Kali ketiga saya luput dalam “TKP” bencana yang terhubung langsung dengan daerah penting di mana saya tinggal. Saya tinggal di Bantul (DIJ), memiliki keluarga dari pihak istri di Kediri (Jatim), dan lahir di Donggala (Sulteng).
Saat gempa Bantul meluluhlantakkan kota pada 26 Mei 2006 dengan menerbangkan 6.000 jiwa, saya sedang berada di Gambir, Jakarta. Sementara itu, istri saya menunggu persalinan anak kedua di Kayen Kidul, Kediri.
Kala Kelud menghujani seantero Kediri dan kota-kota lain di arah barat hingga bermil-mil jauhnya dengan batu dan debu pada 14 Februari 2014, saya bersama keluarga justru sedang berada di Bantul. Saya mengikuti informasi Kediri dari ponsel keluarga.
Kini, ketika gempa Donggala, lebih tepatnya gempa Sirenja, menghancurkan kehidupan di pesisir pantai barat Donggala, Sigi Biromaru, dan Kota Palu pada 28 September 2018, saya tengah berada di Jogjakarta. Padahal, empat hari sebelumnya, saya dan keluarga masih mandi di karang serta berperahu dan memancing di malam hari. Sepekan sebelumnya, pantai Sirenja “cukup ramah” untuk bersenang-senang memburu kerang di balik-balik batu saat laut surut, kala matahari tegak lurus dengan langit. Kala rembang turun, senja Sirenja begitu indah disaksikan dari gigir pantai
Kedatangan saya ke Donggala kali ini memang spesial. Selain menjemput ibu saya yang baru menunaikan ibadah haji, kepulangan ini sekaligus mengantar ayah saya, Ambo Dahlan, pulang dari liburannya ke Jogja sesudah menyaksikan pertandingan sepak bola langsung dari Maguwoharjo International Stadium di Sleman.
Baginya, liburan ke Jogja medio September lalu itu sangat istimewa sebagai pecandu sepak bola. Sebab, baru kali pertama menyaksikan langsung sepak bola dimainkan dalam stadion besar dengan penonton yang berjubel.
Ketika tiba waktunya kami kembali ke Bantul, keluarga berkumpul semua di Desa Tondo, Sirenja. Ambo Dahlan tercekat. Mama Zainab yang tak ada lelahnya memutuskan mengantarkan kami hingga ke Bandara Mutiara Sis Al Jufri, Palu. Begitu pula tetangga dan keluarga-keluarga terdekat, mengantar oleh-oleh khas desa sebagai pengikat persaudaraan. Mulai rono ngau (ikan teri) hingga dodoro (dodol). Malam sebelum meninggalkan Donggala, saya dan istri berangkat ke pasar di Desa Lende. Di Sirenja, setiap desa mendapatkan bagian pasar berdasarkan hari. Nah, hari Minggu adalah pasar Lende. Desa ini kemudian masyarakat seantero Indonesia tahu salah satu desa paling remuk di pesisir pantai barat.
Satu-satunya pertanda bahwa malapetaka 28 September itu begitu dekat adalah saat keluarga di Sirenja ini, terutama ayah saya, Ambo Dahlan, tiba-tiba mengisahkan kembali soal gempa Bantul yang tak pernah saya dengar sebelumnya selama satu dekade. Ketika banjir-gambar Bantul mengerikan memenuhi layar televisi, satu-satunya yang ada dalam benak mereka adalah nasib saya dan istri di Bantul. Tiga minggu peristiwa berlalu, berbagai cara dilakukan untuk terhubung dengan kabar dari Bantul. Nihil.
Hingga kakak saya teringat pada selembar surat undangan pernikahan pada 2002. Di surat undangan itu tertera alamat rumah di Kediri. Menulis surat, dikirim, dan dibalas kembali membutuhkan waktu tiga pekan. Sebulan lebih kehilangan informasi keluarga adalah kisah yang tak pernah bisa mereka lupakan. Saat bencana terjadi, di mana pun, perkabaran itu ternyata begitu genting dan menerbitkan waswas bagi keluarga dan handai tolan.
Dua pekan sebelum kepulangan saya dari Donggala, cerita yang sudah saya dengar puluhan tahun lampau tiba-tiba diputar ulang Ambo Dahlan. Ia berkisah tentang gempa Tambu pada 14 Agustus 1968 yang mengirimkan bambatalu (gelombang tiga) dini hari.
Air laut itu menerjang pesisir pantai barat dengan tinggi gelombang -dalam bahasa Kaili ayah saya- “eva nggaluku tinggina” (setinggi kelapa). Saat gempa Tambu yang berada di Kecamatan Balaesang menapis dan menciptakan gelombang besar, ia mendapatkan dirinya terdampar di persawahan di Desa Rerang, Kecamatan Dampelas. Sekitar 30 kilometer sebelah utara Tambu.
Dalam memori keluarga saya, hanya gempa Tambu yang terus-menerus diwariskan sebagai sebuah cerita bencana paling dekat. Lain tidak. Tambu hanya berjarak 25 kilometer dari Sirenja yang kemudian menjadi episentrum yang membawa kehancuran hingga Kota Palu dan Sigi Biromaru.
Setengah abad kemudian, cerita itu betul-betul datang kembali. Ambo Dahlan dan orang-orang tua “didikan” gempa Tambu seperti dibangunkan sebuah peristiwa kelam dini hari yang pernah mereka saksikan dan alami.
Kali ini pusat lindu itu “naik” ke Sirenja. Bukan dini hari seperti di Tambu, tapi ia datang ketika senja sedang rebah di Sirenja. Tepatnya, di bawah bumi Lende dan Lendetovea, dua desa di ujung utara Kecamatan Sirenja.
“Ada air besar lewat.” Begitu kesaksian Hijrah, tetangga saya yang rumahnya hanya tiga langkah dari tepian air laut, dalam sebuah video pendek di pengungsian Dusun Sao, Desa Tondo, Sirenja.
Mereka tak menyebut tsunami, tapi “air laut naik”. Di beberapa desa, air laut memang naik hingga membasahi jalan trans-Sulawesi setelah 10 menit gempa menggoyang sebagian besar daratan Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat.
Bagi masyarakat tepian air, setiap lingu (lindu atau gempa) pastilah diikuti bambatalu (air laut naik). Itu prosedur sosialnya. Tanpa harus menunggu dan melihat air laut surut, semuanya berlarian menuju titik tertinggi dan terjauh yang bisa diraih.
Tanpa harus ada plang petunjuk “Jalur Evakuasi” atau sirene panjang alat pendeteksi gelombang tsunami yang luar biasa mahal harganya itu. Semua infrastruktur seperti itu tak ada di desa. Konon, di kota-kota pantai dengan kehidupan paling modern juga tak ada atau rusak atau tak punya dampak sebagai pengingat untuk mawas.
Tanpa adanya pendidikan mitigasi dan literasi bencana di sekolah-sekolah, orang-orang desa di pesisir pantai barat itu sadar betul lidah terakhir laut yang pecah di pantai yang hanya seteriakan kecil jauhnya dari rumah mereka. Artinya, gempa adalah sirene paling sahih peringatan tsunami untuk segera berlari sejauh-jauhnya. Ada atau tak terjadi bambatalu.
Tinggal di pesisir atau di perbukitan, dalam konteks Sulawesi yang dilewati sesar-sesar yang mematikan, tak ada bedanya. Yang menjadi pembeda adalah bisakah kita beradaptasi hidup dalam cincin api. Di semua daerah di mana saya hidup dan tinggal; Bantul (DIJ), Kediri (Jatim), dan Donggala (Sulteng); saya menyaksikan dari jauh bagaimana cincin api itu bekerja dengan daya rusak sangat mengerikan. Namun, kerusakan itu berkali-kali terornya bagi gaya hidup yang tak siap berayun dan menari bersama bumi dengan segala persoalan geologisnya.
* Dipublikasikan pertama kali di Harian Jawa Pos, Minggu, 9 Oktober 2018, Hlm 1.