Lupa tanggal pastinya, tetapi pekan saya bertanya kepada Ambo adalah pekan pertama September di tahun 2018. Lebih kurang pertanyaan itu berbunyi: sebagai warga yang hidup di masa Sukarno, apa yang paling diingat?
Saya menduga, Ambo bakal berkisah gerilya pamungkas dari remah-remah pasukan Kahar Muzakkar di sektor paling utara Sulawesi Selatan.
Ternyata, tidak.
Ia menarik napas dari dada tuanya. Perlahan ia menggumamkan lirik. Awalnya, tak terdengar baik. Setelah ingatannya dikerahkan sepenuh-penuhnya, Ambo pun menyanyi. Lengkap dengan gerakannya.
“Lagu ini dinyanyikan tiap hari. Mulai dari anak sekolah sampai pemuda kampung. Harus hapal. Tapi, aduh, lupa Ambo judulnya,” terangnya.
Ambo menyanyi sekali lagi, kali ini di hadapan lukisan karya Eddy Susanto bergambar Soeharto yang disusun dari salah satu teks pidatonya. Ia mengepal lagi sembari membayangkan ada gemuruh yang dijalarkan Sukarno untuk sebuah proyek besar: ganyang Malaysia.
Ambo tahu, Indonesia sedang berkonfrontasi dengan Malaysia. Namun, ia tak tahu persis duduk perkaranya. Yang ia tahu secara presisi, Malaysia dibutuhkan oleh gerilyawan sisa pasukan Kahar Muzakkar untuk logistik. Hidup dalam dua propaganda anti-Malaysia dan butuh-Malaysia berlangsung sengit di hadapan Ambo. Sebagai liliput di tengah dua pasukan kombatan yang memperebutkan logistik dan uang, Ambo terseret. Ia di tengah jembatan logistik untuk suplai hidup para kombatan yang tinggal di rimba-rimba.
Jika hanya mengandalkan menanam sendiri, perjuangan yang dilakukan berpindah-pindah bakal mengalami kesulitan. Siasat logistik pun dijalankan. Ambo menyaksikan–dan ikut beberapa kali–dalam perjalanan gelap di malam gelap di kapal motor kayu yang juga gelap. Mereka menembus Sarawak untuk menjual kopra dan minyak kelapa.
Perjalanan itu hanya dilakukan di malam hari. Saat siang, kapal motor didiamkan di tengah laut untuk menghindari kegiatan patroli.
Jika “operasi logistik” ini berhasil, uangnya dibelikan pakaian dalam jumlah banyak. Nah, pakaian itu yang ditukarkan hasil bumi yang umumnya dipasok orang-orang Binggi yang tinggal di pedalaman.
Jika ke Malaysia membutuhkan tenaga, biaya, dan risiko tak sedikit, langkah cadangan yang digelar adalah berkongsi dengan tentara Republik.
Gerombolan dan para pasivis (nonkombatan) yang menguasai perdagangan kopra dan hasil bumi menjualnya kepada tentara pengusaha. Tentu saja, harganya jauh lebih rendah ketimbang dipasarkan sendiri ke pasar gelap Malaysia.
Begitulah, Ambo adalah sukwan sukwati yang labil. Tergencet di tengah dua propaganda besar. Namun, Sukarno yang menjadi mastermind yang menggerakkan konfrontasi itu kalah dan menjadi abu setelah sebelumnya menggulung habis pasukan Kahar Muzakkar.
Ambo bukan hanya ditangkap, tetapi juga menjalani masa pembuangan yang sangat jauh dari kampung halamannya. Ia dan para kombatan yang menyerah digiring turun gunung dan dikumpulkan di Kecamatan Biromaru, Donggala, Sulawesi Tengah. Selanjutnya, diangkut ke Kota Palu dengan kerumunan berjubel-jubel orang untuk melihat seperti apa rupa gerombolan hitam dari Pasangkayu itu.***