqbal yang kenal betul luar dalamnya pabrik dengan ruas-ruas rel kecilnya yang saling membentang ini mestilah akrab dengan kereta tebu yang jika waktunya musim giling selalu hilir mudik dengan desisan kecilnya di dekat sekolah. Nah, loko penarik belasan gerbong tebu itu bernama K.A.R.L. M.A.R.X.
Saya kemudian paham, mengapa Iqbal memakai secara berani dan terang-terangan T-shirt “Semaoen” saat jadi moderator di acara MocoSik Jogja di pekan ketiga April 2018 yang katanya mesti bersih dari seluruh “ANASir” kominis. Satu misteri terpecahkan. Ternyata, lokasi sekolahnya jadi laboratorium sosial pertama pemogokan buruh di Hindia Belanda yang mana selain Soerjopranoto, ada Semaoen juga terlibat dalam massa aksi.
Namun, di tengah-tengah memimpin gerakan radikal buruh-tani, Soerjopranoto tak lupa tugasnya yang lain yang tak kalah penting, yakni menjadi guru. Kursus-kursus yang ditangani Soerjopranoto di Kepatihan Pakualaman bersama Tjokroaminoto dan H. Fachrudin tentu saja terkait dengan Islam, ilmu sosial, ekonomi, dan perburuhan. Namun, di Taman Siswa, Soerjopranoto menjadi guru vokasi Taman Tani (Sekolah Pertanian) untuk membantu petani Temon melawan Raja dan Presiden di Kulonprogo.
Anda tentu sudah tahu siapa pendiri Taman Siswa pada 3 Juli 1922 itu, bukan? Dialah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau lebih dikenal dengan nama Ki Hadjar Dewantara. Nah, Ki Hadjar adalah adik dari Soerjopranoto yang tanggal kelahirannya, 2 Mei, diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Walau nggak libur, tetap hari ini siswa ada kelonggaran jadwal kelas dan berganti dengan, ya, apalagi kalau bukan upacara bendera.
Seperti kakaknya, Soerjopranoto, yang pikirannya bertendensi kiri walau bukan kominis, Ki Hadjar juga terbuka dengan pandangan-pandangan Marxisme sebagai alat perjuangan pembebasan nasional. Khusus untuk Soerjopranoto, tokoh Sarekat Islam dan pendiri PKI, Alimin, memberi testimoni jujur: “Soerjopranoto, meski beliau tidak ada hubungan politik yang bersangkutan dengan PKI, saya tetap menghargainya. Dialah satu-satunya dari kalangan ningrat yang pertama-tama berjuang di tengah rakyat jelata.”
Tentu, Anda sudah tahu Ki Hadjar yang mengindonesiakan lagu kaum kominis bersatu, “Internationale”. Tapi, bukan karena soal itu hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan. Namun, karena upayanya merintis cetak biru pendidikan kebangsaan yang dibayangkan Sukarno dengan mentransformasikan “Jawa” dari Taman Siswa menjadi model pengajaran nasional. Salah satu intisari awal pengajaran Taman Siswa adalah pendidikan penguatan karakter dan pejuang garis keras dalam penyadaran masyarakat yang mana kertas ijazah nggak terlalu penting.
Ngomong-ngomong soal ijazah nggak terlalu penting ini, mungkin Ki Hadjar mengikuti laku kakaknya, Soerjopranoto, di Temanggung pada 1914. Atas nama membela keadilan dan solidaritas sesama anggota SI yang dipecat sepihak, si Soerjopranoto merobek-robek ijazah sekolahnya di depan residen berkebangsaan Belanda. Wani~
Jelaslah sekarang, 1 Mei dan 2 Mei sudah benar secara matematis dalam susunan kalender Masehi dan sudah tepat pula secara historiografi (di) Indonesia. Sebab, keduanya, Hari Buruh dan Hari Pendidikan, sesungguhnya kakak-adik. Kaum buruh, oleh karena itu, mestinya menjadi sulung, menjadi saka guru dari semua pengajaran di sekolah. Mestinya.
* Pertama kali dipublikasikan di situsweb mojok.co, 2 Mei 2018