Penulis Peng(h)ajar

Saya ingin membicarakan empat pokok pikiran soal “Penulis Meng(h)ajar”. Apa saja itu? Ikuti satu demi satu.

Inilah pokok pertama ‘penulis meng(h)ajar’ itu. Yakni, kenali dengan sebaik-baiknya masa lalu. Gunakan “batu-batu” ingatan dari masa batu/candi itu sebagai peluru. Pakai pikiran dan kekuatan intelektualitas dengan sejumlah metodisnya sebagai daya pelontar material batu-batu itu; sebagaimana Bajil, sebagaimana senopati-senopati Majapahit, sebagaimana para revolusioner haji dalam narasi batu-batu kecil dalam peristiwa pengepungan jumrah.

Menghajar mesti punya stok logistik yang terukur. Berapa ‘batu’ yang dipergunakan dalam aksi revolusioner, tergantung pembacaan atas seberapa lama dan seberapa besar musuh di hadapan Anda. Kronik membantu kita mengenali mata-rantai; bukan saja posisi, tapi juga model, bentuk masyarakat, dan struktur kekuatan lawan.

Jalan lain untuk mengenal itu adalah menjadi ‘bangsawan pemikir’ yang ditempuh lewat jalan edukasi dan kultura. Sebut saja ini pokok kedua ‘penulis meng(h)ajar’.

Bangsawan ada dua, jika mengikuti distingsi yang dibangun Abdul Rivai di dekade awal abad 20. Pertama, ‘bangsawan usul’ atau mereka yang berasal dari ring satu keraton. Kemuliaan kedudukan mereka tersebab garis keturunan. Cetak biru kebangsa(w)an dirunut dari garis keturunan, aliran darah. Oleh karena itu, bangsawan usul ini disebut pula mereka yang berdarah biru.

Kedua, ‘bangsawan fikiran’, atau mereka maraih kehormatan lewat jalur edukasi dan kultura. Untuk sampai pada tingkat kemuliaan dalam masyarakat, mereka meraihnya dengan aktivitas bersekolah. Mereka disebut pula priyayi dalam kebudayaan.

Untuk mendapatkan garis ‘bangsawan fikiran’ ini, syarat-syaratnya sudah digariskan Menteri Peng(h)ajaran pertama Republik Indonesia, yakni Ki Hadjar Dewantara. Sosok ini punya dua kebangsawanan sekaligus, usul dan pikiran. Kebangsawanan pertama dibuangnya saat 1928 ia membuang nama feodalnya, Raden Mas Soewardi, menjadi Ki Hadjar.

Terbentuknya bangsawan pikiran ini, merujuk kepada Ki Hadjar, memadukan tiga institusi peng(h)ajaran terpenting: keluarga, perguruan, dan pergerakan. Bangsawan pikiran dengan kualifikasi meng(h)ajar punya bobot dan tak menjadi abal-abal hanya jika ditempuh dalam tiga tradisi kultura itu. Tidak hanya sekolah atau perguruan tok. Jika hanya lewat perguruan/sekolah formil kelak si terpelajar sekadar menjadi amtenaar atau sekrup kecil birokrasi negara. Mesti ketiga-tiganya. Pendidikan keluarga untuk karakter dan laku, perguruan untuk intelektualitas, dan pergerakan untuk keberpihakan.

Penulis yang meng(h)ajar mestilah punya kecendikaan atau keterampilan berpikir, memiliki karakter yang kuat dan tak mudah ditekuk, serta keberpihakan.

Keberpihakan adalah pokok ketiga dalam ‘penulis meng(h)ajar’. Keberpihakan memerlukan perangkat wacana yang kuat mengenal gerak dialektis sejarah dan keberanian untuk mengambil sikap.

Pram sering bilang, hidup adalah pertaruhan tafsir. Hidup, sih, sederhana belaka, tafsirnya yang rumit. Dan, selamanya keberanian yang menjadikannya gerakan. Tak ada gerak sejarah tanpa keberanian. Tirto Adhi Soerjo (TAS) yang meninggal kesepian atas risiko perjuangan pada 7 Desember 1918, misalnya. Ia seorang bangsawan usul, tapi sekaligus bangsawan pikir yang keren. Ia si raden mas, tapi calon dokter dan jurnalis yang asyik.

Lantaran skema percobaan sedemikian rupa, ia menantang politik rasisme Belanda dengan skema dialektis. Ia lawan lapis pembagian kewarganegaraan Hindia itu (Eropa, Timur Asing, Pribumi) dengan menjadikannya dua kelas saja: Yang Memrentah dan Yang Diprentah.

Hanya dua kelas itu.

Dan, itu bukan sekadar wacana, tapi diperjuangkan di lapangan penulisan/jurnalistik dan coba dimasukkan dalam barisan pergerakan.

Tirto satukan potensi-potensi kekuatan (yang terprentah), baik pri maupun nonpri (timur asing), untuk melawan koloanialisme (yang memrentah).

Sosok Tirto Adhi Soerjo ini contoh penulis peng(h)ajar. “Sial”-nya, ia adalah guru para guru bangsa. Apa yang dirisalatkan Ki Hadjar tentang tiga institusi yang melahirkan penulis peng(h)ajar, skema dasarnya sudah diletakkan Raden Mas TAS.

Dalam salah satu parafrasa Roman Buru yang merupakan fiksi atas tokoh TAS itu terdapat kalimat ini: mengajar rakyat dengan jalan pergerakan, meng(h)ajar kolonialisme dengan jalan perlawanan.

Risiko penulis peng(h)ajar ini jelas, yakni berhadapan muka-muka dengan perundang-undangan yang umumnya menjadi “zirah” sebuah rezim dari serangan luar.

Oleh karena itu, pokok keempat dalam “penulis meng(h)ajar” adalah kecakapan hukum. Raden Mas TAS, sekali lagi, saya sebutkan di bagian ini.

Seperti nubuat, ia mencontohkan betapa pentingnya mengenali permainan hukum rezim ini yang dengan caranya sendiri menerjemahkan materi hukum pidana/perdata ke bahasa umat, ke bahasa rakyat yang terprentah. Ia seperti dibisiki wangsit sejarah, kelak semua generator pergerakan berhadapan dengan pengadilan kolonial yang bengis.

Dan, lebih ke sini lagi, semua aktivis penulis yang berpihak kepada nasib ‘kaum terprentah’ berhadapan dengan Tuan-Tuan Hakim Yang Mulia.

Umat diberitahukan Tirto soal materi hukum tersebut lewat koran khusus, yakni Soeleoh Keadilan. Ini mingguan hukum pertama yang dibikin seorang ‘pribumi’ untuk menyuluh hukum dan melawan di jalur litigasi.

Di skema perlawanan litigasi itulah kita tempatkan organ-organ semacam Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Perlawanan litigasi itulah pokok keempat dari ‘penulis meng(h)ajar’. Sebab, mereka yang berada di jalan ini umumnya pernah berhadapan dengan pengadilan sejak zaman kolonial hingga zaman now.

Pertama kali dipublikasikan di Harian Mercusuar (Sulawesi Tengah), 7 Desember 2019.