Bumi Manusia Bukan Film “Kiri”

Tanggapan terhadap Tulisan Redi Panuju yang Dimuat Jawa Pos 28 Agustus 2019

Hanya ada dua kata yang bermutu dari esai Redi Panuju yang dimuat di Jawa Pos, 28 Agustus. “Film” dan “Kiri”. Ratusan kata yang lain buang saja. Frase “film kiri” itu pun hanya tempelan dan tak ada keterangan apa pun yang terang.

Izinkan saya lewat esai ini mengelaborasi dua kata yang sudah diajukan sang dekan dekaden itu dalam konteks berlayarnya Bumi Manusia di ratusan layar bioskop mayor seluruh Indonesia.

Menyebut Bumi Manusia film kiri itu menyesatkan. Sesatnya sudah enggak tertolong. Kesesatannya dua belas-tiga belas dengan teriakan Alfian Tanjung di ratusan hari sebelumnya di sebuah kerumunan di Jakarta Pusat: “Komunis itu berasal dari pemikiran monyet Darwin win win win” (echo).

Saudara, film Bumi Manusia tidak otomatis menjadi kiri hanya karena penulisnya, Pramoedya Ananta Toer, adalah sastrawan kiri yang liat dan keras.

Film kiri itu adalah film yang dibuat oleh para pemundak ideologi kiri. Agensi itu penting. Pembikin itu penting. Sebab, di kepala mereka bekerja pengetahuan dan ideologi tertentu yang dari sana kita bisa memeriksa agenda aksinya dengan mengajukan film sebagai medium perjuangan.

Bumi Manusia itu tidak dibikin oleh orang kiri. Juga, tidak dibiayai oleh orang kiri. Apalagi, mengepit tujuan mulia memperjuangkan terbentuknya masyarakat sosialis yang anti atas imperialisme. Lihat saja rekam jejak film-film Hanung Bramantyo. Buka portofolio sang sineas ini. Nir. Periksa pula sepak terjang rumah film yang memproduksinya. Sumir.

Di tangan yang bukan orang kiri, janganlah Bumi Manusia terlalu dibebankan cap yang tak semestinya. Misalnya, sebutan dekan dekaden Redi Panuju ini: “Hanung pionir film kiri di Indonesia”.

Sudahlah, ini “film (berwarna) sejarah” untuk hiburan. Nontonlah sebagaimana film hiburan biasa. Film ini tak bertendens, sebagaimana sineasnya secuil pun tak memanggul cita-cita ideologi kiri. Baca saja pengakuannya di akun media sosialnya, tak secuil pun ada sosialisme dalam silabus masyarakat yang diimpikannya. Allahu akbar!

Jika kiri yang dimaksud adalah ideologi yang digotong Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), film yang dianggap “kiri” oleh Lekra mengikuti sejumlah “pakem” politik. Film itu kerja politik. Politiklah panglimanya. Dalil itu kemudian mengharuskan para sineas memiliki rekam jejak dalam perjuangan dan belarasa bersama Rakyat (“R” kapital).

Sebab, melalui film, diharapkan muncul kesadaran baru tentang apa yang disebut solidaritas melawan penindasan dan kezaliman. Film tak bisa lepas dari alam nyata di mana penonton/Rakyat hidup. Film adalah buku visual bergerak yang membangunkan kesadaran penontonnya tentang monster jahat yang memangsa kemanusiaan, baik monster lokal (feodalisme) maupun Eropa (imperialisme).

Karena itu, dalam ekosistem Lekra, distribusi film, sebagaimana panggung teater, tak semata memasang kalkulator pengecek laba di kasir bioskop, melainkan diasong ke layar-layar di mana Rakyat banyak berkumpul. Ia harus masuk ke gang terkecil dan sampai kepada golongan marhaen dan proletar di desa dan kota pinggiran.

Dan, ujian pertama dari film Bumi Manusia tiga hari setelah tayang adalah kasus “monyet” di Surabaya. Lihat, “monyet” dan “Surabaya” adalah dua frase yang sama persis antara apa yang ada dalam film dan di dunia nyata.

Nyatanya, film hanya berhenti pada semata film yang dalam soal menambang air mata penonton bersaing ketat dengan Ratapan Anak Tiri yang kondang di akhir 80-an. Sementara, “monyet” di alam nyata baranya meninggi, meluas, dan bikin panik politik Jawa-Papua.

Dalam gelegak politik itu, tak ada kontribusi film Bumi Manusia menggerakkan perlawanan bangsa yang dihinakan sebagai “monyet”. Bahkan, sekadar pernyataan sikap belarasa sineasnya dalam dua atau tiga paragraf di atas kertas kuarto, kita tak dapatkan.

Dari situ saya insyaf, tak perlulah menyeret ke mana-mana film Bumi Manusia karya Hanung Bramantyo ini. Dikenang sebagai film mahakarya pun—sebagaimana “status” roman yang diadaptasinya—tampaknya sempoyongan.

Buat saya, ringankan saja jalannya sekadar membawa nama “Pramoedya Ananta Toer” tertulis di layar bioskop yang sebelumnya tak pernah terbayang oleh manusia macam saya ini. Faktanya, tak ada satu pun pembaca Pram—yang paling keras kepala sekalipun—bisa melakukan itu selain Hanung dan Falcon.

Jika enggak pelit, doakan Bumi Manusia-nya Hanung ini meraih tahta tertinggi di ajang Festival Film Indonesia (FFI) sebagai film terbaik. Di ajang itu, si Bumi Manusia dinilai sebagai karya sinematografi karya sineas Hanung, bukan sebagai karya sastra Pramoedya Ananta Toer yang legendaris itu; karya seorang manusia yang dihukum penjara dan buang karena aktivitas politik sastranya.

Lalu, di mana posisi Bumi Manusia sebagai film? Komoditas. Ya, komoditas. Hukum komoditas adalah jika laku, jalan. Jika pasar tak menerima, turunkan. Bahkan, jika ada yang memperkarakannya di ruang publik, para pedagang ini tak segan kok membekapnya tanpa ampun. Tiada pretensi yang lain. Apalagi, membela harkat karya-karya sastrawan kiri macam Pramoedya ini.

Mau lihat contohnya? Lihatlah nasib tragis karya lain sastrawan kiri bernama Pramoedya Ananta Toer ini di hadapan sineas pedagang dan juragan bioskop: Perburuan!

Ampun, Juragan! ***

*Dipublikasikan pertama kali di Jawa Pos, 30 Agustus 2019