PS Tira Mencari Rakyat di Bantul

Pentingkah Rakyat bagi tentara nasional? Jika pertanyaan itu Anda tanyakan kepada PS TIRA, jawabannya pasti sangat penting. Itu ditunjukkan dari perubahan nama dari PS TNI menjadi PS TIRA. “Tira” adalah akronim dalam akronim, yakni “TNI Rakyat”.

Pemakaian nama baru itu tak sekadar perubahan biasa, tapi juga diikuti langkah-langkah taktis. Klub milik PT Cilangkap TNI Jaya ini awalnya bermarkas di Stadion Pakansari, Bogor dan/atau Stadion Patriot Chandrabhaga, Bekasi.

Pada perhelatan liga tahun sebelumnya, yakni Liga 1 Gojek Traveloka, Stadion Pakansari dan/atau Stadion Patriot Chandrabhaga selalu menjadi barak yang sunyi. Bila pun bergemuruh, pastilah karena pendukung lawan-lawannya dengan status tamu.

PS TNI pun seperti bertanding sepenuhnya mengandalkan 11 patriot mudanya yang bertungkus lumus di lapangan. Dalam kamus PS TNI, tak ada “pemain ke-12”. Sekali 11, tetaplah 11.

Tapi, bukankah terlalu “independen” (si patriot muda tanpa Rakyat) seperti itu menyalahi kodrat kelahiran tentara nasional?

Tentu saja.

PS TNI butuh Rakyat. Langkah pertama diambil adalah memasukkan lema “Rakyat” dalam nama. Walaupun ada “Rakyat” dalam PS TIRA, semua pemilik saham tentu saja jenderal dan beberapa organisasi yang bernaung di bawah TNI, seperti Induk Koperasi TNI AD, TNI AU, TNI AL, dan Pusat Koperasi Mabes TNI.

Setelah urusan nama selesai, Bantul dipilih sebagai pengganti Bogor dan Bekasi. Alasan dipilihnya Bantul karena PS TIRA mengingat perjuangan gerilya Panglima Besar Jenderal Soedirman. PS TIRA berharap, kedatangan mereka di Bantul disambut meriah Rakyat seantero Bantul seperti saat Pangsar (Panglima Besar) kembali dari gerilya di Jawa Timur. Barisan Rakyat di selatan Kota Yogya itu mengelu-elukan Sang Pangsar.

Ini faktanya: sejak diluncurkan kali pertama di Stadion Sultan Agung Bantul pada 18 Maret 2018 hingga pekan ke-12 Gojek Liga 1 bersama Bukalapak 5 Juni 2018, PS TIRA tak juga mendapatkan sorak-sorai, hore-hore meriah dari Rakyat Bantul.

Stadion Sultan Agung biasanya selalu penuh oleh Rakyat ketika Persiba Bantul masih di liga utama sebelum nyungsep sedalam-dalamnya di liga amatir. Stadion ini juga bergemuruh saat PSIM Yogyakarta memilihnya sebagai kandang sementara. Stadion ini juga mendidih saat PSIS Semarang menjadikan Sultan Agung menjadi markas untuk beberapa pertandingan big match. Stadion ini juga bermandi batu dan pecahan kaca ketika Persija Jakarta menjadikan Sultan Agung sebagai stadion kos sementara saat stadion di ibu kota dipersiapkan/digunakan untuk pergelaran Asian Games.

Tapi, stadion ini berubah menjadi barak atau asrama saat dipakai TNI. Ciri barak adalah sunyi, tenteram, disiplin. Dalam barak, Rakyat tak diperkenankan masuk. Dalam barak, disiplin ditegakkan. Dalam barak, semua penuh aturan. Dalam stadion rasa barak tak ada teriakan, tak ada kor, tak ada bentangan syal, tak ada kibaran bendera berwarna-warni. Bahkan, nyaris tak ada suara dari tribun.

“Yang rame, jangan diam,” Syahrul Fadhil, kiper PS TIRA, berteriak-teriak di depan gawangnya saat mereka berusaha mempertahankan skor kemenangan 1-0 atas pemuncak klasemen sementara Liga 1 di pekan ke-12, Barito Putera. Setelah teriakan Syahrul itu mereda, pada menit ke-75, panitia pelaksana yang memegang mik mengumumkan ke seantero stadion: “Perlu saya sampaikan, penonton malam ini berjumlah 189.”

Anda bisa bayangkan, apa yang ada dalam benak kiper yang didatangkan dari PSS Sleman itu. Menurut saya, teriakan Syahrul itu menyalahi “hukum barak” yang “diam bae sebagai kunci”.

Jika pun stadion penuh sesak, ramai, dan tentu saja ribut, tak lain karena kehadiran Rakyat dari lawan tanding PS TIRA. Salah satunya adalah saat dijewer Persebaya Surabaya pada 13 April 2018 dengan skor telak 1-4. Bahkan, usai kehadiran “rakyat yang urakan” itu, dinding stadion dievaluasi dan diputuskan, tembok di sebelah barat sudut kanan ditinggikan lagi sehingga spesies manusia penggila bola tak bisa lagi memanjat.

Sebetulnya, ada satu pertandingan tandang di mana Rakyat datang untuk bernyanyi kepada PS TIRA. Di tribun utara, saat PS TIRA meladeni permainan Bali United yang berakhir dengan skor kemenangan 2-1, terdapat delapan orang bernyanyi malu-malu tanpa dirijen. Drum mereka hanya satu yang tentu saja kalah dari ratusan pendukung Bali United yang berada di tribun timur. Saat pertandingan berakhir, kedelapan orang ini berteriak-teriak minta diperhatikan pemain-pemain PS TIRA, namun tak ada satu pun yang merekennya. Menengok saja tidak. Saya melihat dengan jelas, betapa ada gurat lelah dan malu di muka mereka.

Saya menunggu lagi kemunculan R-8 (Rakyat 8) itu pada 11 Mei 2018 saat PS TIRA melayani PSMS Medan. Tidak ada. Saya mencoba menunggu lagi jangan-jangan R-8 yang saya lihat malam itu di tribun utara hadir lagi pada 22 Mei 2018 ketika Perseru Serui jauh-jauh datang ke Bantul dan mempermalukan si tuan rumah 0-1. Tidak ada juga. Pada pertandingan pekan ke-12 saat Barito Putera tandang ke Bantul, R-8 belum juga muncul.

Saya berpikir, Rakyatkah R-8 itu? Jika itu Rakyat, mungkinkah mereka utusan yang moksa ke Pantai Selatan atau lenyap selamanya di Goa Selarong? Diharapkan kehadirannya, tapi tidak direken.

Ya, mestinya PS TIRA tak perlu bersusah payah mereken kehadiran Rakyat itu. Toh, tentara adalah warga pilihan, warga elite dalam piramida struktur kependudukan di Indonesia.

Sebagaimana elitenya tentara, PS TNI/PS TIRA juga muncul dalam belantika sepak bola nasional tak melalui hukum promosi dan degradasi. Ia ada ujug-ujug sudah menjadi elite. Karakter elite seperti ini, tolong, “Dewan Jenderal” yang duduk mengurusi manajemen, janganlah dinodai oleh semangat populis mencari-cari Rakyat yang tak jelas karakternya.

Tanpa Rakyat, kesebelasan tentara yang berjulukan The Army atau The Young Warrior ini selalu tampil stabil: kadang menang besar, kadang kalah besar. Kadang menang di barak, kadang menang di stadion lawannya. Enggak ada bedanya main di Barak Sultan Agung atau di stadion lawan-lawannya. Tanpa pelatih kepala pun yang dipecat pada pekan ke-12 karena tak becus menaikkan peringkat klasemen, PS TIRA tetap memetik kemenangan.

Bahkan, hingga pekan ke-12, penyerang utama PS TIRA bernomor punggung 9, Aleksandar Rakic, berada di urutan ketiga pencetak gol terbanyak.

Luar biasa, bukan?

Jadi, o tentara, teruslah menjadi terdepan, independen, dan istikamah di jalan elite di semua lapangan kehidupan. Rakyat itu apalah, apalah. Bikin susah saja.

* Pertama kali dipublikasikan situsweb mojok.co, 8 Juni 2018