Terbunuh di Halaman Depan: Malam Zikir, Siang Korupsi

Saya selalu mengalami kesulitan mengetik nama ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dengan dandanan yang selalu dandi dan bergaya milenial ini. Dilafazkan apa lagi. M. Romahurmuziy.

Dia digadang-gadang sebagai politisi Islam dari partai medioker warisan masa lalu. Partai yang mati enggak, menang dalam kompetisi pemilu pun jangan harap. Yang konsisten masuk dalam pemberitaan adalah pertengkaran fungsionaris PPP yang melahirkan bayi-bayi partai dengan status busung lapar: mati sebelum akil balig.

Namun, semua impian itu sirna di hari Jumat, 15 Maret 2019. Karier politisi muda yang naik ke puncak kursi ketua umum dengan pertengkaran internal partai yang tak berkesudahan itu sangsai di tangan komisioner korupsi yang menjadikan Jumat sebagai hari keramat.

Malam di “hari keramat” itu, nyaris seluruh kamar redaksi koran cetak se-Indonesia serentak mengetik namanya dengan tingkat kesulitan di atas rata-rata. Kesulitan para jurnalis itu makin bertambah karena halaman depan mesti berbagi dengan peristiwa yang tak kalah buruknya di Selandia Baru: pembunuhan barbar atas jemaah yang salat Jumat di Masjid Al Noor, Christchurch, Selandia Baru.

Pada Sabtu, nisan politik bertuliskan M. Romahurmuziy dengan alias yang ditulis beragam (Rommy, Romy, dan Romi) menghiasi halaman depan koran cetak; dari Banda Aceh hingga Ternate. Ia berbagi dengan kabar mengerikan tewasnya 49 muslim di kedua tangan barbar Brenton Tarrant.

Di Surabaya yang menjadi kota terkuburnya Rommy alias Romy alias Romi, empat harian (Radar Surabaya, Duta Masyarakat, Surya, dan Jawa Pos) memilih 10 frase menyusun headline-nya: KPK, OTT, Romy, Ketum, PPP, Kemenag (Kementerian Agama), Kakanwil, jual-beli, kejar, dan segel. Foto halaman depan yang diturunkan dua jenis: (1) Rommy/Romy/Romi berseragam serbahitam: baju, topi, kacamata, dan masker dan (2) saat Rommy/Romy/Romi saat masih perbawa sebagai ketua partai: berkopiah hitam, bersurban, dan berjas hijau dengan logo kakbah di dada.

Diksi dan foto itu juga mayoritas dipakai seluruh koran yang merekam hari paling hina politisi muda dengan jabatan paling puncak dari partai Islam paling senior. Penyusunan kalimatnya saja yang berbeda-beda.

Jawa Pos (Surabaya) dan Suara Merdeka (Semarang), misalnya, menurunkan judul yang nyaris sama: “Bukan Pemberian Pertama”. Namun, Jawa Pos menurunkan secara serempak tiga tulisan, satu foto besar, serta satu karikatur. Hanya Tribun Jogja dengan desain halaman depan paling mencolok yang menempatkan tiga judul dengan kalimat utama: “Kejar-kejaran di Lobi Hotel”.

Tentu saja, yang tampak ragu-ragu adalah koran-koran yang terbit di Medan. Kita tahu, di hari nahas politisi yang kerap membagi pose berfotonya dengan Presiden Joko Widodo itu, sang presiden sedang menghadiri acara zikir akbar. Bukan itu saja, Presiden Jokowi melakukan dinner dengan para pemilik media, sebagaimana dikabarkan Waspada di pojok kanan halaman depan.

Jadilah Sinar Indonesia Baru tampil dengan empat judul yang saling tindih dan kehilangan fokus: “Jokowi Ajak masyarakat Medan Bersatu”, “Penembakan di Dua Masjid Selandia Baru Tewaskan 49 Orang”, “Jokowi Kecam Keras Penembakan di Masjid Selandia Baru”, dan “Diduga Terkait Pengisian Jabatan di Kemenag, KPK OTT Ketum PPP Romahurmuziy: Ruang Menteri Agama Disegel”.

Tribun Medan bahkan membagi hitam dan putih secara vertikal berita hitam Rommy dan zikir akbar Presiden Joko Widodo. Pembagian hitam dan putih seperti itu mengesankan Rommy sebagai leluhur partai Islam itu berada di tirai setan (korupsi), sementara Preside berada di tirai putih (zikir). Rommy si ketum hina yang memperdagangkan jabatan di kementerian yang, oh, jauh dari gambaran peruntukannya; sementara Presiden adalah simbol berkumpulnya kebajikan.

Rommy/Romy/Romi memang menjadi antagonis. Gambaran penangkapannya dengan diksi headline “kejar-kejaran” dan “segel” dari mayoritas koran dengan ciri “berjudul gagah” menandaskan sebuah aksi penangkapan gembong kejahatan. Yakni, mafia jabatan dan pangkat sebuah departemen yang mengurus hajat akhirat umat. Sebut saja Serambi Indonesia (Banda Aceh), Andalas (Padang), Sriwijaya Post (Palembang), Pos Belitung (Pangkalpinang), Tribun Jambi (Jambi), Tribun Jabar (Bandung), Tribun Jogja (Yogyakarta), Banjarmasin Post (Banjarmasin).

Dari keseluruhan halaman depan yang merekam nasib hitam cucu K.H. Wahib Wahab, Menteri Agama RI (1959-1962) ini, Koran Tempo memvisualkannya dengan telengas: sosok Romi yang gemuk bersurban dan berbaju koko warna putih agak kusam terjatuh dari tangga yang salah satu anak tangganya patah dengan pantat membentur lantai. Sementara itu, songkok hitamnya lepas terbang. Teks visual macam itu pendek saja: “Duh, Romi…”. Secara serial, koran ini menjadikan halaman depannya sebagai kanvas pemukul Kementerian Agama yang menjadi pusaran persepsi publik: sarang makelar jabatan duniawi.

Ya, kementerian yang mengurus tetek-bengek manajemen keagamaan di bumi Indonesia ini memang memiliki catatan buram soal objek curian yang membikin politisi muda semacam Rommy/Romy/Romi ini jatuh—pinjam judul headline Kompas, “Politisi Muda Berjatuhan”. Telah banyak pimpinan kementerian ini yang jatuh oleh korupsi hal-hal ini: kain kafan, sapi, sarung, mesin jahit, Alquran, dan menjadi makelar jabatan bagi manusia bermental: “malam berzikir, siang mengorupsi”.

Nasib politisi yang namanya sulit ditik ini tak ada yang menduga. Apalagi, mentalnya dibungkus mantel agama. Koran-koran di halaman depan, ratusan ribu tautan berita di media daring, dan jutaan cuitan/video/meme di media sosial menjadikan Rommy/Romy/Romi berlari sejauh-jauhnya, sesepi-sepinya. Jika pun ada koran yang pantas dikoleksi olehnya sehari setelah “Jumat Keramat”, tiada lain adalah Media Indonesia (milik Surya Paloh, Ketua Umum Partai Nasdem) dan Republika (milik Erick Thohir, Ketua Tim Pemenangan Jokowi-Ma’ruf). Di kedua koran nasional berpusat di Jakarta yang pimpinannya berafiliasi satu perkubuan politik dengan Rommy/Romy/Romi memenangkan Jokowi/Ma’ruf di Pilpres, halaman depannya “suci” dari 10 frase yang sudah saya sebutkan di awal.***

* Pertama kali dipublikasikan di Harian Jawa Pos, 23 Maret 2019