[100 Konser] Historiografi Konser dalam Kontestasi Genre Musik di Indonesia

Konser musik tidak bisa dimaknai sebagai aktivitas menikmati estetika suara semata. Sebab, musik bukan layaknya seni dekoratif yang hanya bisa dipajang dan selesai setelah dikagumi. Lebih dari itu, musik hadir sebagai ekstase pengalaman emosi manusia. Dalam perkembangannya, musik bahkan menjadi ruang tafsir sosial; menjadi medium refleksi bagi realitas masyarakat dan keadaan lingkungan.

Dunia musik tidak bisa dilepaskan dari konser. Meski pada dasarnya konser musik tidak melulu tentang keramaian dan hitung-hitungan untung-rugi dari penjualan tiket atau perusahaan rekaman. Banyak elemen yang terlibat di sana; seperti musisi dan penonton; pedagang asongan hingga pejabat pemerintahan.

Buku 100 Konser Musik di Indonesia yang ditulis Anas Syahrul Alimi dan Muhidin M. Dahlan mendedah seratus konser musik (penting) di Indonesia. Sebab, konser musik di Indonesia telah melewati jalan yang panjang. Dari konser sederhana Wage Rudolf Soepratman yang mengusung persatuan melalui lagu “Indonesia Raya” dan membangun spirit nasionalisme, hingga konser-konser musik terkini seperti: Jazz Goes to Campus 40 (JGTC) yang digadang-gadang sebagai sumur awal penyelenggaraan festival musik jazz di Indonesia. Dalam penyampaiannya, buku ini mendokumentasikan konser musik secara runtut: sejak tahun 1928 sampai rentang 2010-2019.

Selain itu, buku bersampul putih memberi sudut pandang berbeda dalam mengulas jejak sejarah konser musik. Hal ini berkaitan dengan realitas dalam konser musik itu sendiri yang juga memiliki pelbagai tujuan, mulai dari sekadar pesta perayaan, peluncuran album hingga kampanye partai politik. Karena memang, konser musik digunakan sebagai medium alternatif yang membangun luapan emosi kolektif bagi para penikmatnya—sebagai budaya pop sekaligus peran perlawanan. Bahkan dalam beberapa kesempatan, konser musik bersifat populis dan lekat dengan identitas masyarakat.

Dimensi yang beragam tersebut disampaikan dalam buku 100 Konser Musik di Indonesia, ditunjang dengan penulisannya yang dilandasi riset dan pelacakan sejarah yang cukup ekstensif. Kiranya buku ini merupakan kombinasi yang apik. Seorang esais sekaligus arsiparis Muhidin M. Dahlan berkolaborasi dengan Anas Syahrul Alami yang notabene praktisi budaya pop dan pebisnis bidang seni. Sehingga, buku ini tidak sekadar menceritakan ulang peristiwa konser. Tetapi menampilkan juga unsur-unusr pendukung seperti aspek sosial, historis, dan politik di baliknya.

Dangdut

Barangakali, cita rasa musik selalu menandai suatu peristiwa atau zaman. Sehingga, acap kali pagelaran musik masuk dalam kondisi kemasyarakatan bahkan sampai ditingkat yang paling sensitif. Salah satunya terjadi dalam musik rock dan punk. Budaya bohemian dalam genre tersebut membuat lebih leluasanya musisi dalam menyampaikan kritik. Mungkin, banyak dari kita akrab dengan band seperti The Beatles dan Bad Religion. Melalui lirik lagu mereka tak jarang memicu gerakan sosial yang besar—terlepas dari dikotomi dalam musik itu sendiri—sehingga, terkadang sampai menggoncang tatanan masyarakat, agama, hingga politik pemerintahan.

Begitu pula yang terjadi dalam konser-konser musik di Indonesia. Tidak jarang beberapa musisi menempatkan diri seperti halnya aktivis sosial; terlibat dan melontarkan kritik melalui lagu-lagu yang menggetarkan. Tetapi, hal tersebut tidak semata ditemui dalam musik rock, punk atau musik yang pada dasarnya keras dan bernada “memberontak”.

Dalam dunia dangdut pun senada. Sebagai genre yang paling merakyat, dangdut dapat dinikmati oleh segala kalangan—tidak seperti jazz atau musik klasik. Selain itu, dangdut tak hanya meriah di panggung konser dalam beberapa kesempatan dangdut menahbiskan dirinya sebagai kompas dalam dunia perpolitikan.

Dalam bab “Dangdut Politik Sang Raja” buku ini secara khusus mengisahkan keberpihakan politik Rhoma Irama dalam tur musik di sepuluh kota di Jawa Timur. Selain lagu bertema agama dan cinta, lagu yang di dendangkan Rhoma tidak jarang berisi sidiran halus dan kritik sosial terhadap pemerintah.

Salah satunya dalam lagu “Judi” dan “Sumbangan”. Dua lagu tersebut merupakan sebuah kritik terhadap kebijakan pemerintah yang pada saat itu menerapkan program Tanda Sumbangan Sosial Berhadiah (TSSB), yang kemudian beralih menjadi Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) yang menurut Rhoma merupakan bentuk judi gaya baru.

Musisi yang lahir pada tanggal 11 September 1946 ini, menganggap kebijakan tersebut dapat merusak mental masyarakat. Menurutnya, mudarat dari kebijakan TSSB dan SDSB lebih besar dari pada manfaatnya. Bagi Bang Haji, jika mental masyarakat telah rusak, akan sangat sulit diperbaiki. Hal ini rekat karena pada dasarnya Rhoma yang berhaluan agamis. Selain karena memang di sisi lain ia dikenal dengan dua kata: nada dan dakwah. Maka, tak mengherankan jika sikap Rhoma merupakan saringan dari moral-moral agama.

Meski sempat dicekal selama satu dekade tak membuatnya kapok bermain musik di pusaran politik (hlm. 144). Bersama grup orkesnya, Rhoma Irama berjihad memperbaiki dangdut agar setara dengan genre pop dan rock. Meski dalam kenyataannya karir politik Rhoma tidak secemerlang karirnya di panggung. Tetapi, berkat dedikasinya dalam “nada dan dakwah” Rhoma mampu mengangkat marwah dangdut dalam kontestasi musik Indonesia. Sampai saat ini Rhoma Irama tetap kritis dengan kondisi sosial dan kebijakan pemerintah—meski tak segarang dahulu—sebab, di politik dan dakwahlah ekosistem karyanya bertahan hidup.

Musik Sebagai Alat

Ketika musik pop menguasai nyaris seluruh industri musik beserta panggung mainstream dunia konser kita saat ini, barangkali, buku ini bisa menjadi alternatif refernsi pengetahuan musik kita. Meskipun, buku setelabal 682 halaman ini tidak cukup mengungkap lengkap fakta-fakta sejarah konser musik Indonesia. Tetapi, paling tidak, buku ini dapat membangkitkan girah kita terhadap pernyataan dan pertanyaan baru perihal musik: ternyata di balik megah redupnya genre, terdapat sejumlah nama yang bekerja keras membangkitkannya.

Seperti yang ditemukan dalam bab “Ujungberung Sebagai Genesis ‘Musik Berisik’”. Secara singkat menceritakan fenomena kemunculan “musik cadas” (underground) sebagai anti-tesis perasaan xenophobia dan konstruk industri musik yang tidak memberi jalan bagi musik ekstrem.

Lebih dari itu, Bandung Berisik sebagi langkah yang membawa nama Ujungberung tidak hanya sekadar kecamatan atau tempat hilangnya Sangkuriang dalam legenda rakyat Jawa Barat. Namun, sebagai tempat berseminya “pemberontakan” musik di seantero Bandung bahkan nasional. Tidak hanya sampai di situ, dalam perkembangannya, Ujungberung berhasil melahirkan band sekaliber Burgerkill yang pada tahun 2013 meraih penghargaan Metal Hammer Golden Gods Awards 2013 di London dalam kategori “Metal As F*ck”.

Ini bukti bahwa di Indonesia tidak saja hanya memiliki budaya yang beragam. Tetapi, juga keberagamaan selera musik. Persaingan antar genre musik ini membawa angin segar sekaligus bukti berkembangnya musik di Indonesia, bahkan dunia.

Selain itu, tidak ragu lagi, runtuhnya pemerintahan Orde Baru membuat ruang ekspresi bermusik kita makin luas, karena tidak ada lagi kritik melalui musik dianggap sebagai gerakan subversif. Maka, musik akan selalu sebagai cermin realitas sosial sekaligus kritik atas kebijakan-kebijakan pemerintah. Dalam arti, musik akan terus memberontak dengan caranya masing-masing.

Dalam pengantar 100 Konser Musik di Indonesia, Anas Syahrul Alimi dan Muhidin M. Dahlan mengatakan, selain buku sebagai bagian dari mengisi kepustakaan pengetahuan pertunjukan musik (di) Indonesia, buku ini juga ikhtiar menjaga asa bermusik dengan bercermin pada kaca sejarah yang pernah ditorehkan.

Resensi ditulis Zaim Yunus. Baca di situs web: Berdikaribook.red, 22 Oktober 2018

Penulis: Anas Syahrul Alimi dan Muhidin M. Dahlan
Penerbit: I:boekoe
Cetakan: I, Agustut 2018
Tebal: 684; 15 x 24 cm
ISBN: 978-979-1436-52-6