Percayalah, parafrase ini, berlebihan atau tidak, tetap menerbitkan takjub kepadanya: “menulis 80 esai dalam sebulan”.
Tentu saja, itu tak berlangsung secara ajeg, 80 artikel satu bulan. Sebab, bila itu terjadi, kepala lelaki kelahiran Lampung pada 7 Juni 1974 ini sudah lama kejang-kejang dan akhirnya strok.
Fase produktif itu ada dalam kehidupannya. Fase menjadi mahasiswa tingkat akhir yang kian matang di Jurusan Manajemen, Ekonomi, UGM dan situasi pemerintahan Soeharto pada 1997 yang acakadut menjadi bahan kaya baginya untuk menulis. Kebijakan ekonomi tanpa arah. Misalnya, mobil nasional yang tak masuk akal; setelah dibuka, semua komponen dari Korea. Satu-satunya elemen “nasional” dalam mobnas adalah angin dalam ban.
Ada lagi soal pupuk tablet, sepatu anak sekolah, tata niaga cengkeh yang semuanya berakar di “KKN”. Akibatnya, pasar tak efisien. Rente itu pun membikin Indonesia enggak ke mana-mana.
Kemampuan sebagai penulis subur itu yang dibawanya memasuki dunia penerbitan di Yogyakarta dengan pilihan tema humaniora.
Mudah?
Tidak. Karena tak mudah itu, ia yang tahu kampus UGM dari kakeknya yang buta huruf ini memilih bertahan. Dan, dengan separuh getir ia berkata, “Bangkrut itu bukan aib, namun hobi.”
Barangkali, ia malu sebagai pribadi yang selalu jawara kelas di Jurusan IPS di Lampung sana. Apalagi, ia siswa linuwih dan terpilih sebagai salah satu perwakilan hasil PBUD pada 1993. Artinya, otak sangat bisa diandalkan untuk memberitahu siswa-siswa IPA yang jagoan fisika, “Kalian hebat dalam menciptakan nuklir. Namun, keputusan untuk diledakkan atau tidak, sepenuhnya ada di tangan siswa-siswa IPS.”
Dengan gagah, siswa IPS ini hijrah ke Yogya dengan membawa mesin tik Olympic. Alat produksi ini tak hadir begitu saja. Ia memperolehnya dari hasil jual kambing. Tentu saja siswa SMP kelas 3 itu belum sadar betapa pentingnya kehadiran alat produksi bagi seorang penulis.
Namun, mesin tik ini ajaib. Dari sini, lahir tulisan bertema sastra dan budaya. Termasuk menulis sejumlah cerita. Salah satunya adalah resensi buku Kritik Sastra karya Rahmat Djoko Pradopo di Kompas tahun 1994.
Tema humaniora an sich ini mulai ia sisihkan perlahan-lahan ketika ia menyadari minimnya penulis ekonomi di kampusnya. Sejumlah nama penulis yang ia sebut sangat sedikit, antara lain Revrisond Baswir, Tony Prasentiono, dan Mudrajat Kuncoro. Ada pula nama Mubyarto yang lebih terkenal sebagai penulis buku dan pemikir IDT. Jangan lupakan nama A.R. Karseno, seorang ahli pembangunan makro.
“Saya menulis tema-tema ekonomi karena tak ada angkatan saya yang terjun menulis,” katanya. Ia berasumsi, tak munculnya penulis ekonomi dari kalangan mahasiswa ekonomi disebabkan umumnya yang mau masuk ke fakultas ini untuk mengejar karier.
Energi menulis berlimpah-limpah soal ekonomi itu di satu sisi karena tak banyak saingan. Jangankan mahasiswa UIN Kalijaga dan IKIP Yogyakarta yang menjadi pabrik penulis, mahasiswa ekonomi dari kampus besar macam UGM pun enggak ada yang mau jadi penulis. Jadilah, ia bisa menembus kembali koran Kompas dengan tema sesuai dengan bidang perkuliahannya pada 1996, yakni buruh anak.
Alasan lain dari produktifnya ia menulis lantaran alasan eksistensial. Ya, ia tak punya teman, tak punya apa. Satu-satunya cara untuk menyampaikan gagasannya adalah lewat praktik menulis. Apalagi, ia sudah merasakan menulis bisa membantunya “memberantas” kemiskinan mahasiswa.
“Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, cukup lima artikel. Itu lebih dari cukup. Bayangkan, tahun 1993 honor artikel koran Bernas 50 ribu dan bisa diambil langsung ke redaksi setelah dua hari pemuatan. Koran KR lebih besar lagi, 75 ribu untuk opini. Favorit tentu saja kelompok Kompas seperti Bisnis Indonesia yang memberi honor tinggi sampai 500 ribu. Padahal, sehari makan, 300 rupiah. Mewah banget, ‘kan. Ongkos bus pun hanya Rp100,” kisahnya.
Dengan keyakinan meluap-luap dalam menulis itu ia mendirikan Media Pressindo pada 22 Oktober 1998 bersama dua sahabatnya, yakni Danuri dan Zainal Arifin. Ipin menjadi direktur produksi, sementara Danuri pemasaran. Ia mengurus keredaksian.
Buku pertama yang diterbitkan Medpress adalah Supersemar Kudeta Soeharto. Lalu, disusul buku-buku soal Soeharto. Buku-buku tipis itu dititipkan di kios-kios koran.
Di tahun pertama, Medpress kena ujian. Di tahun pertama itu, pengeluaran lebih besar dari pemasukan. Karyawan 11 orang itu mesti disanguni. Danuri dan Ipin bukannya malas bekerja, namun ilmu mereka ilmu ujug-ujug. Ipin dari Sastra Indonesia UGM angkatan 88, Danuri berasal dari Sastra Jawa angkatan 91.
Hasilnya bisa ditebak: modyar. Bayangkan, buku diitip barang ke kios koran. Saat waktu menagih tiba, kios koran itu lenyap.
Di bidang produksi, Ipin tak kalah absurdnya. “Enggak tahu ongkos produksi. Hanya dikali dua. Iya, mampus. Supersemar dijual 8 ribu, ongkos produksi 4 ribu. Sementara itu, Mbak Afni di Social Agency minta 30%. Ya, amblas,” ceritanya.
Prinsip Medpress: bikin dulu, krisis kemudian. Goyah di buku sebetulnya sudah didahului ketika triumvirat ini berdagang kerupuk.
“Suatu saat itu kami menyadari bahwa kami ini miskin. Miskin ilmu, miskin uang,” kata sosok yang berani terjun ke buku karena terinspirasi dari cerita sukses Pustaka Pelajar, Bentang Budaya, dan Mizan. “Kapan, ya, kek mereka?” lanjutnya.
Yang dimaksud “kek mereka” itu seperti gaya hidup Direktur Bentang Buldanul Khuri yang ia temui untuk minta bantuan buku. Sang patriarkh van Kotagede itu duduk di kursi kayu dengan kaki kanan naik, sementata tangan kanan mengepit rokok.
Tibalah tahun 2003, saat masa depan menuju kesuraman. Ia pun mulai berpikir, kok kerja tanpa hitungan. Sederhana cara berhitungnya, tuturnya. BEP dihitung secara cermat dan kemudian diterjemahkan dalam jumlah eksemplar buku. “Dulu, asal saja. Kini, ketemu,” yakinnya.
Ia lolos dari malapetaka buku 2004. Buldan yang ia puja, tersungkur. “Saya cepat sadar untuk tak sepenuhnya main di uang palsu BG itu. Separuh main di konsinyasi. Stok konsinyasi mesti cukup,” jelas sosok yang mengidolakan Putu Wijaya, John Grisham, dan Arswendo ini.
Pada akhirnya, setelah menempuh krisis demi krisis, ia lalu sadar kebangkrutan itu mestilah jadi teman, bangkrut itu menjadi hobi. Bangkrut itu bukan aib. Jika pun bangkrut di buku, ia masih punya modal yang terus melekat pada proses hidupnya: penulis.
Teman yang keren ini bernama Indra Ismawan.
#TemankuOrangBukuKeren