Pers di Patahan Api dan Air Raya Bencana

Kalimat itu saya modifikasi seperlunya dari pernyataan Ahmad Arif di pengujung 2012 saat Tim Ekspedisi Kompas meluncurkan buku Hidup Mati di Negeri Cincin Api. Nama Ahmad Arif melekat pada “cincin api” ini lantaran dia adalah jurnalis yang memimpin ekspedisi panjang melintasi trek berapi Indonesia, Dari September 2011 hingga Oktober 2012.

Ini buku pertama karya jurnalistik paling komprehensif yang membentangkan horison begitu rentannya hidup di atas tanah Indonesia.

Karya ini berpotensi menjadi buku abadi yang merekam secara detail, bukan saja kronik kejadian bencana, namun juga relasi-relasi sosial budaya manusia yang bertumbukan di dalamnya.

“Ekspedisi cincin api adalah beyond journalism,” tulis Taufik Rahzen di Harian Kompas di hari yang sama buku ini diluncurkan di Bentara Budaya Jakarta.

Pada Cincin Api kita tak hanya becermin tentang hidup dan mati, namun meniscayakan bagaimana pers berada di tengah masyarakat. Pers adalah mercusuar yang membimbing masyarakat ihwal mitigasi bencana mengurangi risiko jatuhnya korban.

Pers juga mestinya pihak yang tak bosan-bosannya menurunkan berbagai laporan potensi bencana dari sumber-sumber ilmiah dengan cara yang elegan dan menarik. Pers tak berpretensi menghakimi “pikiran” tertentu yang melihat bencana tidak sebagai fenomena alam, melainkan moralitas tertentu. Pers merangkul dan tak kenal lelah menjadi jembatan yang hangat antara kepercayaan agama dan penjelasan ilmu pengetahuan.

Muaranya adalah makin kurangnya korban saat bencana tiba. Yang lebih penting lagi, seluruh lapisan masyarakat, terutama sekali penyelenggara negara, menempatkan alam dan lingkungan di tempat paling terhormat.

Dumber Gambar: @elijahsad