Arief Santosa pergi dengan meninggalkan lara. Namun, kepergian jurnalis yang telah mengabdi 27 tahun untuk koran Jawa Pos itu sekaligus mengukuhkan sebuah keyakinan justru koran/majalah yang bersifat umum yang menjadi sekoci yang merekam geliat kebudayaan di Indonesia.
Ya, Arief Santosa menjaga dengan keyakinan yang berlarat bahwa koran bisa diandalkan sebagai sekoci yang bisa menjaga keajekan untuk merekam dinamika ide kebudayaan. Lihat, sekoci, bukan kapal pangkalan.
Sudah lama kita tidak memiliki media-media kebudayaan yang bukan hanya kapabel, berwibawa, tetapi juga ajek dan menjadi bacaan umum. Kita hanya mengenal beberapa nama menjadi alamat media “kebudayaan” yang bisa dibaca “umum”. Selebihnya, terbit dengan ogah-ogahan, lalu pergi begitu saja tanpa meninggalkan kabar mati lewat pengeras suara di masjid-masjid. Dan, saya tak perlu menuliskan nisan majalah/tabloid itu.
Arief tahu, posisinya sebagai jurnalis di koran yang dibangun dengan ambisi menjadi tiang pancang “radar” di seluruh wilayah Indonesia ini mestilah ia gunakan dengan sebaik-baiknya. Sosok yang besar dalam jagat denyut kebudayaan di Yogyakarta saat menjadi mahasiswa sastra di UGM ini pun pasang badan dari Kota Surabaya untuk melanjutkan “tradisi” koran; bukan hanya sebagai perekam denyut harian masyarakat, tetapi juga menjadi ruang ekspresi ide. Tak jarang, ruang itu dipanaskan untuk saling menguji gagasan lewat perdebatan.
Ketika Arief diserahkan sebagai “penjaga” terbitan Minggu di Jawa Pos saat fajar milenium merekah, ia mengolah ulang dua halaman yang—astaghfirullah—bersih dari advertensi. Halaman Buku dan halaman Sastra datang setiap pekan menyambut kegembiraan yang menggeliat-geliat di banyak kota besar di Indonesia.
Dua tahun sebelum majalah bulanan Mata Baca (Gramedia) dan tabloid mingguan Ruang Baca (Koran Tempo) menerbitkan secara khusus informasi dan ide di seputar perbukuan, halaman Buku Jawa Pos yang dikawal dengan sungguh-sungguh Arief Santosa sudah mendapatkan posisinya yang stabil. Halaman itu dibagi dalam tiga tema: Informasi Buku Baru/Best Seller, Resensi Buku, dan Esai Buku (“Di Balik Buku”).
Tiga unsur itu sudah sangat cukup untuk sebuah koran harian seperti Jawa Pos ini memberikan akses dan pemihakan bahwa isu perbukuan sejalan dengan arus penguatan kebudayaan. Dengan “restu” penuh yang diberikan sang godfather Jawa Pos, Dahlan Iskan, halaman buku itu yang kemudian melahirkan lini baru Jawa Pos bernama penerbitan Jawa Pos Books atau JP Books.
Cukup beralasan. Halaman Buku itu memang telah membentuk kultur. Anda bisa bayangkan, setiap pekan, koran ini memproduksi dua resensi dan satu esai. Dalam 18 tahun saja, halaman ini sudah mampu memproduksi hampir 1000 esai buku dan nyaris 2000 resensi buku. Belum lagi, bejibun esai maupun resensi yang datang dan tak lulus kurasi Arief Santosa. Dari jumlah itu, ratusan nama yang peduli dan dekat dengan isu perbukuan dan literasi menjadi sahabat-sahabat baik Arief, menjadi penulis-penulis isu kebudayaan Jawa Pos.
Bukan kedekatan-kedekatan itu yang menarik dari Arief, tetapi komitmennya terhadap dunia buku, kesusastraan, dan isu kebudayaan lainnya nyaris sejalan dengan gaya hidupnya. Di halaman Sastra, penulis esai, cerpen, maupun puisi selalu rutin melakukan komunikasi agar lahir karya-karya yang baik. Syukur-syukur, bila yang baik itu datang dari penulis-penulis baru. Tanpa tumbuhnya penulis baru, dunia sastra dan buku memang cenderung membosankan.
Lewat posisinya sebagai “juru kunci” yang diberikan pemilik perusahaan di dua halaman tanpa tersentuh advertensi itu, sekuat-kuatnya Arief menciptakan ekosistem yang sehat bagi naik panggungnya darah muda. Sebab, ia tahu jua betapa menggembirakannya saat si darah muda melihat tulisannya pertama kali dibaca oleh khalayak luas saat ia pertama kali melihat puisi pertamanya dimuat oleh Harian Bernas di Yogya saat ia masih duduk di bangku kelas dua SMA.
Sebagai jurnalis senior di Jawa Pos, tak bosan-bosan sosok yang menggemari karya Boris Pasternak berjudul Dokter Zhivago ini mengajak rekan-rekannya sesama jurnalis untuk mencintai sastra. Jika perlu, kecintaan itu diaplikasikan dalam kerja-kerja jurnalistik. Yang tak saya lupakan adalah ucapan Arief bahwa hukum penulisan 5W1H yang baku untuk dikuasai seorang jurnalis mestinya ditambahkan dengan berbahasa sastrawi. Untuk bisa ke sana, jurnalis mestilah membaca buku yang banyak, terutama buku sastra.
Artinya, saat menjaga halaman Sastra—juga Buku—itu tidak sekadar menjalankan perputaran desk semata yang biasa terjadi dalam “birokrasi” perusahaan pers, melainkan menyerahkan sepenuh-penuh hatinya. Di halaman itu, oleh karena itu, bukan saja ada jejak Arief, tetapi juga ada hatinya, ada cintanya kepada dunia buku dan sastra.
Kecintaan yang berlimpah-limpah itulah yang membikin ia kerap nyelonong ke “saudari”-nya koran Jawa Pos yang masih dalam satu atap gedung di Graha Pena Surabaya, tabloid Nyata, untuk misi sastra. Ada jejak penyuka roman Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer) maupun Pada Sebuah Kapal (Nh. Dini) di cerita-cerita pendek maupun novelet dari tabloid yang mengetuk rumah keluarga Indonesia setiap pekan itu.
Ya, Arief Santosa adalah pribadi yang hangat bagi tumbuhnya ekosistem perbukuan dan kesusastraan dari sudut pandang media. Dengan caranya sendiri yang eklektik, ia memposisikan dirinya seperti penjaga dian mercusuar agar semangat mencintai buku dan sastra terus menyala bagi jutaan pembaca Jawa Pos. Ia adalah salah satu radar penting bagaimana dua halaman koran harian ini memiliki kontribusi yang sangat mahal harganya untuk kesinambungan penerbitan ide kebudayaan dalam bentuk resensi buku, esai dengan beragam isu kebudayaan, cerita pendek, maupun novel bersambung.
Pada pribadi-pribadi seperti Arief Santosa inilah kita bisa berharap bahwa media ekspresi kebudayaan, baik isu perbukuan, kesusastraan, seni rupa, dan gebyar pertunjukan bisa berkelanjutan.
Dan, sekali lagi, justru pada koran-koran umum seperti Jawa Pos ini kita bisa menyandarkan informasi dari dunia kebudayaan sehingga bisa mengalir ajek hingga ke relung pembaca.
Selamat jalan untuk si penjaga dian buku dan sastra dari mercusuar budaya Graha Pena!