Februari adalah bulan Pramoedya Ananta Toer lantaran bulan ini ia dilahirkan di Blora, Jawa Tengah. Tepatnya, 6 Februari 1925. Ia lahir saat Vereniging van Spoor-en Tramwegpersoneel (VSTP) atau serikat buruh kereta api dan trem sedang berkonsolidasi di kota-kota yang setahun kemudian meledak menjadi pembangkangan terbuka terhadap kolonial, yakni Pekalongan, Surabaya, Cirebon, Batavia, dan Solok.
Pram lahir di tahun ketika perlawanan dimasak dalam tungku. Api-api itu kemudian menyertainya dalam proses kreatif. Tak sekadar mengarang, Pram justru terlibat dalam gelombang sejarah politik Indonesia. Bukan sekadar terlibat, namun juga menanggung risiko dari segala karya dan keterlibatannya secara langsung dalam politik kebudayaan Indonesia.
Bahkan, Pram memilih tidak punya pekerjaan yang lain selain menulis. Artinya, ia hidup dari menulis. Lain tidak. Karena itu, ketika Balai Pustaka memilih untuk sekadar jadi percetakan, ia mengutuk habis-habisan penerbit milik pemerintah itu. Sebab, pilihan itu membikin api dapur seorang penulis menjadi mengecil.
Konsekuensi itu disadari betul oleh Pram dari awal. Bahwa, praktik menulis dengan segala perluasannya menjadi sumber ekonomi untuk menghidupi diri dan keluarga besarnya. Untuk itulah, Pram tak bisa menoleransi karya-karyanya dibajak atau dicetak dengan tanpa sepengetahuannya. Pembajakan adalah praktik kriminal yang tak menghormati seorang pengarang mendapatkan hak ekonomi dari kerja kerasnya mencipta.
Tentu saja, hal itu bukan sikap yang tercipta dalam pergulatan internal, namun juga tercipta karena pergaulan internasionalnya. Apalagi, saat tahun 50-an akhir dan 60-an, Pram berkiprah secara menonjol dalam percakapan kesusastraan Asia-Afrika. Saat menghadiri Konferensi Sastrawan Asia Afrika (KSAA) di Tashkent, Uzbekistan, Pram ditunjuk sebagai pimpinan delegasi yang membawahi sejumlah sastrawan, antara lain Sitor Situmorang. Joebaar Ajoeb, dan S. Anantaguna.
Pram juga menjadi penanggung jawab pleno KSAA di Jakarta. Tanggung jawab internasional itu mendisiplinkan Pram ihwal perlunya penghormatan yang besar atas hak cipta pengarang. Di bawah lembaga kesusastraan Lekra, yakni Lembaga Sastra (Lestra), Pram menyusun daftar sejumlah buku sastra Indonesia yang diterjemahkan hingga di negara-negara tak terbayangkan di kutub bagian utara di Benua Biru.
Artinya, tak boleh ada toleransi sedikit pun soal hak cipta jika kita terlibat dalam pergaulan kesusastraan dunia. Dalam soal ini, Pram sangat puritan dan bahkan, maaf, kolot.
Namun, mestilah kita pahami, sikap itu berangkat dari sebuah pilihan bagaimana ia hidup dari sekadar buku yang dibikinnya dengan berkeringat lewat riset yang ekstensif. Bahkan, karya itu dipertahankannya pula kedaulatannya dari tangan-tangan kekuasaan yang tak sepaham dengan jalan ide yang dilontarkannya.
Pembajakan buku, bagi Pram, melukai tugas kepengarangan yang dibangunnya. Membajak itu pekerjaan maling. Kerja dari mereka memakan hasil keringat orang lain. Yang bersepakat dengannya juga adalah maling.
Di titik ini, kita bisa memahami bagaimana kerasnya Pram dengan soal maling-memaling karya. Ia bahkan menghimpun “legiun tempur” menghantam habis-habisan praktik plagiarsme Hamka. Pram sungguh percaya, plagiarisme merupakan pembajakan hak cipta dan itu memalukan dalam pergaulan internasional. Saat tentara Jakarta Raya menghentikan “debat” plagiarisme itu, kemarahan Pram membumbung ke ubun-ubun. Apalagi, saat Pram tahu H.B. Jassin mengumpulkan dan menerbitkan tanpa pemberitahuan tulisan-tulisan di lembaran “Lentera” Bintang Timur yang diasuh oleh Pram. Akibatnya, semangat Pram kendor menerbitkan versinya sendiri atas plagiarisme Hamka lantaran kelakuan sahabatnya yang bernama Jassin itu.
Saya sebut sikap Pram itu puritan. Sikap-sikap puritan itu kemudian kita tahu dipertahankan Pram sampai mati. Soal pembajakan buku, Pram tak punya kata damai. Bahkan, bila itu dilakukan sahabat terdekatnya sekalipun. Lebih baik putus tali persahabatan yang lama ketimbang membiarkan praktik pembajakan buku berlangsung di hadapannya. Tak ada kemuliaan persahabatan (arti dari hasta mitra) dalam perihal pembajakan.
Isu pembajakan buku inilah yang membikin Pram memilih putus kongsi dengan Hasta Mitra, sebuah penerbitan buku yang menjadi ikon penerbitan indie keras kepala melawan rezim pemberangusan buku di awal tahun 80-an.
Pram merasa terasing? Tidak! Pram terbiasa dengan kerja sendirian dan juga melawan sendirian atas kekuasaan yang menghancurkan karya dan pendapat-pendapatnya. Pram menyebut karya-karya itu sebagai anak-anak ruhaninya. Pernyataan itu membawa konsekuensi bahwa ia sendiri maju ke palagan akan membela hak-hak anak ruhaninya itu dari praktik-praktik illegal, termasuk perniagaan gelap buku-buku.
Di bulan Februari ini, saya mengenang kembali sikap puritanisme Pram ini saat buku-bukunya dibajak secara terang-terangan dan masif di kota-kota yang menjadi pusat pembajakan buku di Indonesia, seperti di Yogya, Jakarta, Bandung, Malang, dan Surabaya. Terbukti, tak ada satu pun otoritas yang bisa menghalangi laju pembajakan yang memperkaya para maling; mereka yang makan dari keringat kreatif para penulis yang mempersembahkan semua energi hidupnya untuk menulis.
Tidak juga Pram, si ikon pembajakan buku bergaris non-co-operative.
Itu.***
* Pertama kali dipublikasikan Jawa Pos, 7 Februari 2019. Gambar berasal dari tangkapan layar Twitter @fim_mifta.