Berapa Lama Mendokumentasikan Satu Eksemplar Koran

Ayo, belilah satu eksemplar koran di kios koran yang tersisa di kotamu di mana lopernya nyambi berjualan bensin eceran untuk menyambung hidup di bawah beringin. Bawalah koran itu ke rumahmu dan mulai melakukan pendokumentasian.

Berapa lama yang dibutuhkan untuk praktik pendokumentasian koran satu eksemplar itu?

Saya membantumu menghitungnya berdasarkan pengalaman. Dengan catatan, koran yang sudah dibeli setebal 24 halaman. Ada koran yang hanya 16, ada juga 20. Namun, ada pula hingga 36.

Ada lima langkah dalam praktik pendokumentasian. Paling tidak, lima langkah ini dipraktikkan sehari-hari di warungarsip.co. Namun, di kelas magang yang digelar di Gudang Warsip, hanya sampai pada langkah ketiga. Itu pun sudah tampak melelahkan dan bikin “pucat”.

Kelima langkah itu sebagai berikut:

Langkah 1. Persiapkan alat pemindai koran. Di Gudang Warung Arsip–juga di Museum Pers Surakarta–dipakai perlengkapan paling murah yang di tahun 2012 ongkos yang diperlukan membuatnya lebih kurang Rp20.000.000,- Pemindai koran yang “profesional” harganya 100 juta lebih dan itu yang dipakai Perpustakaan nasional RI. Waktu yang dibutuhkan menyetel alat pemindai itu 2 menit.

Langkah 2. Lakukan pemindaian. Cekrek. Cekrek. Wah, ini sangat cepat. Waktu yang dihabiskan hanya 5 menit.

Langkah 3. Menata ketajaman gambar atau miring/lurusnya semua file di komputer dengan perangkat lunak penata gambar. Sebab, tangkapan kamera belum tentu terang-benderang (tajam), walaupun lampu yang dipakai sebagai penerang empat buah. Waktu yang diperlukan untuk kerja ini 7 menit.

Langkah 4. Memberi nama pada setiap kliping terpilih. Lalu, “gunting” atau croping file-file tersebut, serta lakukan konversi setiap file dari JPG ke PDF. Katakanlah, dari 24 halaman koran, terdapat 25 file “penting” untuk didokumentasikan. Nah, waktu yang dibutuhkan mengerjakan langkah ini adalah 71 menit atau 1 jam 11 menit.

Langkah 5. Saat file sudah siap, tibalah saatnya memasukkan data file-file ini ke dalam pangkalan katalog. Mengapa pangkalan? Supaya memudahkan dirimu sendiri atau orang lain mengaksesnya. Kerja memasukkan metadata dalam pangkalan katalog ini adalah 15 menit setiap file. Apa saja dikerjakan dalam 15 menit per file itu? Mengisi metadata tentang judul artikel, penulis, nama media, tanggal terbit, ukuran berkas, format produksi, kata kunci, kategori kliping, dan keterangan ringkas. Jangan lupa, siapkan juga gambar kliping dengan ukuran “secukupnya” untuk disertakan dalam katalog. Jika 1 file butuh 15 menit, kita butuh 375 menit untuk menyelesaikan kerja di langkah kelima ini.

Jadi, satu eksemplar koran setebal 24 halaman butuh waktu pendokumentasian 458 menit atau 7 jam 6 menit. Sesederhana itu hitungan waktunya.

Katakanlah kamu sudah berlangganan sebuah koran selama 4 tahun terakhir. Sebuah, sekali lagi, dan bukan beberapa koran sekaligus. Empat tahun itu berarti 1460 ekesemplar. Untuk mendokumentasikan koran sebanyak itu, waktu dibutuhkan adalah 11.144 jam. Atau, satu tahun nonstop enggak pakai alasan dan malas-malasan.

Begitulah. Saya secara pribadi kemudian insyaf saat melihat ada yang mengilokan koran-koran koleksinya, berusaha menahan diri berkomentar “idealis”: wah, kenapa dikilokan, itu ‘kan sama dengan mengilokan ingatan bangsa.

Saya juga tak kemudian rewel saat melihat perpustakaan, mulai dari nasional hingga daerah, mendokumentasikan hanya sampai sebatas menyimpan koran fisik. Atau, jika agak rajin ditambah selangkah lagi: memindainya tanpa mesti sampai melakukan empat langkah selanjutnya. Sebab, itu “tak mungkin” dikerjakan dengan ratusan ribu eksemplar koran setiap nama koran. Apalagi, dengan sumber daya yang tersedia sama sekali tak mencintai lahir-batin pekerjaan ini.

Nah, saat ada perpustakaan memilih menghancurkan koleksinya demi efisiensi ruangan, saya melihat kemungkinan lain, yakni gemetar melihat lima langkah praktik pendokumentasian seperti yang sudah saya sebutkan itu. Sebab, yang digerus oleh praktik pendokumentasian seperti ini adalah umur. Eman-eman, toh, taruhannya.

Jadi?

Sumber gambar: Photo oleh Aniruddha Bhattacharya/Unsplash