“Kami menyadari bahwa saat ini kami terperosok dalam ‘lubang’. Dan, ‘lubang’ itu adalah Undang-Undang RI No. 35 Tahun 2009 tentang narkotika yang telah dengan semena-mena memasukkan ganja di dalamnya” ~ Peter Dantovsky, Kriminalisasi Ganja (2013: 135)
Pada pekan pertama bulan Mei di tahun 2018, tepatnya hari Sabtu, tanggal 5 kalender Masehi, saya berjumpa kembali dengan Peter Dantovsky. Atau, tepat 200 tahun Karl Marx hadir di dunia ini (1818-2018).
Perjumpaan itu berlangsung dalam aula Lapas IIA Narkotika, Pakem, Yogyakarta. Hingga ke aula itu mestilah melewati enam pintu dengan penjagaan siang-malam. Jika bukan karena Kopiku, Komunitas Pecinta Buku Lapas Narkotika Yogyakarta, mungkin tak ada kisah perjumpaan kembali dengan seorang penulis berkarakter unik bernama Dantovsky. Sebuah nama yang ia sendiri menyebutnya di halaman 491 novel pertamanya, “Setan Merah”: Muslihat Internationale Tan Malaka. Buku bersampul merah dan bergambar Tan si pahlawan nasional yang tetap menjadi sengketa sosial hingga kini itu dicetak Indie Book Corner (IBC) di akhir Desember 2011.
Saya mengenal Danto—dan saya menyebutnya Commandanto—justru dari buku yang diterbitkan IBC itu. Artinya, usia perkenalan saya seusia buku itu. Saya lupa beberapa kali berjumpa hingga sosoknya hilang tiba-tiba dari pergaulan sosial. Dari pemilik IBC Irwan Bajang kemudian saya tahu Commandato jatuh ke lubang mana dan oleh musabab apa.
Lima tahun kemudian, atau tinggal beberapa bulan ia menjalani hukuman atas kesalahannya berdiri terlalu dekat dan rapat dengan “tebing terlarang”, saya berjumpa kembali dengannya. Jika bukan sebuah spanduk besar yang digagas antara Kopiku, Pustaka Bergerak, dan Lapas II Narkotika Kemenhukham, saya mungkin tak melihat wajah Commandanto di sebuah tembok “pengasingan” di mana ia mesti tinggal 1.825 hari lamanya. Spanduk itu terpampang besar di gerbang Lapas: “Tinta di Balik Jeruji; Menulis Mimpi”.
Di aula yang dihadiri ratusan tahanan khusus narkotika, saya memeluk Commandanto. “Rindu, Gus,” bisiknya. Saya tahu dari David Effendi, kader Muhammadiyah penggerak literasi keras kepala dan pendiri Rumah Baca Komunitas (RBK), Commandanto adalah salah satu tulang punggung penghidup api literasi dalam penjara.
Ia adalah penulis cepat dengan satu tangan. Bayangkanlah, novel tebal “Setan Merah” ditulis dengan satu tangan Commandanto karena tangan lainnya lumpuh-layu (acute flacid paralysis). Saat memberi komentar singkat pada buku itu, saya sudah yakin betul, keterbatasan tak pernah menyurutkan semangatnya untuk menulis. Oleh penyakit, ia hidup dalam keterbatasan. Oleh Undang-Undang, seluruh tubuhnya hidup dalam sepetak tanah dengan segala keterbatasan hidup dan bertindak dalam disiplin ala “panopticon”—pinjam istilah filsuf posstrukturalis asal Prancis, Michael Faucault, dalam Discipline and Punish (1975).
Di akhir pekan dalam pertemuan dengan pembatasan waktu itu, saya masih melihat semangat Commandanto dari wajahnya yang ceria, sebagaimana lima tahun silam, saat Indonesia Buku masih di Jl. Patehan Wetan No. 3, Alun-Alun Selatan, Keraton, Yogyakarta.
Di lapas itu, saya ditemani David diajaknya ke perpustakaan di mana ia mengelolanya dalam status “WBP” atau warga binaan pemasyarakatan. Bersama warga lainnya yang satu semangat, Commandanto menghidupkan warna biru tembok perpus dalam cita dan imajinasinya. Di sini, ia dan pegiat literasi jeruji tak hanya menerima sumbangan buku dari banyak pihak yang memberi warga binaan bacaan dalam menjalani kultur “panopticon” atau pendisplinan hidup ala sekolah tertua untuk berjumpa dengan Tuhan lewat ritus kesabaran. Commandanto dan beberapa yang lainnya berikhtiar memproduksi pengetahuan mereka dari interaksi berbulan-bulan sesama warga.
Dan, jadilah buku. Saya masuk membawa delapan buku yang saya ambil secara random di rumah saat berangkat ke Lapas IIA untuk perpustakaan mereka, namun sekaligus saya membawa empat buku dari warga binaan. Di Lapas, saat masuk dan keluar, alat-alat elektronik dan telepon genggam diperiksa sangat ketat, namun tidak dengan buku. Di sini, buku istimewa karena menjadi teman warga untuk menuntaskan “pendisplinan” dan pembelajaran tentang kehidupan.
Salah satu buku yang saya bawa keluar itu adalah karya Commandanto berjudul The Book of Prison Art (2018) yang diproduksi secara kolektif oleh Paguyuban Seni Tiyang Biasa (Pastibisa) WBP Lapsustik Kelas IIA Yogyakarta. Tiga buku yang lain adalah Kreasi di Balik Jeruji: Komik dan Poster (2018), Love in Prison: Kumpulan Cerpen dan Puisi; Pena, Buku, Penjara (2018), dan Ganesha Pergi Makan Siang (2018).
Pada tiga buku yang didesain dengan semangat menyala dan citra serbaterbatas itu saya menemukan wajah Commandanto yang tetap menyunggingkan senyum. Pada buku dan bacaan, jiwa dan semangatnya terjaga.
“Penjara bukanlah sebuah penderitaan, melainkan puncak dari kejayaan karena ia tahu bahwa kemampuan untuk berani demi cita-cita lebih tinggi adalah kekuatan yang membuat semua manusia merdeka,” tulisnya di bab pamungkas buku The Book of Prison Art.
“Rindu,” katanya. “Gus, rutin datang ke sini untuk literasi menulis, ya. Teman-teman butuh mentor menulis,” sambungnya.
Saya pun melirik sahabat baik hati yang menjadi penghubung dunia-dalam dan dunia-luar, David Effendi.***