Di Indonesia secara umum dan secara khusus di Yogyakarta dan seantero Jawa Tengah, tahun 2019 bukanlah tahun yang penuh suka cita bagi musik jaz.
Pasalnya, tahun ini dibuka dengan berita duka berpulangnya salah seorang penjaga festival jaz terlama dan terajeg kedua di Indonesia, A. Tony Prasetiantono.
Bersama Jazz Goes To Campus Universitas Indonesia (Depok), Economics Jazz Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta) menabalkan diri sebagai festival jaz terpanjang. JGTC UI berlangsung sejak akhir 70-an, sementara EJ UGM naik panggung di paruh akhir 80-an.
Jika Java Jazz masih menjadi yang terakbar di Indonesia di sisi barat, Prambanan Jazz menjadi yang termegah dari sisi timur. Selain keduanya, festival musik jaz, sebagaimana watak dari musik ini yang datang dari kreativitas dan improvisasi, beragam jenis perhelatan bisa kita temui.
Di Bantul, Yogyakarta, misalnya, kita dibikin berdecak dengan ikhtiar mendekatkan jaz dengan “dunia kampung” via Ngayogjazz sejak 2007.
Ada pula usaha mengeluarkan jaz dari ruang pertunjukan yang sempit di hotel yang tentu saja berpenonton khusus ke ruang terbuka dan berlangsung saban pekan sebagaimana Jazz Ben Senin dihalaman Bentara Budaya Yogyakarta.
Namun, Prambanan Jazz berbeda, sebagaimana Jazz Gunung di kawasan Gunung Bromo, Probolinggo. Ia megah, tetapi sekaligus auratik. Aura kemegahan yang memancar dari Prambanan itu yang ditangkap Prambanan Jazz. Ia, pinjam istilah salah kaprah dari sebuah media daring, “terlalu pop”, tetapi sekaligus magis.
Jenama auratik dan magis Prambanan Jazz itu dibuka oleh kehadiran maestro saksofon asal Amerika Serikat, Kenneth Bruce Gorelick atau lebih dikenal dengan nama panggung Kenny G, pada 16 Oktober 2015.
Berturut-turut panggung internasional Prambanan Jazz tiap tahun digoyang oleh Boyz II Men dari Philadelphia, Sarah Brightman dari Kanada, dan Diana Krall yang juga berasal dari Kanada. Musisi-musisi itu berbagi panggung dengan puluhan musisi Indonesia yang turut ambil bagian memainkan musiknya dengan genre jaz.
Di tahun kelima, Prambanan Jazz yang diinisiasi dua darah muda yang justru tumbuh dan datang dari dunia buku independen di Yogyakarta pada permulaan alaf ketiga milenium ini, Anas Syahrul Alimi dan Bakkar Wibowo, mendapatkan legitimasinya yang sahih dari Yanni.
Dalam tubuh maestro musik kawakan asal Yunani ini melekat rajah ikon-ikon monumental yang datang dari masa yang sangat jauh dari berbagai bangsa di banyak negara. Ia pernah tampil di Acropolis (Yunani), Taj Mahal (India), Forbidden City (China), Royal Albert Hall (Inggris), dan Kuil Toji (Jepang).
Kini, Prambanan yang menjadi salah satu dari sangat sedikit monumen terbesar dari masa renaisans pertama Nusantara memikat sekaligus mengikat komponis yang bernama lahir Giannis Chrysomallis ini.
Lewat jaz di Prambanan Jazz, Yanni ingin mengatakan kepada dunia tentang Indonesia, kemasyhurannya di masa silam lewat artefak luhur yang disucikan, dan juga pertunjukan musik dengan skala sebar lintas benua.
Memang, ada yang relasi yang dekat antara musik (jaz), Prambanan, dan adiwisata. Saat rembang, semburat merah terakhir dari cakrawala memberi decak kagum yang tak terkira saat, misalnya, Langit Sore, Rida-Sita-Dewi, Bali Lounge, dan Jogja Hip-Hop Foundation membawakan lirik-lirik berbahasa Jawa yang diaransemen secara jaz oleh Jazz Mben Senen.
Di situ, Prambanan Jazz tidak hanya menarik berjubel-jubel penonton untuk melihat panggung beserta alunan musik, namun juga menikmati suasana enigmatik yang tak biasa. Perpaduan senja, musik jaz, dan ikon agung Nusantara di ruang terbuka menjadi kombinasi terciptanya suasana yang teramat “mahal” itu.
Kala malam tiba, lewat permainan adicahaya yang memenuhi panggung, candi yang berdiri tunjang sejak seribu tahun lebih dua abad itu tampak menggetarkan. Yanni, The Brian McNight 4, Anggun, Calum Scott, Glenn Fredly, Yura, Danilla, dan Tulus seperti menghidupkan organisme sejarah yang tertanam di pori-pori ribuan batu purba yang menyusun arsitektural Prambanan.
Hingga perhelatan yang kelima, tak hanya menaikkan pamor kontemporer Prambanan, festival ini menarik kembali animo para milenials—tentu saja pencinta musik jaz “garis tebal”—untuk menyaksikan Prambanan lewat pintu musik.
Dengan kata lain, Prambanan Jazz yang kini berdurasi tiga hari itu menyuguhkan apa yang saya sebut “parawisata”.
Sebagai tujuan wisata, Prambanan yang dikunjungi turis hanya di siang hari hingga pukul 17.00 itu adalah “pariwisata”. Namun, mereka yang ingin menyaksikan musik jaz sambil menikmati kudapan tradisional ala Pasar Kangen, tetapi sekaligus melihat Prambanan yang auratik tepat saat rembang perlahan rebah dari cakrawala barat hingga puncak malam hari itu adalah “parawisata”.
Idiom ini, “parawisata”, menandaskan “Prambanan yang ngejazz” itu tidak sekadar pariwisata. Ia lebih dari itu.
Sebagai parawisata, di titik ini Prambanan Jazz menginterupsi; bukan saja sejarah (pertunjukan) musik jaz yang umumnya berlangsung di (gedung pertunjukan) perkotaan metropolitan atau di kawasan universitas selama ini, melainkan juga mempertemukan musik yang profan, wisata suci monumental, dan para maestro musik secara anggun di batas kota/kabupaten semenjana semacam Yogyakarta dan Klaten.
Kehadiran Prambanan Jazz, juga masih regulernya penyelenggaraan festival-festival jaz di banyak tempat, memperpanjang harapan bahwa festival musik jaz masih berdetak kencang dan memupus kekhawatiran saat perintis festival jaz kawakan asal Economics Jazz UGM berpulang di awal tahun 2019 ini. ***
* Dipublikasikan pertama kali Jawa Pos Edisi Minggu, 14 Juli 2019