Tinggal di titik nol Kota Bantul, namun bendera dan grafiti klub sepak bola PSIM Yogya bertebaran di sudut-sudut kampungnya. “Anak-anak di sekitar rumah ini cah PSIM semua,” katanya di suatu malam tak jauh dari Stadion Sultan Agung yang memang jaraknya teramat dekat dengan rumah tinggalnya. Tentu saja, stadion yang ia maksud adalah stadion lama di tengah kota dan bukan di Kampung Pacar.
Namun, bukan sepak bola yang membikinnya terkesiap, tapi tenis. Maklum, selain dekat dengan stadion, rumahnya pun tak jauh dari lapangan tenis yang saban malam selalu ramai.
Tenis kemudian menjadi pilihan pendidikannya sewaktu memutuskan kuliah di fakultas keolahragaan IKIP Yogyakarta. Prestasi tertinggi yang ia raih adalah peraih medali emas tenis beregu pada Pekan Olahraga Daerah (Porda) seantero Yogyakarta tahun 1997.
Di sinilah titik misterinya, justru dunia jurnalistik yang membikin kehangatannya dengan raket tenis padam perlahan dan perlahan. Ia mula-mula menjadi fotografer yang tentu saja bersama para reporter memburu narasumber antarkota. Sesekali ia juga mencoba mengasah keterampilan menulis.
Karena di lembaga pers mahasiswa di mana ia menempa diri tak memiliki seorang artistik, dia dengan “terpaksa” mengambil alih tugas itu: mendesain seluruh majalah. Mulai dari sampul, isi, hingga halaman advertensi. Di tangannyalah perwajahan majalah dirombak total. Sesekali ia tetap mencoba menulis dan terus berikhtiar menjadi aktivis Islam yang kaffah demi terbentuknya masyarakat kampus madani.
Saya tidak tahu pasti, bagaimana hubungannya dengan tenis bisa rusak total. Yang saya ketahui, dia senang mengoleksi kaset. Terutama musik bergenre rok. Wabilkhusus lagi kelompok Metallica, U2, dan Queen. Saya mendengar beberapa lagu dari tiga kelompok musik itu darinya. Bahkan, dari dia pula saya mengenal Yopie, vokalis UKM Musik IKIP yang mengover semua lagu Queen saat tampil di acara-acara kemahasiswaan.
Dia memang senang menonton konser dengan uang di kantong seadanya. Namun, konser tak melupakan tugasnya sebagai aktivis Islam newbie yang mesti menggerakkan organisasi dalam kampus. Dan, ia memilih memperjuangkannya lewat buku.
Ajaib, ia mengenal sisi melik perbukuan justru dari ajakan pemimpin redaksi majalah kampus di mana ia berdiam juga di situ. Si pemimpin itu, sebut saja Anas Syahrul Alimi (nama sebenarnya), kejatuhan proyek membikin buku biografi dan mengumpulkan semua artikel pendidikan rektor IKIP, Djohar M.S. Dia dan si pemimpin ini mondar-mandir antara kampus dan percetakan.
Dari situ, ia pun mulai mengenal dan membaui dengan sangat cermat spesifikasi desain yang layak cetak dan menghidu bau minyak mesin-mesin pencetak. Ia kemudian berkeyakinan, seorang artistik juga harus tahu dan bisa berkomunikasi dengan pekerja-pekerja di percetakan agar desain dan hasil akhir sesuai dengan yang diharapkan.
Saya jarang melihatnya membeli buku, namun kegandrungannya untuk membeli kaset tak pernah padam. Langganannya di gerobak kaset di perempatan Jl. Ahmad Yani antara Jam Bundar dan Pasar Beringharjo (Malioboro). Pun demikian, ia tak pernah menjauh dari dunia buku. Justru pergaulannya dengan buku makin jauh dan intim. Ia bukan hanya terhubung dengan pelukis kontemporer Dipo Andy, melainkan juga dengan beberapa penerbit raksasa di Yogyakarta. Pustaka Pelajar salah satunya.
Namun, tetap saja minatnya membeli buku tak pernah beranjak. Enggak minat. Tak belanja bukan berarti tak cinta. Hingga tiba suatu masa setahun setelah peralihan abad di bulan buku, ia mengajak saya bergabung dengan media baru yang dibentuknya: klinikbuku.com. Saat saya bergabung, saya hanya ekornya belaka. Secara konsepsi, media baru itu sudah selesai dengan namanya yang barangkali mengasumsikan perlu sebuah klinik untuk berjaga-jaga jika ada buku-buku Jogja yang sakti sakit.
Saya kagum. Media itu muncul saat memakai email yahoo masih menjadi sebuah kebanggaan segelintir orang. Saat tak ada satu pun di antara orang yang saya kenal dekat tertarik kepada media digital untuk memperkenalkan buku, ia sudah bergerak sangat jauh. Futuristik betul sosok ini. “Nanti kita minta buku-buku baru dari penerbit Jogja. Pustaka Pelajar pasti ngasih. Insist Press sudah mau. Jendela dan Bentang Budaya sudah oke. Kita terhubung dengan banyak penerbitan. Nah, tugasmu meresensi buku itu. Enggak usah panjang-panjang. Pendek-pendek saja,” petuahnya dengan keyakinan juragan yang media barunya bisa menguasai dunia buku Jogja. Kata-kata itu saya dengar saat ia mengajak saya dengan motor bebek merahnya bertemu dengan kru yang lain di kos remang-remang di Gambiran, Umbulharjo. Yang sudah menunggu dalam rapat itu, antara lain Agung Arif Budiman, Lais Abid, dan Much. Fatchurochman.
Sepertinya, ia dan tim awal sudah menyiapkan konsep yang matang, saya hanya menambahkan beberapa rubrik. Ia yang membikinkan pembatas buku berkonten situsweb klinikbuku.com. Juga, desain untuk kebutuhan iklan web ke beberapa majalah persma yang menjadi relasi. Dia pula yang membuatkan kartu nama, kop surat, dan tentu saja stempel.
Nah, untuk membangun situsweb itu, ia merekrut pegiat persma dari kampus sebelah. Maklum, tak satu pun dari jurnalis pers mahasiswa di kampusnya yang punya keahlian bikin situsweb.
Saya menduga, dari klinikbuku.com inilah ia membangun “relasi” dengan pegiat-pegiat majalah/tabloid di rumah bersama bernama B-21 yang berada di kompleks Bulaksumur, UGM. Tak ada satu pun persma dari IKIP yang memiliki hubungan yang begitu intim dengan pegiat Balairung selain dirinya. Saya mengenal beberapa nama dari Balairung, justru dari dirinya. Sampai di sini, situsweb klinikbuku.com menjadi selimut yang menghangatkan antara dirinya dengan Balairung.
Saya tak tahu persis berapa tahun situsweb perbukuan pertama di Yogyakarta itu bertahan hidup. Mungkin satu atau dua tahun. Yang saya tahu, ia orang pertama yang mencetuskan dan sekaligus membikinnya. Dalam sejarah, pekerjaan ini dilupakan. Klinikbuku.com tak berbekas dalam perbincangan sejarah buku Jogja. Sepertinya, dia juga tak peduli dengan soal itu. Sebab, hidup jalan terus. Proyek mendesain sampul buku menjadi kerja kreatif utamanya untuk mencari uang. Ia sibuk masuk dan keluar penerbitan buku; selain menjadi tempat bertanya anggota muda persma di bekas kampusnya yang sudah berubah menjadi UNY untuk memberikan tausiah soal artistik majalah di pelatihan jurnalistik.
Cerita itu barangkali sekadar lelangut bagi sebagian orang yang mengenalnya lebih kini. Akun Instagram dan Facebooknya berisi informasi harian yang sudah jauh dari sosok pembeli kaset yang adiktif, namun pembikin pertunjukan musik yang subur. Berbendera Prambanan Jazz, JogjaROCKarta, dan MocoSik di mana ia tercatat sebagai co-founder dengan Anas Syahrul Alimi sebagai pendiri utama, ratusan musisi tanah air dan ikon-ikon panggung musik mancanegara telah tampil di panggung konser yang megah.
Ya, pada tenis ia bermimpi tentang panggung raga, pada dunia buku dan jurnalistik ia menempa mental, dan pada musik ia bisa menjejakkan kaki di banyak negara di banyak panggung akbar musik. Sebagaimana berputarnya nasib, dunia musiklahyang justru menerbangkannya untuk menyaksikan apa yang barangkali ia impikan saat remaja, yakni menonton turnamen tenis grand slam Wimbledom langsung dari Kota London.
Manusia pencinta kaset, pegiat (artistik) buku, dan yang selalu berhikmat dari panggung ke panggung pertunjukan musik itu adalah Bakkar Wibowo.***
#TemankuOrangBukuKeren
Sumber foto: Facebook.com/bakkarwibowo
Poster klinikbuku.com. Koleksi pribadi