Di belakang tempat Arsyad duduk mengaso dengan saya di siang yang terang-benderang awal Desember 2019 itu, berdiri bioskop pertama di Pantai Barat. Pondasinya masih ada, namun bangunannya sudah sirna. Bersekutu dengan pemandangan bangunan rumah di sepanjang pantai yang diratakan gempa dahsyat 28 September 2018.
Bioskop yang bernama Mustika ini tak jauh dari rumah si pemilik, H. Nawir di Desa Tanjung Padang, Kecamatan Sirenja, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah. Hanya lima rumah sebelah barat dari rumah sang pemilik dan langsung berhadapan dengan garis pantai Laut Makassar di mana perahu-perahu nelayan ditambatkan.
Arsyad adalah para pekerja hiburan yang loyal di Pantai Barat. Selain menjadi penjaga bioskop di Tanjung Padang itu, ia juga seorang publisis film apa yang diputar di lima bioskop di antero di tiga kecamatan yang ada di Pantai Barat.
Suara Arsyad yang semasa mudanya berambut gondrong dan selalu berkaca mata riben di atas motor RX King adalah khas dan menancap kuat di bawah sadar generasi Pantai Barat era 80-an dan 90-an. Dua dekade yang menjadi puncak kegemilangan bioskop-bioskop di desa. Termasuk, memberi amunisi imaji sang sineas berbakat dari Desa Tanjung Padang, Yusuf Radjamuda.
Titik mula Arsyad memulai mengumumkan film apa yang diputar di hari itu di Desa Tambu yang berada di utara. Tiga desa yang disasar bioskop Mustika di Desa Labean itu adalah Tambu, Meli, dan Labean itu sendiri. Semuanya berada di Kecamatan Balaesang.
Lalu, setelah melewati Gunung Bosa, memasuki Lende, Lompio, Tompe, dan bergerak ke desa atas, Sibado. Turun ke Balintuma, Tanjung Padang, naik ke Sipi dan Jono Oge. Turun lagi ke desa-desa di tepian pantai, seperti Dampal, Tondo, Ombo, Sikara, Alindau, Oti, dan Batusuya.
Dengan sarana jalan yang masih buruk dan melewati beberapa sungai besar, perkiraan saya, Arsyad sudah mulai jalan sekira pukul 10 pagi di Desa Tambu hingga berakhir malam hari di Batusuya. Di desa terakhir ini ia menunggu pekerja film lainnya seperti Liong yang datang dari Kota Palu atau Kota Donggala (Banawa) membawa “kaleng” film baru. Lengkap dengan poster filmnya.
Tentu saja, semua film yang datang ke Pantai Barat sebelumnya pernah diputar di Palu Studio (Kota Palu), Megaria, Muara, maupun Gelora (ketiga yang terakhir bioskop di Kota Donggala).
Sosok yang awalnya rekan kongsi dagang hasil perkebunan H. Nawir di Sinar Dagang ini lupa bagaimana ia ditunjuk menjadi pelantang film. Yang ia tahu persis, ia tiap hari melakukannya selama 20-an tahun hingga bioskop tutup karena datangnya medium hiburan baru lewat televisi. Ia dibantu sekondannya bernama Nasir. Namun, dirinyalah yang mendapatkan jatah terbanyak.
Di sepanjang dua dekade itu, Arsyad sudah mengumumkan ribuan judul film di atas motornya. Dengan suara yang serak dengan artikulasi yang bersih, suara Arsyad sudah terdengar sejauh satu kilometer. Kecepatan menjadi 20 km per jam ketika motor sudah memasuki suatu desa.
Saat pengumuman dibacakan, telinga yang sedang berada di rumah-rumah, di balai desa, maupun di kebun-kebun akan menyimak baik-baik. Sebab, bisa jadi, film yang diputar hari itu menjadi film dari jenis yang disukai. Film Amerika macam spy James Bond 007 mendapatkan penonton yang lumayan. Atau, silat dan drama Cina dan Hongkong yang dibintangi Bruce Lee.
Bagi penikmat India, mesti bersiap untuk tidak tidur semalam suntuk menyaksikan Mithun Chakraborti, Amitabh Bachchan, Dharmendra, Shakti Kapoor, dan Hema Malini. Atau, film karate Indonesia, kolosal, perjuangan, maupun drama percintaan remaja.
Dan, siapa tahu ada film Rhoma Irama yang ditunggu tiap tahun seperti menunggu tema hiburan paling ajaib yang membuat bioskop menjadi lautan manusia. “Semua film Rhoma Irama pernah saya umumkan informasinya di atas motor saya. Berkelana, Begadang, Gitar Tua, Melody Cinta, Satria Bergitar, Penasaran, Doa dan Perjuangan, Menggapai Matahari … semuanya,” jelas Arsyad.
Dari atas motor RX King, nyaris informasi semua film yang dikeluarkan di tahun 70-an, 80-an, dan 90-an yang berada di katalog yang disusun J.B, Kristanto, Katalog Film Indonesia, pernah melewati mikropon dan TOA Arsyad. Antara lain, Pengkhiantan G30S/PKI, Janur Kuning, Nagabonar, Saur Sepuh, Tutur Tinular, Lebak Membara, Chips, dan Unyil.
Teknologi publisis di atas motor itu sederhana saja. Ada aki, lalu tape kecil untuk menyetel lagu, perangkat audio system untuk menyetel lagu dan pelantang warna putih yang diletakkan di atas kap lampu paling depan.
“Aki 46 amphere, amplifier, dan tape saya pangku dengan diikat karet ban dalam motor. Kalau tidak ada rumah dilewati, saya putar lagu. Kalau bertemu lagi desa, tape dikecilkan dan saya berbicara,” tutur sosok yang belajar public speaking dari pengalaman.
“Saya paling sulit kalau film asing seperti Amerika dan Hongkong karena harus mengucapkan judul dan nama pemain secara benar. Saya kadang lihat kamus. Selebihnya, asal bicara saja, yang penting terdengar fasih,” sambung Arsyad sambil terkekeh.
Kefasihannya itu yang mendorong warga berbondong-bondong datang ke bioskop, baik berjalan kaki maupun dengan gerobak sapi yang diparkir di pantai. “Ada orang tua di Desa Sipi yang tiap hari menonton. Film apa saja. Lupa nama, tetapi saya ingat wajahnya karena tiap malam saya lihat beli karcis,” kenang Arsyad.
Panggilan suara Arsyad juga membuat guru-guru kewalahan membendung siswa-siswa mereka untuk memasuki bioskop yang dianggap “mengganggu” pel-AJAR-an di dunia pengajaran.
Selain sebagai pelantang, tugas lain Arsyad adalah singgah di tiap-tiap bioskop untuk menempelkan apa yang disebut “gambara kodi”, poster yang berukuran A0.
Ada dua model poster film; poster di atas kertas dan lukisan di kain tebal yang besar. Poster di kertas itu menampilkan segala informasi, mulai nama pemain dan kru, juga potongan-potongan adegan yang paling ikonik dari film yang bakal diputar.
Demikian pula, poster di atas kain besar yang biasanya digantung di halaman bisokop. Umumnya, film-film Indonesia dan baru, memiliki poster jenis ini yang dikerjakan para seniman lukis, baik di Yogya maupun di Jakarta.
Tentu saja, tidak semua informasi dibacakan Arsyad. Selain jenis film, judul, negara asal, yang wajib dibacakan adalah bintang-bintang utama. Sebut saja bintang-bintang film India dan Indonesia yang tenar di era 70-an hingga 90-an, Arsyad pasti bisa menyebutkannya secara fasih.
Di atas motor tunggangan Arsyad, ada sejarah hiburan yang panjang dan bergemuruh. Suaranya yang lantang dari desa ke desa adalah suara sejarah film yang tampil di Indonesia hingga di muaranya terjauh, bioskop desa.
Nawir, juragan Arsyad, yang rumahnya berhadapan dengan masjid Al-Munawwar di perempatan besar di Desa Tanjung Padang, adalah yang berjasa besar membangun dunia perfilman di Pantai Barat. Lima bioskopnya yang bernama Mustika yang ia dirikan di Labean (Balaesang), Tompe (Sirenja), Tanjung Padang (Sirenja), Tondo (Sirenja), dan Oti (Sindue Tobata) merupakan bakti bisnisnya bahwa film dengan segala imajinasi yang disemburkannya dari “kaleng-kaleng” yang berisi pita seluloid pernah tumbuh di antero Pantai Barat.
Juga, melahirkan pekerja-pekerja bioskop yang loyal semacam Arsyad ini. Sosok ini bisa ditemui di bengkel kerjanya yang “bakubelakang” dengan bekas bioskop Mustika di Tanjung Padang.
Artinya, masa silam dunia bioskop yang tumbang pada 1996 tetap hidup bertetangga dengannya di alam ingatan; lima tahun setelah televisi swasta semacam RCTI dan TPI mengakuisisi ruang keluarga penduduk desa dengan berbagai hiburan.***
Rumah H. Nawir, juragan bioskop di Pantai Barat, Donggala.
* Pertama kali dipublikasikan di Harian Mercusuar (Palu), 17 dan 18 Desember 2019