Anak Buah Perang di Nol Kilometer Jogja, Soeharto Mamam Soto di Klithikan

Ini hari adalah HUT TNI ke-73. Pertambahan usia TNI satu garis lurus dengan usia Republik Indonesia. Tapi, tentara di 5 Oktober 1945 inilah yang kita warisi wataknya saat ini. Mari kita seret ke pojokan sejarah dengan sedikit mundur ke 1 Oktober dini hari.

Oh, tentu bukan soal nobar bareng Pak Gatot Nurmantyo yang malah ketahuan sempat ketiduran waktu nonton itu, tapi nge-zoom in bagian saat Dul Latief terlibat serius dalam rapat-rapat jelang penculikan para jenderal di Lubang Buaya.

Tahu siapa Pak Latief dalam sejarah TNI versi “tentara pedagang”?

Dia anak buah Pak Soeharto yang di bagian kedua film monumental itu keluar sebagai pemenang segalanya. Drama keduanya yang ciamik tergambar pada adegan Serangan Umum 1 Maret 1949.

Tentu saja, adegan ini nggak akan Anda temukan dalam film Janur Kuning (1979) yang berstatus kuning itu. Juga, Anda tak membacanya di komik Merebut Kota Perjuangan (1983) bikinan Hasmi, Wid N.S., dkk. yang dikerjakan secara serius oleh permintaan utusan pemerintah yang ternyata secara tak terduga rupanya berstatus gretongan dan matur tengkiu itu.

Adegan yang ada di halaman 95 sampai 96 buku Pak Latief berjudul Pledoi Kol. A. Latief: Soeharto Terlibat G30S (1995) itu ringkasannya terdapat dalam buku bikinan Harsutedjo G30S Sejarah yang Digelapkan: Tangan Berdarah CIA dan Rejim Suharto (2003).

Alkisah, pada 1 Maret 1949, pasukan Latief mendapat perintah dari Komandan Wehrkreisse Letkol Soeharto untuk menyerang dan menduduki sepanjang Jalan Malioboro, mulai dari Stasiun Tugu sampai Pasar Besar dekat Istana Yogyakarta. Hasil serangan ini, 50 lebih pasukan pemuda-pemuda gerilya kota gugur ditembak tentara Belanda.

Lalu, di mana Pak Soeharto saat kejadian? Kesaksian Pak Latief:

“Setelah dapat keluar kota, di Desa Kuncen kira-kira antara jam 12.00 siang bertemulah saya dengan Komandan Wehrkreisse Letkol Soeharto, yang menempati markas saya di Desa Kuncen itu. Pada waktu itu, beliau sedang beristirahat menikmati makan soto babat.”

Nah, di kalangan orang-orang kiri seperti Subandrio, “soto babat” ini jadi olok-olok dan sekaligus kunci betapa peran Pak Soeharto di Serangan Umum 1 Maret itu nggak banget. Bahkan, sisa pasukan Pesindo yang dipukul di Madiun juga turut menunjukkan militansinya di palagan enam jam itu.

Namun, Serangan Umum 1 Maret itu dibersihkan dari semua anasir lain karena ia dijadikan postur moral baru bagaimana seyogianya tentara pasca-Sudirman itu harus dilihat.

Watak rakyat? Bukan! Pedagang! Dalam dunia dagang, moral yang berlaku enggak ada teman. Yang menguntungkan ambil, yang enggak menguntungkan, ya, jorokin. Kok jorok? Emang jorok.

Termasuk dendam Pak Soeharto dengan Pak Yani yang “disayang” Pak Karno itu. Ketahuan berbisnis ilegal dalam impor beras dengan Bob Hasan dan Liem Sioe Liong di Jawa Tengah, Yani menampar si doi.

Memalukan korps, kata Yani. Apalagi, rakyat Jawa Tengah lagi gagal panen karena semen. Nah, yang turut mengadili korupsi si jenderal pedagang ini, ya, nama-nama dibunuh pada 1 Oktober 1965 yang versi layar lebarnya ditonton dengan terkantuk-kantuk oleh Pak Gatot di halaman luar Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Karena wataknya memang berdagang dan enggak becus dalam berperang di gelanggang sesungguhnya, jenderal-jenderal ini punya privilese untuk berkongsi dengan pengusaha.

Status mereka yang sukses menyelamatkan negara dari nasionalisme Pak Karno yang keblinger karena dipagari PKI dan PNI versi militan pada 1965, berbuah manis dengan mendapatkan kedudukan sosial yang tinggi dibandingkan kelompok mana pun.

Watak “soto babat” yang ditanamkan Pak Soeharto soal berbisnis—ilegal pun enggak apa-apa—yang membikin dada kita lega dan tidak terlalu deg-degan membaca ulang laporan KontraS pada 2004 yang bertajuk sangar: Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga, Laporan Penelitian Keterlibatan Militer dalam Bisnis di Bojonegoro, Boven Digoel, dan Poso.

Aduhai, mama en papa, penelitian yang dipimpin M. Najib Azca dengan antara lain beranggotakan Haris Azhar itu membeberkan dengan sangat detail bagaimana para jenderal ini menempel di perusahaan-perusahaan. Kadang rapi, kadang juga urakan.

Di Boven Digoel, misalnya, tentara berbisnis dua kaki: bisnis hasil alam dan bisnis keamanan.

Jamak kita tahu, tentara di perbatasan tugasnya mengamankan kedaulatan wilayah negara. Tapi, dalam praktiknya malah bertindak sebagai penadah barang-barang ilegal yang masuk dari Papua Nugini ke RI.

Anggota Linud 733 dan anggota Kopassus, begitu KontraS melaporkan, dari pagi hingga malam menunggu di tugu perbatasan RI-PNG di Sota untuk merampas, menindak, dan membeli tanduk rusa, dada kura-kura, dan kulit kangguru dengan harga di bawah standar.

Di Poso, bisnis ilegal tentara adalah kayu hitam. Truk-truk TNI kerap dimobilisasi masuk hutan untuk menjemput kayu hitam. Karena geramnya melihat aksi patriotik dan buka-bukaan begitu, Radar Sulteng memuat SMS warga yang isinya:

“Untuk Dandim Poso, untuk ke sekian kalinya tolong dihentikan/ditertibkan truk-truk TNI yang lagi marak mengangkut dan sebagai pemasok kayu-kayu ilegal di Kabupaten Poso atau apakah bapak sebagai bekingnya?”

Kelakuan itu terbawa-bawa hingga menjadi purnawirawan. Betapa jengkelnya Danramil Kalitidu di Bojonegoro atas kelakuan jenderal militer dan polisi di Jakarta berbisnis dengan perusahaan sumur minyak Cepusehingga keluar umpatan ini di hadapan peneliti KontraS:

“Tidak ada itu bisnis militer di daerah sini, yang ada adalah jenderal-jenderal Jakarta yang selalu mendatangi daerah sini, coba kamu ungkap itu jenderal-jenderal Jakarta. Saya juga capek ngurusi mereka.”

Nah, jangan heran, jika hari ini terjadi konfrontasi perebutan lahan yang melibatkan perusahaan besar, kita tahu ke mana para pemegang bedil itu berpihak. Ke rakyat yang namanya dipakai saat organisasi tentara ini masih bernama Tentara Keamanan Rakyat (TKR)?

Selamat ulang tahun, Pak dan Bu Tentara. Negara cincin api selalu membutuhkan kehadiranmu. Rakyat di sabuk bencana ini selalu merindukan kecekatanmu. Manunggaling dengan rakyat dalam air mata dan penderitaan sebagaimana diamanatkan Bapak Dirman sehabis dilantik jadi Panglima TKR pada 18 Desember 1945:

“Hendaknya perjuangan kita harus didasarkan atas kesucian, dengan demikian perjuangan kita selalu merupakan perjuangan antara jahat melawan suci, dan kami percaya, bahwa perjuangan suci itu senantiasa mendapatkan pertolongan dari Tuhan.”

Nah, kan, harus suci. Suci dalam pikiran dan tindakan. Sebab, saat tentara dalam kondisi bersuci saja yang bisa menghalau para penadah dada kura-kura, kacung konglomerat yang memeras rakyat, dan penyelundup kayu hitam ilegal.

Hanya saat suci saja status tentara bukan hanya bersama rakyat menjaga martabat negara, tapi juga insya Allah ditolong Tuhan.

Petuah Pak Dirman itu tertempel dengan huruf kapital semua di teras depan Museum Panglima Besar Jenderal Soedirman di Jalan Bintaran Yogyakarta. Museum itu hanya seteriakan jaraknya dari Asrama Putra Sulawesi Tengah di Jogja yang jadi posko gempa dan tsunami Palu-Donggala-Sigi.

Ayolah, yang enggak baik yang dicontohkan Pak Soeharto dalam membangun karakter tentara sebaiknya dibuang jauh-jauh dari barak.

Umat sepak bola sudah merasakan begitu laranya saat tentara macam Pak Edy dan Pak Gatot ikut mazhab Pak Soeharto: berdagang dalam olahraga.

Cukup sampai di Edy-Gatot saja dan kembali segera ke khittah 1945 Pak Dirman; tentara yang dekat kepada rakyat yang tercekat derita bertubi-tubi dan tentu saja menjadi tentara kekasih Tuhan yang rajin ikut Maiyahan.

Mari bersuci dalam pikiran dan tindakan. Mumpung ini 5 Oktober. Jangan lupa, kalau mamam soto babat, ajak-ajak anak buah.***

Pertama kali dipublikasikan situs web mojok.co, 5 Oktober 2018