JUNAEDI: Ia Berangkat di Musim Senjakala Koran

Memburu Tabloid BOLA di pekan terakhir di seantero Kota Jogja mengantarkan saya kembali ke kios koran di Jl. Gading, Patehan Wetan, Alun-Alun Kidul Keraton,Yogyakarta.

“Eh, lama enggak ke sini. Pak Jun sudah enggak ada,” ujar Bu Sumiyati dengan senyum tercekat.

Lama saya terdiam, tapi sesungguhnya tak kaget. Sebab, sejak tiga tahun silam saat saya menuliskan kiprah Pak Jun di belantika loper koran Yogya, sesungguhnya ia sudah sangat kelelahan.

“Tanggal 14 September 2018, jam 10 pagi di RSUD Wirosaban,” lanjut Bu Sum.

Saya ingat, hari ketika Pak Jun berpulang, saya dalam perjalanan ke Donggala bersama keluarga.

Ya, ya, Pak Jun berangkat saat koran-koran cetak berguguran satu demi satu. Memburu BOLA yang juga menuju titik bekunya, saya bertemu kabar terakhir Pak Jun sang loper koran yang setia.

Catatan saya tiga tahun silam di bawah ini adalah kiprah Pak Jun di belantika loper koran Yogya.

—-

”Jaga baik-baik kesehatan, mas gusmuh. Lihat saya ini habis betul dimakan gula,” kata Pak Junaedi di suatu hari Minggu saat saya mengambil koran minggu di kios tuanya, Diah Agency, Plengkung Gading, Alun-Alun Selatan Yogyakarta.

Longsornya tenaga Pak Jun terlihat dari wajahnya yang pucat. Kulitnya yang keriput dengan daging yang kian menipis. Sadar dengan kekuatan diri dan rapuhnya penyangga diri, kios koran yang dibangunnya sejak medio 70-an itu mesti tutup sore. Biasanya buka hingga pukul 9 malam.

“Saya sudah payah. Dulu biasa bangun pukul 3 untuk jemput koran di agen. Sekarang susah betul. Badan ini,” keluh Pak Jun terengah.

Seperti tubuhnya, kios korannya juga sebetulnya menuju titik amblas. Pelanggan koran/majalah cetak makin hari makin berkurang. Yang membeli eceran juga angkanya tak lagi signifikan.

Kios koran itu terletak di pojok perempatan dalam Jl Gading, Kampung Patehan Yogyakarta. Ini adalah segelintir jalan terpendek di Yogyakarta. Lebih kurang panjang ruasnya 97 meter. Di pojok jalan inilah Diah Agency berdiri.

Kios dari tripleks itu sudah berdiri sejak tahun 70-an. Dan nyaris tanpa istirahat, Pak Jun berangkat “ngantor” ke tempat ini. Kadang ia naik motor, kadang pula bersepeda. Jarak dari rumahnya di Kampung Ngadisuryan, Patehan, memang dekat; hanya seraungan raja motor saat dikebut dengan hebat.

Jam kantor Pak Jun adalah subuh hingga pukul 8. Ia harus memastikan bahwa belasan koran sudah harus ada di kios. Shift berikutnya digantikan oleh istri maupun putrinya. Dan, jika cucunya pulang sekolah, si cucu itulah yang berjaga sambil memegang gajet atau sambil nonton sinetron.

Bukan hanya menyediakan koran nasional (Jakarta), kios Diah Agency juga menampung koran dari Bandung, Semarang, Solo. Tentu saja koran yang terbit di Jogja. Tabloid dari macam-macam kota tersedia pula. Majalah juga, mulai dari Misteri hingga Suara Muhammadiyah, dari Tempo hingga Djoko Lodang.

Koran KR dan Kompas menjadi primadona yang tak tergantikan di kios ini. Yang paling “menekan” saat ini, kata Pak Jun, adalah agen tabloid/koran/majalah terbitan KKG yang mesti bayar putus jika Diah Agency ingin dapat jatah. Alhasil, untuk memberi “kepastian” barang bacaan kepada beberapa gelintir pelanggannya, Pak Jun mesti mengikuti aturan main “bayar di muka”. Dan hanya mereka yang bermodal besar yang bisa tenang dengan kondisi “bayar di muka” seperti ini. Mungkin KKG tak ingin ditipu agen-agen nakal yang membawa lari uang koran/majalah/tabloid mereka.

Dan Pak Jun bukan agen penipu. Ia, apa boleh bikin, memang ikut aturan. Tapi jatah eksemplar dikuranginya. Yang penting koran/majalah/tabloid itu ada di gantungan.

Beberapa koran yang tak laku mesti turun ke lantai. Bertumpuk-tumpuk. Termasuk Jawa Pos, Pikiran Rakyat, Minggu Pagi. Jika ada kelebihan uang, saya kerap mengambil tumpukan itu dengan harga seperti para pengepul kertas menghargainya.

Tapi tidak dengan koran minggu. Sejak 2011, Warung Arsip memilih menjadi langganan tetap Pak Jun untuk memastikan stok koran minggu tetap tersedia. Jika saya tak sempat mengambil, koran-koran itu sudah diikat dan disimpan dalam plastik beserta nota tagihan. Sejak web newseumindonesia.co hadir, saya menambah jatah berlangganan headline. Maksudnya jika ada peristiwa besar yang menjadi halaman muka seluruh koran, Pak Jun saya minta memberitahu. Dalam hal ini termasuk koran atau majalah yang terbit secara khusus.

“Orang yang berlangganan secara borongan banyak koran dan hanya pada hari-hari tertentu selain IBOEKOE (warungarsip), siapa lagi Pak Jun?” tanya saya.

“Oh ada. Hanya satu. Komunitas Kaki Langit. Itu lho, komunitas pengisi TTS. Mereka mengerjakan TTS di banyak koran itu secara gotong-royong. Saya beberapa kali ikut,” jelas Pak Jun.

Saya hanya nyengir. Bahwa saya keliru besar bahwa teman hobi IBOEKOE/warungarsip bukanlah penghuni Keraton Yogya,melainkan Komunitas TTS dengan nama sangar seperti dalam dunia kependekaran.

Di mata Pak Jun, dua komunitas langganannya ini adalah dua sahabatnya yang masih gembira menerima kultur 20 di era ketika informasi disiram dengan sangat deras dari tabung raksasa bernama internet.

Kegembiraan ini ditunjukannya saat mengantar 10 eksemplar koran edisi 70 Tahun KR ke tempat baru warungarsip, Sewon, Bantul. Jarak yang mesti ditempuh Pak Jun sekira 8 kilo ke arah selatan. Sayang sekali, saat Pak Jun datang jelang Isya itu warung kopi belum dibuka.

“Tak apa. Lain kali saja. Ingin sekali mencicipi kopi Bintang Mataram,” katanya.

Demikianlah, jika kamu menemui koran-koran minggu satu dekade setelah abad ini berlari ada di warungarsip, ingat-ingatlah bahwa koran-koran itu berasal dari kios Diah Agency, kios sederhana dari mana kita melihat salah satu kultur abad 20 menunggu nasibnya dicekik oleh sejarah.

Sebagaimana ritual di Minggu Pagi, saya dengan mengayuh kendaraan dinas kembali menjemput koran di pekan terakhir November Hujan di tahun 2015; saat bunga-bunga bermekaran dan bunga-bunga “diserbu anjing-anjing dari kuburan” di Pathuk, Gunungkidul. Tetapi, ada yang aneh di kios itu. Koran-koran tak lengkap. Republika dan Jawa Pos Minggu tak ada. Mungkin tak ada tenaga yang menjemputnya. Suara Mbak Lastri, salah satu puteri Pak Jun, yang sedang berjaga juga sumbang.

“Bapak opname di RS Wirosaban. Sudah tiga hari. Liver. Sudah parah. Susah dibujuk ke rumah sakit. Padahal sudah BPJS,” tutur Mbak Lastri.

Saya ingat lagi kondisi tubuh Pak Jun yang dayanya merosot tajam di bulan Oktober; saat ia berjanji mencarikan tulisan feature halaman depan Pikiran Rakyat (Bandung) tentang Frankfurt Book Fair.

Sehat lagi ya Pak, walaupun dunia media cetak warisan abad 20 juga tengah sakit, sesakit-sakitnya.***