Mbah Ndari: Si Penjaga Buku dan Koran dari Debu dan Sawang

Jika gedung Bale Black Box atau Radio Buku Co-work selalu tampak bersih setiap harinya, pastikan bahwa itu dikerjakan secara harian dengan ketekunan di atas rata-rata oleh Sundariningsih. Oleh seisi Sewonderland, lebih khusus lagi yang terhubung dengan gravitasi Indonesia Buku di Panggungharjo, Sewon, Bantul, nama itu akrab dipanggil Mbah Ndari.

Dialah sesungguhnya juru kunci Bale Black Box dalam pengertian yang harfiah. Semua kunci pintu, mulai dari gerbang, pintu utama, kamar, gudang, toko, semua duplikatnya dipegang Mbah Ndari.

Datang dari Dusun Sambeng, Gunungkidul di tahun 80-an, ia menjadi saksi betapa sunyinya Desa Panggungharjo, terlebih-lebih Dusun Prancak Glondong di mana gedung utama Indonesia Buku ini berdiri.

“Siang sepi, malam sunyi sekali. Enggak ada orang,” tuturnya.

Tentu saja, kampus Institut Seni Indonesia (ISI) juga belum ada.

Sampai kemudian suatu hari jelang tahun Indonesia Emas, Mbah Ndari yang menyaksikan ramainya truk-truk besar pengangkut pasir dan material mendirikan sebuah institut yang kemudian mengubah wajah Sewon yang sunyi dan gelap menjadi Sewonderland yang gempita dan berkesenian serta berkebudayaan secara kontemporer.

Alasan sepinya Prancak Glondong, Mbah Ndari kemudian diajak Mbah Nrimo Ismoyo, suaminya, hijrah sementara ke Patehan, Keraton, Alun-Alun Kidul, Kota Yogyakarta hingga gempa 2006 mengguncang seisi provinsi.

Lantaran takut tinggal di rumah tembok, Mbah Ndari dan Mbah Kung yang pensiunan guru SMP di Minggiran, memilih kembali ke kampung asal, Panggungharjo, dengan wajah dusun yang sudah berubah.

Mbah Ndari melihat sebuah rumah tembok sudah berdiri di tanah persawahan di sisi selatan ia tinggal. Sebuah rumah dengan pekarangan belakang yang sangat luas. Rumah tembok itu satu-satunya berdiri di bagian selatan jalan yang kelak bernama Jl. Sewon Indah. Karena yang pertama dibangun, nomornya pun tercetak sebagai No. 1. Nomor itu terpakai hingga saat ini.

Hanya beberapa bulan, rumah itu dirobohkan pemiliknya–yang di kemudian hari Mbah Ndari mengenalnya dengan nama “Pak Galam”. Bangunan baru pun berdiri. Gedung berbentuk kotak berwarna hitam yang dibangun kemudian itulah yang kini menjadi hunian Indonesia Buku.

Mbah Ndari benar-benar menjadi bagian yang sangat dekat dengan gedung ini saat staf Indonesia Buku, Nurul Hidayah, pada 2014 mencari tenaga yang bisa membersihkan secara reguler Bale Black Box. Maklum, setelah studio lukis ini “ditinggalkan” perupa Galam Zulkifli, wajah pekarangannya berantakan. Pada pekarangan dengan rumput yang tumbuh di mana-mana, Mbah Ndari kerap masuk untuk mengarit rumput buat mulut-mulut sapi yang melenguh tiap subuh dan petang saat lapar.

Ia hanya sampai pada tingkat kelas 3 sekolah dasar di kabupaten atas gunung. Namun, kesukaannya pada hewan ternak boleh diadu. Ia masih ingat jenis-jenis hewan ternak yang pernah dipeliharanya. Mulai dari kerbau, sapi, kambing, ayam, bebek, angsa, hingga lele. Dari semua ternak itu, ia mengaku tak tega memakannya. Ia suka memelihara, tapi tidak untuk mengonsumsinya sendiri. Ia lebih baik beli lele di tempat lain, ketimbang mengambilnya dari bak di belakang rumah.

Pada garis ternak dan rumput liar Bale Black Box itu, Mbah Ndari bergabung di Indonesia Buku sebagai sosok pembersih segala. Termasuk menyingkirkan semua baju, celana, hingga sempak anonimus berjamur yang ditinggalkan sembarangan begitu saja oleh yang punya di sudut-sudut kamar.

Tangannya cekatan, semangatnya melimpah. Terkadang, jika tak ditegur bahwa tak perlu gedung ini terlalu bersih, ia bisa tiap hari mengepel lantai.

Dan, gedung di Indonesia Buku itu mayoritas berisi tanaman, buku, serta tumpukan koran dan majalah. Jika ada satu nama yang konsisten menjaga semua buku dan koran dari debu dan sawang, nama Mbah Ndari ada di urutan pertama.

Jika ada nama yang menjaga semua tanaman tumbuh baik di pekarangan panjang Bale Black Box, nama itu bernama Mbah Ndari. Tanaman-tanaman itu berstatus yatim karena dibuang yang punya. Mbah Ndari memungutnya dari mana-mana, terutama dari rumah-rumah di kompleks perumahan. Mbah Ndari memeliharanya dengan sepenuh hati. Cintanya pada tumbuhan yatim itu seperti kecintaannya pada hewan ternak.

Mbah Ndari yang lulusan kelas tiga SD itu memasuki semua itu–kembang, buku, dan kliping dari jalur amal literasi paling sublim: kebersihan dan cinta pada semua yang hidup.***

Sundariningsih atau Mbah Ndari di dinding kliping Warung Arsip

Mbah Sundariningsih di dinding koran Warung Arsip