Di hadapan mikropon politisi dan meja ambtenaar, salah tik (saltik) begitu mudah diucapkan. Saltik menjadi dalih dan alasan pamungkas untuk “memutihkan” kecerobohan. Saltik menjadi pembenar untuk meringankan kejahatan yang tersembunyi dari mantra “kekhilafan”.
Mestinya, saltik bisa diantisipasi dengan beberapa metode paling klasik. Di ruang pengadilan, misalnya, setebal apa pun ketetapan vonis, teks itu dibacakan dengan suara keras. Saya ulangi, dengan suara keras, bukan dibaca dalam hati. Padahal, jika dipikir-pikir, kan bisa ditayangkan di proyektor dan dilihat bersama-sama di layar. Atau, kopian keputusan cukup dibagikan saja.
Namun, tidak. Hakim secara bergantian membacakannya. Dengan cara begitulah, hemat saya, kesalahan tik bisa terdeteksi. Dengan dibacakan keras-keras, kata yang ganda ditemukan, tanda baca yang salah tempat bisa dibekuk, dan diksi salah pilih bisa dipermak. Atau, pengetikan undang-undang atau hal-hal prinsipil yang keliru bisa “diselesaikan” secara kolektif kolegial.
Semua itu terdeteksi, sekali lagi, jika teks itu dieja dan dibacakan secara keras-keras. Satu yang membaca, lainnya menyimak. Di belakang hakim, panitera bekerja dan siap memperbaiki jika terdapat kesalahan.
Di dunia perbukuan, salah tik itu fakta memalukan. Oleh karena itu, muncul profesi khusus agar kemaluan itu tidak membengkak tidak keruan. Nama profesi itu adalah editor dengan anak turunannya bernama pembaca ahli, pembaca akhir, dan seterusnya.
Editor ada agar pengetahuan tidak kecolongan oleh salah tik karena salah pikir atau salah tik karena salah menggunakan hukum-hukum dasar berbahasa. Atau, salah tik karena teledor mengantisipasi “kalimat sensitif” lolos ke publik yang kemudian melahirkan geger. Contoh untuk soal ini banyak dalam sejarah buku maupun pers kita.
Dalam dunia buku, editor menggunakan mata elang dengan kemampuan penglihatan mampu mendeteksi dan membaui buruan (salah tik) dari jarak yang sangat jauh. Ia bisa dengan mudah membedakan mana ayam mana anyaman, mana tikus mana kaktus.
Kala mata elang seorang editor rabun oleh politik maupun iming-iming ekonomi, saat itulah ancaman mengintai.
Kerusuhan di Surakarta pada 1918 hampir meledak dan membakar kota bisa dihindari andaikata editor bekerja saat redaksi mencantumkan parafrase Nabi Muhammad minum ciu. Perkara yang sama menimpa penerbit besar dan memilih memusnahkan bukunya dalam satu dekade terakhir dengan cara dibakar lantaran editor dianggap gagal melakukan filter atas satu kalimat yang dianggap menghina Nabi Muhammad Saw.
Soal saltik ini juga mengiringi cerita teks Proklamasi yang “sakti” itu. Saltik bisa macam-macam perkara sebabnya. Salah satunya soal keterampilan mengetik. Lantaran tak becus mengetik dan saltik melulu, Sukarni digantikan Sajoeti Melik mengetik ulang teks Proklamasi yang dirumuskan secara tergesa-gesa oleh bung-bung pendiri bangsa. Artinya, ancaman saltik dan kecerobohan ini sudah hadir bersamaan dengan kelahiran NKRI Harga Mati ini.
Salah tik, dengan demikian, bukan perkara teknis semata. Yang diperlukan si penjaga salah tik adalah sensivitas yang berlapis-lapis, selain “keterampilan”. Di tangan tim inilah, pertimbangan akhir sebuah kata meluncur ke masyarakat.
Saya ingat, betapa marahnya penyair Joko Pinurbo saat tahu puisinya berubah diksi ketika dimuat di lembar Bentara Harian Kompas pada 2001. Penjaga rubrik Puisi saat itu, Sutardji Calzoum Bachri, berdalih soal salah tik ini. Namun, Jokpin tidak terima bahwa itu sekadar saltik. Ada yang lebih esensi dari itu, kekuasaan sang redaktur yang kelewat percaya diri sehingga menganggap semua teks bisa semau-maunya ia masukkan, semau-maunya ia kurangi.
“Gembirakanlah dirimu dengan salah cetak,” tulis Sutardji sang penyair. Namun, penyair Joko Pinurbo yang diminta bergembira tidak pernah beria-ria dan berjenaka-jenaka dengan salah cetak, dengan salah tik. Tidak pernah.
Konflik saltik dua penyair di dua era berbeda itu berakhir antiklimaks. Setelah kasus itu, nama baru redaktur puisi diumumkan: Hasif Amini.
Ya, saltik di dunia buku, di dunia sastra, di dunia jurnalistik memang bukan soal sepele. Lantaran tak sepelenya, editor hadir untuk mencermati apa yang tak dilihat dan disadari oleh pencipta teks. Prinsip dalam kerja pengeditan adalah semua teks salah, kecuali dipastikan sudah benar.
Di luar soal salah dan benar itu, para pemburu salah tik ini juga memiliki pengetahuan yang luas relasi teks dan konteks.
Pada akhirnya, saya membayangkan urusan salah tik ini bisa mengubah postur birokrasi kita dalam melihat teks dengan melibatkan tenaga baru bernama para penyunting. Jangan serahkan teks di mata politisi dan makelar anggaran. Sebab, mereka lebih peduli uang yang nyata demi ongkos politik mahal ketimbang yang tertulis di teks itu sendiri di mana rakyat merintih-rintih.
Ayolah!