Saya mengenalnya di tahun 2015 setelah setahun Indonesia Buku hijrah dari Kota Yogya ke Kabupaten Bantul, dari Keraton ke Sewon, dari Patehan ke Panggungharjo. Ia datang bukan dengan style seorang pembual, melainkan perantau yang lelah sekaligus liat. Namun, ia punya tampang seorang pembelajar yang teguh.
“Syarip. Syaripudin. Dari Luwuk Banggai,” remaja bercambang dengan mata tajam serupa keturunan jauh Portugis-hitam itu memperkenalkan diri.
Pemuda milenial dengan celana panjang kain chino usang khas generasi 80-an itu pun berkisah tanpa canggung sama sekali tentang keinginannya menulis setelah sebelumnya ia berkisah tentang cita-cita aneh yang melingkupinya: menjadi seorang perawat kesehatan di tepian air. Ia memang bersekolah di bidang ke perawatan. Sebab, imajinasi manusia desa yang “terkurung” oleh bentang air dan laut seperti dirinya, guru dan dokter adalah semulia-mulianya profesi.
Namun, gairah menjadi perawat mengobati yang sakit dan menyunat anak-anak itu kandas. Ia hijrah ke Yogya dengan dua tujuan: menulis dan kuliah di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dengan mengambil Bahasa Inggeris sebagai minat studi. Untuk menulis, ia memilih Radio Buku sebagai dermaga pertama.
Saya ingat, sore itu, jauh dari sosoknya sebagai pembual kelas satu dari laut Banggai, ia ingin melakukan apa saja asal menulis, ingin mengerjakan apa saja asal membaca.
Indonesia Buku belum membuka kelas intensif dalam penulisan. Masih percobaan-percobaan jika ada kebutuhan “mendesak”. Dan, M. Syaripudin menjadi angkatan pertama dari ” Kelas Menulis” Radio Buku bertema “Menulis Komunitas” yang dikepalasekolahi Fairuzul Mumtaz yang juga bertindak sebagai Direktur Radio Buku.
Saya ingat, kelas ini barangkali bisa menjadi candra, menjadi pelita awal bagi Syaripudin untuk berproses.
Bagi ia yang datang dari tukang “kecap” di kampung dengan keistimewaan masih bisa berak sambil “menikmati” senja yang turun mandi di permukaan laut teduh, jalan pertama ini penting sebagai pembuka gerbang untuk jalan selanjutnya.
Ujian menulis bisa dia lewati dalam lokakarya menulis tiga bulan lamanya itu. Sebagai manusia laut, ia tampak kuat goncangan. Dia bisa menerima bentakan-bentakan keras dari Fairuzul Mumtaz yang tak memahami kalimat-kalimat yang ia susun sejak di bagian awal. Ia juga sudah mempersiapkan dirinya terus-menerus diomeli Faiz Ahsoul yang menghadapi pikiran dalam tulisannya yang melompat-lompat khas seorang pembual yang tak bersentuhan dengan budaya menulis.
Dari tujuh peserta, ia memang paling parah; nyaris tak terbaca apa yang ingin ia sampaikan dalam tulisan. Padahal, saat ia ceritakan secara lisan, semuanya gamblang.
Segera saya insyaf, pemuda yang mencoba menjadi parlente miskin dengan masih memanggul dengan penuh keyakinan bahwa laki-laki tak bercawat bukanlah sebuah dosa, bakal mengalami kesulitan besar. Kecuali, bila ia tabah menjalaninya dengan segala keringat dinginnya. Ini menjadi jalan yang sakit, lebih dari sakit yang kerap ia keluhkan. Saya enggak tahu pasti nama penyakit itu; mungkin wasir, fisura, abses, atau fistula.
Ia memang mampu menyelesaikan tugasnya dengan hasil yang minimal. Namun, dia unggul dalam satu hal: ia menjadi ketua kelas yang setia di pelatihan terstruktur pertama program menulis esai Radio Buku sebelum radio live streaming itu benar-benar membuka “lowongan relawan” untuk “batch #1”.
Ia semringah. Dan, selalu begitu. Ia lega dan mulai sesumbar. Bawaannya sebagai pembual di mulai dari titik ketika ia merasa bisa menulis dan berkompromi dengan “kelisanan” dalam esai awalnya yang panjang yang dibabat dengan susah payah oleh dua orang yang sudah saya sebutkan di atas. Buku itu terbit dengan judul: Pendidikan Komunitas. Di sana, tercatat di kolofon nama Mohammad Syaripudin.
Namun, ia tak ingin kelar kelas lokakarya, kelar pula kegiatannya di Indonesia Buku. Saya menawarinya masuk dan menemani saya mendigitalisasikan koran dan majalah. Dia yang pembual aktif di media sosial mengusulkan agar Warung Arsip punya akun IG. Ia pun membuatkannya di puasa terakhir tahun 2016 dan sekaligus menjadi adminnya.
Mungkin, karena bosan terus-menerus di belakang meja putih pemotretan koran dan mendengar suara halus alat pemindai majalah, ia memutuskan keluar dari Warung Arsip pada tahun 2017 dengan jumlah pengikut akun IG Warung Arsip yang di-BIDAN-i perawat yang gagal ini 3100 (saat tulisan ini dibuat sudah hampir 38 ribu).
Sebagai pembelajar yang gigih, ia melayari peruntungan komunitas yang lain. Ia memilih pesantren menulis yang tak jauh dari Indonesia Buku, yakni KUTUB. Ia hidup dalam komunitas yang tiap jamnya hidup dari peruntungan menulis. Menulis apa saja, ya puisi, ya resensi buku, ya cerpen, ya esai.
Sejak di Kutub itulah, saya kemudian mulai menangkap keinginannya menjadi penulis sastra. Mula-mula puisi. Lalu, cerpen. Ia juga menyimpan ambisi menulis novel. Tak hanya itu, ia juga ingin menjadi seorang editor buku.
Untuk menandai ingin begini ingin begitu itulah ia mulai merancang nama barunya. Dari M. Syaripudin, lalu Safar Kepulauan, hingga Safar Banggai.
Semua itu–baik bersulih nama maupun menjajal ini dan itu–tiada lain tiada bukan karena ia ingin “menaklukkan” dunia kreatif Yogyakarta. Dari pembual dengan lisan ke pembual melalui teks. Dan, ia bolak-balik saja di dunia itu.
Dengan menulis dan membaca, ia tak serta-merta membuang kebiasaannya membual. Sebab, membual itu penting dalam pergaulan. Sebuah kerumunan butuh seorang pembual yang memanaskan tungku percakapan, memicu tawa untuk melepaskan penat dari obrolan-obrolan negatif, dan tentu saja melelehkan (ko)hati perempuan.
Kini, Bung dan Bing bisa membaca bualannya dalam cerita pendek yang sekaligus menjadi buku tunggal pertamanya yang tipis dalam pergulatan kreatifnya di Yogya: Nelayan Itu Berhenti Melaut.
Mengapa penerbit (Buku Pocer) memilih judul “berhenti” yang terkesan “negatif” dan anti pembangunan dan kemajuan itu?
Entahlah. Si pembual selalu punya stok alibi. Coba saja jika tak percaya. Itu.