Membajak Buku sebagai Inovasi Menyelesaikan High Cost dalam Dunia Perbukuan

Jika membajak buku begitu mudahnya dilakukan, masihkah ada yang mau menjadi penerbit dengan “prosedur normal”. Yang dimaksud dengan prosedur normal adalah mencari dan mengais naskah, membikin perjanjian dengan penulis, menyewa tenaga editor dan pengoreksi salah tik, serta mendesain buku (sampul dan isi).

Penerbit dengan prosedur normal itu menjadikan buku dari ada menjadi ada. Apalagi, jika penerbit berprosedur normal itu juga mengusakan naskah sendiri. Artinya, naskah diriset sendiri.

Membajak buku atau menjadi “penerbit bajakan” tak memiliki prosedur seperti itu. Yang dipunyai adalah penginderaan dekat, yakni penciuman atas buku yang sudah terbukti mendapatkan uang melimpah atau berpotensi mendatangkan status gemah ripah loh jinawi. Menurut nalar penerbit buku bajakan, itu kemampuan tak boleh dianggap remeh.

Setelah buku dari “penerbit berprosedur normal” sukses dibaui potensi mendulang uang banyak, yang dilakukan adalah memindai seluruh isi buku. Penerbit bajakan versi lama (sebelum mesin pindai makin sempurna dan praktis) mesti mendesain ulang isi buku dengan persis dengan buku aslinya. Butuh kecermatan tingkat tinggi. Mulai dari pemilihan tipografi, ukuran presesi huruf (jarak antarhuruf dan antarbaris).

Yang saya pernah lihat praktik “mendesain” buku bajakan adalah si desainer hanya perlu pegang mistar sepanjang 20 cm dengan kecermatan seorang pekerja lab. Sebagai backsound, di belakang “para desainer” penerbit buku bajakan meraung belasan mesin cetak yang terus menganga minta naskah. Terus begitu.

Tidak benar penerbit pembajak tak punya modal besar. Justru harus bermodal besar lantaran bisa mencetak belasan ribu eksemplar.

Berani mencetak banyak adalah hukum penerbit buku bajakan. Tentu saja. Toh, pasar sudah membuktikan takdir naskah macam apa yang sedang dibikin versi “nonori”-nya. Tak ada perjudian dalam penerbit bajakan. Kecuali penerbit bajakan idealis dan indie, yang hanya membuat versi “nonori” dari buku puisi atau buku filsafat atau buku humaniora yang tak diminati pembeli, namun penting dari segi konten penyumbang perbaikan galaksi milenial. Tapi, ada penerbit pembajak seperti itu? Mustahil.

Saya ulangi prosedur tak normal dari penerbit buku bajakan atau buku nonori atau buku kawe atau buku repro atau buku apalah istilahnya.

Ada naskah yang laris, beli. Lalu, pindai dengan kualitas bagus. Dan, cetak. Terus, distribusikan. Dana yang diperlukan penerbit buku bajakan atau buku nonori atau buku kawe atau buku repro atau buku apalah istilahnya untuk mengongkosi: ongkos memindai, harga cetak, dan biaya armada distribusi ke “toko-toko buku” langganan.

Mari bikin perhitungan kasar berapa hasil yang didapatkan penerbit buku bajakan atau buku nonori atau buku kawe atau buku repro atau buku apalah istilahnya dari buku dengan spesifikasi sebagai berikut:

Ukuran: 13×20 cm
Tebal: 250 halaman
Kertas isi: bookpaper
Sampul paperback: Glossy 125 gr
Jumlah cetak: 10 ribu eksemplar

Jumlah cetak per eksemplar cetak (baik isi maupun sampul), harga maksimal, bisa murah lagi, Rp11.000. Untuk mendapatkan harga jual, ongkos cetak dikalikan jumlah prosedur dilalui (kali dua). Harga yg didapatkan Rp22.000. Dibulatkan saja menjadi Rp30.000.

Modal bersih yang dikeluarkan pihak penerbit buku bajakan, sebut saja Rp13.000 per eksemplar. Jadi, total bersih yang diterima per eksemplar buku adalah Rp17.000 x 10000 (jumlah eksemplar). Hasilnya: Rp170.000.000.

Imajinasikan jika sebulan penerbit buku bajakan itu mencetak empat buku.

Penulis buku tentu saja tak mendapatkan seribu rupiah pun dari “industri buku belakang pintu” seperti ini.

Satu-satunya yang didapatkan penulis dari Anda konsumen buku bajakan yang tentu saja bersih diri, adalah pujian membungakan pedalaman jiwa di komentar-komentar media sosial.

“Ayo, dong, bikin buku yang lebih mencekam lagi. Saya demen, deh. Gue banget, tuh” antara lain seperti itu.

Penerbit buku bajakan tentu saja tak ada setitik pun kejelekan yang didapatkan. Pujian juga tidak. Kan, penerbit buku bajakan atau buku nonori atau buku kawe atau buku repro atau buku apalah istilahnya tak punya alamat apa pun. Mereka gaib dalam kolofon. Jika desain buku buruk, kesalahan ketik bergelimpangan, yang kena damprat dan nama buruk adalah “penerbit awal dengan prosedur normal” yang nama dan alamat media sosialnya tertera jelas di kolofon.

Sampai di sini, gugatan bahwa penerbit buku bajakan tak punya konsekuensi apa pun dalam bisnis mereka, tak sepenuhnya benar. Selalu ada konsekuensi dalam hidup yang sudah dipilih. Ada perjudian dalam bisnis ini.

Jika perjudian dari bisnis yang “berprosedur normal” adalah ancaman buku tak diserap pasar, rasa waswas yang menguntit bisnis penerbit bajakan adalah kalau-kalau polisi datang menangkap mereka. Namun, saat organisasi dari penerbit-penerbit berprosedur normal tak terlalu baik saat ini, waswas datangnya wet berseragam coklat tampaknya masih sangat jauh.

Akhirul kalam, adakah yang disumbang penerbit-penerbit buku bajakan itu bagi dunia literasi kita?

Ada!

Buku menjadi sangat murah. Pembaca yang hanya peduli harga buku dan tak tahu rantai proses sebuah buku tiba di rak koleksi, tentu saja, sangat diuntungkan. Yang lebih beruntung lagi, tentu saja pemilik bisnis penerbit buku bajakan. Lihat perhitungan keuntungan per buku seperti uraian di atas.

Punahkah penulis buku dengan keadaan seperti ini?

Enggak. Paling tidak, belum. Sebab, menulis buku, tak sekadar perhitungan bisnis, melainkan eksistensi hidup. Bagi penulis seperti ini, kalau enggak nulis, ada yang kurang dalam kehidupan harian yang kadang konyol ini.

Nah, saya tidak tahu, apakah masih ada yang mau menjadi penerbit dengan “prosedur normal”. Sudah tahu buku yang ditunggu-tunggu lama bakal laris langsung disikat penerbit buku bajakan atau buku nonori atau buku kawe atau buku repro atau buku apalah istilahnya, eh, tetap saja mau menjadi penerbit. Masih saja bisa tertawa “lepas” seakan hidup baik-baik saja.

Ampun, dunia dan seisinya!