Seperempat Abad Garin Nugroho Menulis: Opera Sabun di Layar Republik

Garin Nugroho itu tiang penyangga utama sinema Indonesia bersama para maestro pendahulunya. Tiga buku terbit untuk mengukuhkan posisi, bukan hanya sebagai pembaru wajah sinema Indonesia, tapi juga “raja festival”: (1) Membaca Film Garin Nugroho (2002), Garin Nugroho (2011), dan Nderek Mariah:Post-Cinema (2011).

Bahkan, dua buku terakhir menabalkan Garin sekaligus sebagai seniman “visual bergerak” dan memiliki tempat berpameran tunggal di galeri seni rupa.

Namun, Garin juga adalah seorang penulis esai dengan napas yang panjang. Jarang kita memukan dalam sejarah sinema Indonesia seorang sutradara yang juga getol menulis, terutama esai-esai populer untuk menyatakan pendapat-pendapatnya tentang segala soal di depan publik.

Saya menyebut beberapa, yakni Usmar Ismail, Misbach Yusach Biran, dan Arifin C. Noor.

Garin Nugroho adalah legenda hidup pembikin film dengan kadar literer di atas rata-rata yang juga seorang penulis esai prolifik. Perpaduan kemampuan yang tak kita temukan bahkan di kalangan pengajar film itu sendiri di berbagai institut seni.

Kemampuan Garin itu bisa kita sigi di sepanjang tahun 70-an saat maestro ini menjalani hidup sebelum masa akil balig di Yogyakarta. Selain leluasa membaca di perpustakaan keluarga bernama Daun Lontar yang menyediakan buku-buku “berat”—mulai dari pleidoi politik Sukarno hingga novel William Sarroyan—siswa SD ini tiap hari menghirup bau tinta belasan mesin cetak model hand press di rumahnya yang tak jauh dari bioskop Permata. Sambil membantu ayahnya menyusun huruf cetak yang satu halaman bisa setengah hari, ia membaca secara perlahan novel-novel berbahasa Jawa karya Any Asmara maupun Bende Mataram karya Herman Pratikto.

Lihat, Garin sejak dini berkenalan bagaimana buku diproduksi oleh teknologi cetak sembari mabuk oleh rayuan gambar bergerak yang dipancarkan bioskop Permata yang memutar film-film impor dari multinegara: Filipina, Jepang, Hongkong, Italia, hingga USA (Hollywood). Ditambah lagi, rumah joglo milik kedua orang tuanya—Soetjipto Amien dan Maria—menjadi halte yang riuh bertemunya siswa-siswa seni rupa dan tari Taman Siswa.
Perjumpaan dari praktik membaca buku yang diasupnya sejak dini, pengenalan teknologi cetak, dan “referensi” film dari bioskop membawanya menjadi pengelola majalah dinding “Klothak” dan pegiat teater sekolah di SMA Loyola, Kota Semarang. Dari budaya cetak dan literasi, Garin menjadi kritis dan berani mengungkapkan pendapat dan dari film ia belajar dramaturgi.

Keduanya menyatu dalam karya teater pertamanya berjudul Komputer. Materi drama siswa SMA yang dikelola para pastur ini tergolong “absurd” untuk akhir tahun 70-an. Kecintaan Garin pada sains, estetika, teknologi, dan ide kritis bersekutu dalam Komputer yang berkisah tentang orang banyak (orba) karena tak percaya kepada penguasa yang lalim dan palsu, selalu mengeluhkan pilu hidup mereka pada sebuah “benda ajaib” bernama komputer yang membikin penguasa murka.

Hidup sineas yang telah menerima lebih dari 50 penghargaan—sebagian besar dari luar negeri—ini selepas dari Semarang kemudian selalu berada dalam ketegangan penciptaan. Ia perjuangkan dengan segala jaringan persahabatannya yang masih minim kebebasan mencipta.

Termasuk, mendobrak “pakem” bahwa menjadi sutradara profesional mesti berusia di atas 35 tahun dengan segala persyaratan birokratisnya.
Kegelisan sepulang dari Berlin Film Festival karena film ceritanya, Surat Untuk Bidadari, menerima penghargaan dari Berliner Zeitung Award, ia memutuskan secara serius menjadi penulis esai-esai kritik: mengkritik tingkah pola kekuasaan dan sekaligus realitas dunia tontonan. Ketika dua hal itu bertemu dalam satu panggung, Garin menyebutnya politik opera sabun.

Eksperimen itu bisa dibaca di buku pertamanya yang terbit pada 1995 berjudul Kekuasaan dan Hiburan (Bentang). Buku yang berisi 29 esai itu berasal dari kolom-kolomnya di Kompas dan Tempo. Ia membahas banyak hal, mulai dari dunia digital, televisi, kuasa rating, klip video dan video gim, serial tontonan anak Kstaria Baja Hitam, politik kepemilikan media, dan tentu saja kegandrungan masyarakat yang terkena sihir telenovela semacam Maria Marcedes, Kasandra, Marimar, dan Esmeralda.

Rumus opera sabun di buku pertama itu kemudian Garin nikahkan secara artistik dan argumentatif dengan politik kekuasaan yang melahirkan buku esainya yang selanjutnya pada 2004, Opera Sabun SBY. Buku yang berisi 25 esai ini adalah eksperimen pertama Garin menjadikan opera sabun atau telenovela sebagai pisau kajian budaya (cultural studies) membaca pola tingkah kekuasaan.

Opera sabun, tulis Garin Nugroho, adalah drama kompleks yang strukturnya dibangun dari sebuah pohon besar keluarga. Pohon keluarga ini yang mendeskripsikan relasi tokoh beserta karakternya dalam kartel bisnis dan politik. Dalam opera sabun, konflik diciptakan secara ajek, naik turun, dan berubah-ubah lewat siklus perpindahan peran dan relasi antartokoh.

Nah, ketika UI mengeluarkan studi psikologi untuk membedah para calon presiden yang bertarung di pilpres 2004, Garin memeriksa “data/fakta” lima calon presiden dengan pendekatan opera sabun itu. Sebagai petahana, Megawati banyak disorot Garin hingga melahirkan “Megawati Opera Sabun I, II, dan III”. Hukum opera sabun, jika berlebihan memoles seorang tokoh protagonis, ia bakal dihukum dan ditinggalkan penonton.

Esai yang ditulis sebelum hari pencoblosan 2004 itu, Garin memprediksi, penonton sedang mengalami titik jenuh dengan protagonis lama, seorang perempuan yang terluka dalam politik. Sang tokoh yang digandrungi itu kehilangan peran kepemimpinan saat plot opera sabun memasuki peristiwa-peristiwa besar seperti teror Bali, kenaikan harga minyak, dan perang Aceh.

Penonton dengan karakter cinta monyet dan berkultur penggemar itu pun merindukan tokoh baru dan itu dengan piawai diberikan karakter tokoh baru Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Esai serial Garin Nugroho dari halaman 13 hingga 14 itu dengan presisi berhasil memprediksi “hasil akhir” dari pilpres dari politik opera sabun.

Jelang hari pencoblosan pilpres dan pileg di Pemilu 2019, Garin kembali mengeluarkan buku yang berisi 52 esai berjudul Negara Melodrama (Gading Press). Ia masih konsisten memakai pendekatan yang sama dengan dua buku sebelumnya, opera sabun sebagai cultural studies.

Bayangkan, selama seperempat abad usia kepenulisan, Garin konsisten menggunakan pisau yang sama untuk melihat kaca benggala politik Indonesia.

Namun, di buku yang ketiga dengan mendedah kronik politik sejak 2010 hingga 2019 ini, tensi kritik Garin menaik.

Produk opera sabun yang dimulai dari pilpres 2014 dan kini 2019 dengan pertarungan dua tokoh yang sama, tulis Garin, tidak memandu bangsa ini ke mana-mana. Dangkal, vulgar, artifisial, dan tak bernalar.

Melodrama adalah genre yang menjadi rumus popular yang melahirkan cerita panggung teater Eropa yang berpuncak di abad 20 dan opera sabun televisi. Genre ini menawarkan budaya mengonsumsi hiburan penuh konflik, mengeksplorasi emosi dangkal, stereotip, serba hitam putih dan sekaligus mengelola kontras karakter sisi serba baik dan serba buruk.

Dalam konteks politik opera sabun, melodrama yang mengeksploitasi emosi dangkal ini mengentalkan perkubuan identitas dan mengelola konfliknya tanpa akhir. Keributan harus ada dan jika tak ada mesti diada-adakan kelompok buzzer yang terorganisasi untuk menjaga “suspensi” dengan target pengejaran tanpa akhir atas apa yang dinamakan “viral/trending topiq” dari follower.

Alih-alih menghasilkan masyarakat melek pada adab politik dengan menaiknya literasi, yang lahir justru masyarakat melodramatis berkultur penggemar dengan ciri: sensitif jika ada yang mengkritik si primadona dan kecewa secara masif saat si primadona popularitas dan rating-nya menurun yang melahirkan eksodus mencari tubuh sang diva baru.

Kerinduan pada lahirnya sosok negarawan punah dalam politik opera sabun. Yang justru lahir dalam ekosistem negara meladorama adalah seorang diva dengan kultur penggemarnya yang mengidap romansa labil yang laten: cinta monyet. Dan, jangan pernah memberi nasihat kepada mereka yang sedang dilanda cinta monyet di politik opera sabun.

Jangan, Ferguso!

* Pertama kali disampaikan di acara bedah buku Negara Melodrama, Sekolah Pascasarjana UGM, 2 April 2019.