BWCF #7: 1500 Tahun Lawatan Suci dan Akademia – Nusantara dari Pintu Depan dan Belakang

“Orang hidup bisa melihat, tetapi dengan perjalanan lebih banyak yang bisa dilihat”

— Ibnu Battuta (1345 M)

Jika kedatangan “orang asing” di Nusantara identik dengan perdagangan, tidak halnya dengan I-Tsing atau Yi Jing satu milenium lebih silam. Ia pelawat yang datang bukan didorong oleh ekspansi, namun ketakjuban pada kultur belajar kepada yang “liyan”, kepada “yang jauh”. Pemuda Cina berusia 32 tahun ini mencatat peziarahan sucinya, belajar bahasa dan menerjemahkan kitab-kitab yang dibawanya, mendokumentasikan teks lokal, dan melihat Nusantara (Shili Foshi) sebagai tanah suci.

Catatan harian I-Tsing itu berjudul Nanhai Jigui Neifa yang sudah diterjemahkan menjadi Kiriman Catatan Praktik Buddha-dharma dari Lautan Selatan. Saat kita melihat Laut Selatan dalam perspektif perebutan wilayah antara beberapa Negara saat ini, diari I-Tsing justru menempatkannya sebagai sesuatu yang lebih sublim, jauh dari hal-hal yang fana.

Diari I-Tsing inilah yang menjadi tonggak penting bagaimana Borobudur Writers and Cultural Festival ke-7 di Boroburur, Magelang, Jawa tengah selama tiga hari, 22-23 November 2018, menarik garis “yang lain” bagaimana kita menempatkan relasi-relasi internasional dalam perspektif kebudayaan. BWCF menghadirkan 100 lebih peserta terpilih dan 60-an pembicara terkemuka di bidangnya dalam simposium, lokakarya, dan seni pertunjukan untuk memotret dari segala macam arah bagaimana para pelawat suci, pengembara, dan akademia itu bertungkus-lumus dalam jiwa dan raga budaya Indonesia.

Di masa kala I-Tsing belajar di Bumi Sriwijaya itulah monumen Budha penting dibikin di Magelang yang kemudian kita kenal dengan Borobudur. Lawatan para pencatat perjalanan yang tekun setelah I-Tsing terus berlangsung.

Pada si traveveller abad 14 Ibnu Battuta dari Maroko, kita menemukan suatu tekad yang besar intelektual dengan keahlian fikih berusia 40-an tahun mengelilingi dunia dan “menemukan” Indonesia via Samudra Pasai di Sumatra yang kemudian namanya berada dalam pusaran “sejarah penyebaran Islam di Nusantara”.

Lalu, satu abad kemudian kita berjumpa dengan dokumentator ekspedisi Cheng Ho bernama Ma Huan. Diari Ma Huan berjudul Yingya Shenglan (1416) serupa jurnal besar antropolog menggambarkan secara detail negara-negara yang hidup di pesisir, seperti Negara Jawa, Negara Palembang, Negara Aru, dan seterusnya.

Baca catatan subbab “Negara Jawa” dari Yingya Shenglan yang ditampilkan Direktur Cheng Ho Cultural Museum, Malaka, Tan Ta Sen, yang pada BWCF 2018 mendapatkan penghargaan tertinggi Sang Hyang Kamahayanikan Award: “Negara Jawa sebelumnya dikenal dengan nama Ja-pa memiliki empat kota yang semuanya tidak memiliki tembok. Kapal-kapal dari negara lain pertama-tama akan merapat di sebuah tempat bernama Tuban, tidak jauh dari Cecun (Gresik). Selanjutnya mereka menuju Surabaya dan akhirnya berlabuh di Majapahit (Moa-cia-pa-i)”.

Tidak ingin menanggapi jurnal Ma Huan, sejarawan Peter Carey tampil memukau dalam Ceramah Umum dengan tema yang tak biasa, hubungan “teks rahasia” Raffles, Majapahit, dan tentu saj Borobudur. Bayangkan saja, entri Majapahit tidak masuk dalam babad modern kolonial yang menjadi proyek budaya Thomas Stamford Raffles yang masyhur itu, The History of Java (1817). Padahal, pada 22 Agustus 1815, ia mengunjungi Trowulan. Dua bulan kemudian, tepatnya 15 Oktober, Raffles memerintahkan seorang militer aktif bernama Bartholomeus Wardenaar membuat cetak biru membangun kota kuno Majapahit bersandar pada berbagai catatan pelawat asing semacam Ma Huan ataupun babad lokal karya Prapanca dan Tantular. Nasib Majapahit sebagai kota monumental dalam imajinasi, namun ringkih dalam kenyataan memang dimulai dari “Tragedi Oktober” itu.

Padahal, jika ekskavakasi itu dilakukan, bukan tak mungkin menjadikan Majapahit sebagai monumen megah secara visual yang bersanding dengan Borobudur. Kita tahu, Borobudur hari ini yang kita kunjungi adalah proyek eksvakasi Raffles setahun sebelum ia berkunjung secara khusus ke Trowulan.

Raffles, dalam konteks ini, bukan saja sebagai penguasa dan pejabat militer, namun juga “akademia” dengan passion yang luar biasa besar pada bidang kebudayaan.

Akademia Peletak Dasar Ilmu Pengetahuan Modern

Orang Inggris yang lain yang luar biasa kontribusinya bagi Nusantara tentu saja Alfred Russel Wallace. Nama ini berkontribusi besar lahirnya Teori Evolusi dari Charles Darwin. Sebab, setahun sebelum Darwin mengumumkan teorinya itu, ia menerima paper dari Wallace yang bertitel On the Tendency of Verieties to Depart Indefinitely from the Original Type yang kemudian terkenal dengan “Surat dari Ternate”. Surat bertarikh 1858 yang isinya pokok-pokok dari teori evolusi itu ditulis Wallace saat ia terkena malaria akut di Maluku.

Jurnal besar Wallace berjudul The Malay Archipelago yang tahun 2019 berusia 150 tahun itu menjadi diari klasik ilmu pengetahun sangat penting. Bagi peneliti senior di Eijkman dan sekaligus ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Sangkot Marzuki, temuan Wallace yang disebut “Garis Kedua Wallace” menjadi dasar bagi penelitian tentang genetika dan mutasi penyakit dari berbagai suku bangsa di Nusantara dari riset-riset kiwari. “Satu penyakit yang sama ketika menyerang suku Batak, Jawa, Toraja, Ambon tak boleh pukul rata dengan resep yang sama. Diperlukan manajemen penanganan yang berbeda,” jelas Sangkot.

Wallace adalah akademia pengembara yang secara mandiri naik turun gunung, menyeberang lautan antarpulau untuk mencari, mengumpulkan, dan mencatat spesies flora dan fauna yang kaya variasi. Banyangkan, dengan segala keterbatasan, seorang pelawat akademia mampu mengidentifikasi 125 ribu spesies. “Jika Anda saat sekarang berhasil menemukan satu spesies dan mengumumkannya di jurnal ilmiah, jangan bangga dulu. Dua abad yang lalu ada akademia pengembara seorang diri mengelilingi Nusantara dengan fasilitas minimum menemukan 125 ribu spesies,” kata Sangkot Marzuki dengan suara datar.

Tapi, Wallace tidak seorang diri yang memiliki catatan mengagumkan. Ada manusia berkebangsaan Jerman, menumpang kapal perang Belanda, dan kemudian memilih hidup dan mati di Ambon bernama Georg Everhardus Rhumphius.

Sama dengan Tome Pires yang “menumpang” kapal dagang dan melahirkan diari dan sekaligus magnum opusnya, Suma Oriental, Rumphius tak sekadar melawat dan mencatat di hutan dan pesisir Ambon selama 50 tahun. Ia juga menyerahkan hidupnya untuk Nusantara dengan “perih tak terperi, dengan hati tak bertepi”—pinjam bait terakhir puisi “Tak Terperi” yang dibacakan Arif Bagus Prasetyo di Panggung Akshobya, Borobudur.

Ya, Rumphius tak hanya mencintai alam Nusantara, tetapi juga manusia-manusianya. Bahkan, ia memilih Ambon sebagai kuburannya pada 1740 setelah hidup setengah abad bersama semua makhluk di dalamnya.

Karakter pelawat akademia yang melekat pada penulis 12 jilid ensiklopedia Herbarium Amboinese itu adalah menyatukan dirinya pada takdir terburuknya kepada Nusantara, yakni menulis ulang risetnya dalam kondisi buta, laboratorium terbakar, berpeti-peti koleksi spesies dicuri, naskah asli ensiklopedianya karam di lautan, dan tak pernah melihat kopi karya besarnya terbit di Belanda setelah 40 tahun ia berbaring di tanah Ambon.

Melawat dari Pintu Belakang

Pada pariwisata, pintu depan Indonesia dibuka dan dipromosikan seluas-luasnya kepada para turis asing lewat brosur dan gambar hidup. Namun, tak semua turis asing datang untuk melihat pesona Indonesia dari depan. Lawatan-lawatan mereka dalam berbagai literatur berupa catatan dan diari, sebagaimana disajikan dalam sawala di Borobudur Writers, juga darmawisata. Pada “darmawisata” atau lawatan akademia itu, mereka memasuki sukma kebudayaan Indonesia secara intimatif.

Kita memegang catatan-catatan itu kini sebagai dasar untuk melihat dan mendekati pesona Nusantara dari hulunya. Menggabungkan antara kultur pencatatan babad dan diari lawatan para akademia, baik naturalis maupun spiritualis, mengukuhkan satu hal, selalu ada “hati kudus” dari narasi kolonialisme jahanam. Teosofi yang dibawa penganjur politik etis Belanda, Hinloopen Laberton, yang mempengaruhi banyak pemundak gerakan kemerdekaan Indonesia awal, misalnya, adalah pemandangan tak terbantahkan. Teosofi menjadi “spiritualitas” pergerakan lintasagama dalam merajut impi-impi kemerdekaan.

Dalam diplomasi budaya India-Indonesia, terselip nama Rabindranath Tagore. Ia tak sekadar penyair, tapi juga budayawan berbudi halus mencatat dengan kata-katanya yang halus tentang Jawa dan Bali yang meneguhkan bahwa dua bangsa ini “terikat benang emas kekeluargaan yang mengelilingi pergelangan tangan satu sama lainnya”.

Relasi diplomasi budaya semacam itu, dalam banyak hal, memang terbangun lewat budaya perjalanan yang sudah berusia sangat tua di Nusantara; dari Hang Tuah orang Melayu naik haji pada 1482 hingga Danarto yang orang Jawa mencatat perjalanan hajinya pada 1984.

Sampai di sini, kita pun tercenung. Bahwa perjalanan bukan sekadar ingin memenuhi hasrat mengisi “Insta Story” di akun media sosial. Contohlah cerita pelawat terkini yang menulis dengan sangat serius pengalaman perjalanannya seperti Agustinus Wibowo dan Martin Aleida.

Ya, pada masa yang jauh, perjalanan yang terkenang dan abadi melekat pada hasrat mereguk pengetahuan dan kebijaksanaan.

* Pertama kali dipublikasikan Jawa Pos, Minggu, 2 Desember 2018