DZATI

DZATI berarti ZAT alias Zainal Arifin Thoha, guru muda di sebuah pesantren di Yogyakarta yang mati muda dengan meninggalkan misi besar kepada generasi santrinya: hiduplah dari kultur menulis.

Namun, DZATI bisa pula adalah substansi dari Indonesia bernama keragaman bangsa. Dari keragaman (suku) bangsa, terbentang ragam bahasa yang tak terbayangkan banyaknya.

Substansi atau zat Indonesia atau dzati itu bukan sesuatu yang terberi, melainkan kenyataan yang diperjuangkan di jalan politik kebudayaan. Maklumat politik kebudayaan ’28 melihat keragaman itu sebagai kebudayaan yang terkoneksi antara satu dengan lainnya lewat satu bahasa nasional.

Keberadaan bahasa nasional dimaksudkan sebagai “jembatan komunikasi” yang bersifat interkultural—tak sekadar multikultural—dari budaya dan bahasa yang lahir dari suku bangsa beragam itu. Dari suku-suku bangsa besar hingga yang madya dan kecil. Dari Jawa, Sunda, Batak, Makassar, Dayak, hingga KAILI di Sulawesi Tengah.

Nilai-nilai budaya itu, keragaman yang menjadi DZAT-I atau Dzat Indonesia atau substansi itu, kita berjumpa dengan para bujangga masa silam yang dengan sepenuh tekad memilih jalan kepujanggaan untuk mengekalkan nilai-nilai keadaban sebuah bangsa.

Lewat karya-karya mereka, kita memiliki sependar keyakinan bahwa literasi kita memiliki usia yang luar biasa panjangnya. Dari mereka yang sangat jauh di masa silam itu, kita mewarisi kalimat tagline yang nyaris keramat, “bhineka tunggal ika”.

Terima kasih para bujangga, para mpu alumni “Sarekat Batu Tulis” di Kediri. Termasuk uluk terima kasih itu diberikan kepada penerjemah dan penulis Mpu PANULUH van Kediri yang mewariskan kuplet-kuplet sastra seperti kakawin Hariwangsa dan Bharatayuddha.

DZATI KAILI PANULUH, selamat datang di gelanggang “Substansi Indonesia” dengan segala peluh merawat keragaman lewat jalan yang telah dirintis para bujangga masa silam.

15 Januari | 08.00 | Gamping | Sleman | DIY